http://i560.photobucket.com/albums/ss44/erge32/EkaSidebar.gif

Semoga bermanfaat untuk kawan-kawanku n juga bagi publik,, :)

Guidance and Counseling Riska Ratna

Wednesday 21 May 2014

BUDAYA DAN KEPRIBADIAN MANUSIA



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Budaya dan Kepribadian
Kebudayaan berasal dari kata budh- budhi- budhaya dalam bahasa sansekerta yang berarti akal, sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Ada yang mengatakan bahwa kebudayaan yang berasal dari kata budi dan daya. Budi adalah akal yang merupakan unsure rohani dalam kebudayaan, sedangkan daya berarti perbuatan atau ikhtiar sebagai unsure jasmani, sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil dari akal dan ikhtiar manusia
Berikut ini definisi-definisi kebudayaan yang dikemukakan beberapa ahli :\
1.       Edward B. Taylor
Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.
2.       M. Jacobs dan B.J. Stern
Kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi social, Ideologi, religi, dan kesenian serta benda, yang kesemuanya merupakan warisan sosial.
3.       Koentjaraningrat
Kebudayaan adalah keseluruhan system gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
4.       Dr. K. Kupper
Kebudayaan merupakan system gagasan yang menjadi pedoman dan pengarah bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku, baik secara individu maupun kelompok.
5.       William H. Havilan
Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat di terima oleh semua masyarakat.
6.       Ki Hajar Dewantara
Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan penghidupan nya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan.

Dari berbagai  definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan segala sesuatu yang meliputi sistem ide/ gagasan dan perilaku yang menjadi pedoman atau acuan seseorang dalam bertingkahlaku di masyarakat dalam kehidupan sehai-hari. Dan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi social, religi seni dan lain-lain, yang ke semuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan tidak bisa dilihat atau dipegang karena berada di dalam pikiran atau kepala manusia. Oleh karena itu, kebudayaan bersifat abstrak. Akan tetapi, hasil kebudayaan dapat dilihat dan dideteksi (dipantau) dengan panca indra manusia.

Sedangkan yang dimaksud dengan kepribadian adalah semua corak perilaku dan kebiasaan individu yang terhimpun dalam dirinya dan digunakan untuk bereaksi serta menyesuaikan diri terhadap segala rangsangan baik dari luar maupun dalam. Perilaku dan kebiasaan ini merupakan kesatuan fungsional yang khas pada seseorang. Perkembangan kepribadian tersebut bersifat dinamis, artinya selama individu masih bertambah pengetahuannya dan mau belajar serta menambah pengalaman dan keterampilan, mereka akan semakin matang dan mantap kepribadiannya. Adapula yang mengartikan kepribadian sebagai susunan unsur-unsur akal dan jiwa yang menentukan tingkah laku atau tindakan seorang individu. Dalam bahasa populer istilah kepribadian juga berarti ciri-ciri watak yang konsisten, sehingga seorang individu memiliki suatu identitas yang khas berbeda dengan individu yang lain. Konsep kepribadian yang lebih spesifik belum bisa di definisikan sampai sekarang karena luasnya cakupan dan sulit untuk dirumuskan dalam satu definisi sehingga cukup kiranya untuk kita memakai arti yang lebih kasar sampai didapatkan definisi yang sebenarnya dari para ahli psikologi.

Menurut Roucek dan Warren, kepribadian adalah organisasi yang terdiri atas faktor-faktor biologis, psikologis dan sosiologis. Faktor biologis misalnya, sistem syaraf, proses pendewasaan, dan kelainan biologis lainnya, sedangkan faktor psikologis adalah seperti unsur temperamen, kemampuan belajar, perasaan, keterampilan, keinginan dan lain-lain. Dan yang terakhir, adalah faktor sosiologis. Kepribadian dapat mencakup kebiasaan-kebiasaan, sikap dan lain-lain yang khas dimiliki oleh seseorang yang berkembang apabila orang tadi berhubungan dengan orang lain. Ketiga faktor di atas yakni faktor biologis, psikologis dan sosiologis adalah factor-faktor yang dapat mempengaruhi kepribadian.

Seseorang yang sejak kecil dilahirkan sampai dewasa selalu belajar dari orang-orang disekitarnya. Secara bertahap dia akan mempunyai konsep kesadaran tentang dirinya sendiri. Lama-kelamaan perilaku-perilaku si anak akan menjadi sifat yang nantinya menghasilkan suatu kepribadian. Berikut ini adalah beberapa kebudayaan khusus yang nyata mempengaruhi bentuk kepribadian yakni:
1.      Kebudayaan-kebudayaan khusus atas dasar faktor kedaerahan
Contoh: Adat-istiadat melamar di Lampung dan Minangkabau. Di Minangkabau biasanya pihak permpuan yang melamar sedangkan di Lampung, pihak laki-laki yang melamar.
2.      Cara hidup di kota dan di desa yang berbeda ( urban dan rural ways of life )
Contoh: Perbedaan anak yang dibesarkan di kota dengan seorang anak yang dibesarkan di desa. Anak kota bersikap lebih terbuka dan berani untuk menonjolkan diri di antara teman-temannya sedangkan seorang anak desa lebih mempunyai sikap percaya pada diri sendiri dan sikap menilai ( sense of value )
3.      Kebudayaan-kebudayaan khusus kelas social
Di masyarakat dapat dijumpai lapisan sosial yang kita kenal, ada lapisan sosial tinggi, rendah dan menengah. Misalnya cara berpakaian, etiket, pergaulan, bahasa sehari-hari dan cara mengisi waktu senggang. Masing-masing kelas mempunyai kebudayaan yang tidak sama, menghasilkan kepribadian yang tersendiri pula pada setiap individu.
4.      Kebudayaan khusus atas dasar agama
Adanya berbagai masalah di dalam satu agama pun melahirkan kepribadian yang berbeda-beda di kalangan umatnya.
5.      Kebudayaan berdasarkan profesi
Misalnya: kepribadian seorang dokter berbeda dengan kepribadian seorang pengacara dan itu semua berpengaruh pada suasana kekeluargaan dan cara mereka bergaul. Contoh lain seorang militer mempunyai kepribadian yang sangat erat hubungan dengan tugas-tugasnya. Keluarganya juga sudah biasa berpindah tempat tinggal.

B.       Kepribadian dalam Lintas Budaya
Kepribadian merupakan konsep dasar psikologi yang berusaha menjelaskan keunikan manusia. Kepribadian mempengaruhi dan menjadi acuan dari pola pikir, perasaan dan perilaku individu manusia, serta bertindak sebagai aspek fundamental dari setiap individu tersebut. Dimana merupakan aspek inti keberadaan manusia yang karena tak lepas dari konsep kemanusiaan yang lebih besar, yaitu budaya sebagai konstruk sosial. Kepribadian bersifat lentur yang menyesuaikan dengan budaya dimana individu berada. Kepribadian cenderung berubah, menyesuaikan dengan konteks dan situasi.

Hal pertama yang menjadi perhatian dalam studi lintas budaya dan kepribadian adalah perbedaan diantara beragam budaya dalam memberi definisi kepribadian. Dalam literature-literatur psikologi Amerika umumnya kepribadian dipertimbangkan sebagai karakter perilaku, karakter kognitif dan predisposisi yang relative abadi (Matsumoto, 1996). Definisi lain menyatakan bahwa kepribadian adalah serangkaian karakteristik pemikiran, perasaan, dan perilaku yang berbeda antara tiap individu dan cenderung konsisten dalam setiap waktu dan kondisi. Ada dua aspek dalam definisi ini yaitu : kekhususan (distinctiveness), dan stabilitas serta konsistensi (stability and consistency) (Phares, 1991). Semua definisi di atas menggambarkan bagaimana mereka mempercayai bahwa kepribadian didasarkan pada stabilitas dan konsistensi di setiap konteks, situasi dan iteraksi (Matsumoto, 1996).

Tokoh Humanistic salah satunya Maslow, dalam teorinya meyakini bahwa kepribadian diarahkan oleh pemenuhan level-level kebutuhan dengan puncaknya adalah keberhasilan dalam aktualisasi diri. Tahapan-tahapan kebutuhan Maslow tersebut diyakini para pengagumnya adalah berlaku universal, begitupun dengan apa yang dimaksud aktualisasi diri. berikut ini level-level kebutuhan menurut Maslow, yaitu:
a)      Level 1 – Kebutuhan akan Fisiologis
Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan dasar untuk bertahan hidup. Kebutuhan ini mencakup hal-hal untuk memenuhi kebutuhan fisik seperti bernafas, makan, minum, tidur, seks dan sebagainya. Orang yang masih berada di level ini, kecenderungannya hanya berfokus mengenai kebutuhan dasar.
b)      Level 2 – Kebutuhan Akan Rasa Aman
Kebutuhan akan rasa aman mencakup banyak hal seperti rasa aman terhadap diri sendiri dan keluarganya dari serangan kejahatan, kondisi keamanan finansial dari pekerjaan/krisis ekonomi dan sebagainya. Orang yang masih berada pada level ini akan dipenuhi rasa khawatir hidupnya terancam.
c)      Level 3 – Kebutuhan Akan Rasa Cinta dan memiliki
Kebutuhan akan rasa cinta dan memiliki menjadi kebutuhan sesorang untuk memuaskan batin melalui kasih sayang dari orang lain, seperti keluarga, pasangan maupun keinginan untuk diterima oleh kelompok. Orang yang ada pada level kebutuhan ini sangat berkeinginan untuk eksis dan bersosialisasi.
d)     Level 4 – Kebutuhan Akan Penghargaan
Kebutuhan akan penghargaan ada karena seseorang sangat ingin dianggap penting, kebutuhan ini mencakup kriteria kebutuhan akan pengakuan, kepercayaan diri, prestasi, penghargaan dan penghormatan terhadap diri sendiri dan orang lain. Dengan adanya kebutuhan ini akan membuat seseorang lebih terdorong untuk mencapai hal-hal yang lebih tinggi lagi dalam hidup yang belum dapat dicapainya hingga saat ini.
e)      Level 5 – Kebutuhan Akan Aktualisasi diri
Kebutuhan akan aktualisasi diri adalah mengenai kebutuhan mendapatkan kepuasan diri yang mencakup pemenuhan akan moralitas, kreativitas, spontanitas, penyelesaian masalah, dan penerimaan kenyataan yang terjadi. Di tahap aktualisasi diri seseorang akan lebih terfokus pada mendorong dirinya mencapai prestasi-prestasi tertinggi, bukan dengan tujuan utama hanya semata-mata untuk mendapatkan penghargaan saja tapi lebih kepada untuk upaya memaksimalkan agar hidupnya lebih bermanfaat baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Locus of Control
Hal paling menarik dari hubungan kepribadian dengan konteks lintas budaya adalah masalah locus of control. Sebuah konsep yang dibangun oleh Rotter (1966) yang menyatakan bahwa setiap orang berbeda dalam bagaimana dan seberapa besar kontrol diri mereka terhadap perilaku dan hubungan mereka dengan orang lain serta lingkungan.

Locus of control kepribadian umumnya dibedakan menjadi dua berdasarkan arahnya, yaitu internal dan eksternal. Individu dengan locus of control eksternal melihat diri mereka sangat ditentukan oleh bagaimana lingkungan dan orang lain melihat mereka. Sedangkan locus of control internal melihat independency yang besar dalam kehidupan dimana hidupnya sangat ditentukan oleh dirinya sendiri.

Sebagai contoh adalah penelitian perbandingan antara masyarakat Barat (Eropa-Amerika) dan masyarakat Timur (Asia). Orang-orang Barat cenderung melihat diri mereka dalam kaca mata personal individual sehingga seberapa besar prestasi yang mereka raih ditentukan oleh seberapa keras mereka bekerja dan seberapa tinggi tingkat kapasitas mereka. Sebaliknya, orang Asia yang locus of control kepribadiannya cenderung eksternal melihat keberhasilan mereka dipengaruhi oleh dukungan orang lain ataupun lingkungan.

Penelitian yang mengkaji locus of control menemukan banyak hal menarik mengenai kesamaan ataupun perbedaan dalam konteks lintas budaya. Dyal (1984, dalam Berry, 1999) melakukan kajian besar yang menggali deskripsi locus of control antara kulit hitam Amerika dengan kulit putih Amerika. Penemuan mengemukakan bahwa orang kulit hitam lebih eksternal dibanditngkan dengan orang kulit putih. Yang disebabkan oleh perbedaan status sosiolekonomi,status sosialekonomi yang rendah cenderung sejalan dengan letak kendali eksternal, dibandingkan sebabfaktor-faktor genetik.

Locus of control seringkali dihubungkan dengan karakter-karakter kepribadian. Pada 1974, McGinnes dan Ward (dalam Berry, 1999) menguji ulang temuan ini dan menemukan ketidakhadiran hubungan yang diharap terjadi pada responden Selandia Baru, bahkan ditemukan hubungan yang berlawanan di Australia.

Sejumlah penelitian mengenai profil kepribadian antar budaya juga banyak dilakukan yang dalam pengukurannya menggunakan alat-alat tes semacam Minnesota Multhiphasic Personality Inventory (MMPI) dan Eysenck Personality Questionnaire (EPQ).
EPQ membedakan faktor kepribadian dalam empat area, yaitu pschoticism, extroversion, neuroticism dan social desirability. Skor pada empat faktor telah dihubungkan dengan berbagai antesedent sosial dan politik sampai faktor iklim. Meskipun demikian tampaknya penelitian-penelitian serupa yang menggunakan alat-alat psikotes konvensional dianggap tidak memberikan gambaran yang memuaskan mengenai kepribadian dalam lintas budaya (Matsumoto, 1996).

Selain itu penggunaan alat tes yang tidak melalui penelitian adaptasi, sebagaimana didiskusikan di kolom contoh, sangat mungkin memberikan hasil yang bias. Interpretasi standar yang dibangun yang dibangun dalam nilai-nilai masyarakat Eropa perlu dipertanyakan apakah dapatditerapkan untuk interpretasi masyarakat budaya lain.

C.      Budaya dan Perkembangan Kepribadian
Kepribadian manusia selalu berubah sepanjang hidupnya dalam arah-arah karakter yang lebih jelas dan matang. Perubahan-perubahan tersebut sangat dipengaruhi lingkungan dengan fungsi–fungsi bawaan sebagai dasarnya. Stern menyebutnya sebagai Rubber Band Hypothesis (Hipotesa Ban Karet). Seseorang diumpamakan sebagai ban karet dimana faktor-faktor genetik menentukan sampai mana ban karet tersebut dapat ditarik (direntangkan) dan faktor lingkungan menentukan sampai seberapa panjang ban karet tersebut akan ditarik atau direntangkan. Dari hipotesa di atas dapat disimpulkan bahwa budaya memberi pengaruh pada perkembangan kepribadian seseorang. Perubahan-perubahan yang terjadi pada seorang anak yang tinggal bersama orangtua ketika beranjak dewasa tentunya sangat berbeda dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada anak yang tinggal di panti asuhan.

Kepribadian manusia selalu berubah sepanjang hidupnya dalam arah-arah karakteryang lebih jelas dan matang. Hasil penelitian ternyata menunjukkan temuan yang berbeda. Perdebatan diawali oleh Gautman (1976, dalam Price, 2002) yang menyatakan bahwa sesungguhnya ada sebuah keurutan (sequence) yang universal dalam perkembangan kepribadian manusia.
Untuk membuktikan keyakinannya, Gutman melakukan perbandingan study pada orang-orang dewasa dari Indian Maya Meksiko. Ia mengambil subjek paralelaki dewasa dari suku ini, yang usianya berkisar antara 30 hingga 90 tahun. Gutman memfokuskan penelitiannya pada pandangan para responden mengenai masa depan dan bagaimana peran seharusnya dari seorang tua.

Pertanyaan yang diajukan adalah apakah yang membuat mereka bahagia. Kesimpulan umum ditarik Gutman dari serangkain penelitiannya adalah adanya perubahan-perubahan kepribadian ditinjua dari semakin bertambahnya usia dimana perubahan-perubahan tersebut ditemukan sama antara responden Amerika dengan responden Indian Maya. Semakin bertambahnya tua seseorang tampak semakin pasif, motivasi berprestasi dan kebutuhan otonomi semakin turun, dan locus of control dirinya semakin mengara ke luar (eksternal).

Selain itu, perkembangan kepribadian seseorang dipengaruhi pula oleh semakin bertambahnya usia seseorang. Semakin bertambah tua seseorang, tampak semakin pasif, motivasi berprestasi dan kebutuhan otonomi semakin turun, dan locus of control dirinya semakin mengarah ke luar (eksternal).

D.      Budaya dan Indigenous Personality
Kebanyakan teori kepribadian merupakan hasil dari tradisi keilmuan yang ‘pribumi’ untuk budaya urban-industrial Barat, sehingga dapat menjadi pondasi psikolog bukan-Barat dalam membuat kajian-kajian. Namun ada juga teori kepribadian yang bukan berdasar pada tradisi, melainkan merefleksikan keberadaan manusianya. Beberapa kepribadian merupakan hasil rekonstruksi berdasarkan budaya-budaya. Meski demikian, kepribadian tersebut masih diwarnai oleh pengaruh-pengaruh Barat disamping wawasan-wawasan otentik penulisnya. Beberapa kepribadian tersebut antara lain: Kepribadian Afrika, Amae di Jepang dan Konsepsi India.
Berbagai persoalan mendasar yang muncul dalam kajian kepribadian dapat ditinjau melalui lintas budaya, menggambarkan sebuah pernyataan bahwa antar budaya yang berbeda sangat mungkin secara mendasar memiliki pandangan yang berbeda mengenai apa tepatnya kepribadian itu. Suatu kajian kepribadian yang bersifat lokal atau indigenous personality. Konseptualisasi mengenai kepribadian yang dikembangkan dalam sebuah budaya tertentu dan relevan hanya pada budaya tertentu tersebut.

Di Indonesia sendiri kajian mengenai indigenous personality (kepribadian pribumi) telah diawali oleh Darmanto Jatman (1997). Dalam  bukunya Psikologi Jawa, Jatman menemukan adanya profil kepribadian manusia Jawa yang memandang jiwanya adalah sebagai rasa. Rasa ini terbagi atas tiga, yaitu: rasa subjek, rasa objek, dan rasa pertemuan subjek-objek. Ketiganya dilahirkan oleh rasa yaitu rasa hidup.

Penguasaan dan pengendalian terhadap pikiran untuk membuatnya tertuju pada satu obyek, dengan mengalihkan indera dari obyek-obyek kenikmatan (badaniah) dan bertahan dalam penderitaan merupakan satu-satunya jalan mencapai diri terdalam. Sebaliknya, dalam budaya timur, kebertalian, kesaling terhubungan dan saling ketergantungan merupakan landasan konsep diri yang tak terpisah dan selalu terkait dengan orang lain dan lingkungan luar. Pribadi dilihat sebagai sebuah “keseliruhan” dari individu dengan unit sosialnya.

E.       Budaya dan Konsep Diri
Diri merupakan sosok pribadi yang berasal dari hasil konstruksi budaya. Penelitian pada orang India di negara bagian Orissa menyatakan bahwa pribadi merupakan hal yang terjelma karena relasi sosial dan dilukiskan menurut relasi sosial pula.

Konsepsi Barat menyebutkan bahwa diri adalah individu yang terpisah, otonom, dan atomis (terbentuk dari seperangkat sifat, kemampuan, nilai dan motif yang pilah), dengan mencari keterpisahan dan ketaktergantungan dari orang lain. Sementara dari Budaya Timur menggambarkan bahwa diri merupakan konsep yang selalu terkait dengan orang lain (merujuk pada konsep relasi, koneksi, dan ketergantungan).

Triandis (1989, dalam Psikologi Lintas Budaya, hlm. 189) menguji tiga aspek diri, yakni privat, publik dan kolektif yang ditampilkan dalam tiga mantra variasi budaya (individualisme-kolektivisme, keketatan-kelonggaran, dan kompleksitas budaya). Ia menarik kesimpulan bahwa makin individualistik suatu budaya, makin sering terjadi sampling (ketertujuan informasi yang relevan bagi diri) terhadap diri privat dan kurangnya sampling pada diri kolektif. Ia menambahkan bahwa makin kompleks suatu budaya, makin sering terjadi sampling terhadap diri privat maupun publik. Alasannya adalah pengasuhan anak, faktor ekologis, dan budaya lain.

Yang dimaksud konsep diri  pada kajian lintas budaya ini adalah oganisasi dari persepsi-persepsi diri (Burns, 1979). Organisasi dari bagaimana kita mengenal, menerima dan menilai diri kita sendiri. Suatu deskripsi mengenai siapa kita, mulai dari identitas fisik, sifat, hingga prinsip.

Berfikir mengenai bagaimana mempersepsi diri, dalam percakapan awam, adalah bagaimana seseorang memberi gambaran mengenai sesuatu (hubungan dengan orang lain, etos kerja, atau sifat kepribadiannya misalnya) pada dirinya. Selanjutnya label akan sesuatu dalam diri tersebut digunakan sekaligus untuk mendeskripsikan karakter dirinya.

Dalam masyarakat barat, diri dilihat sebagai sejumlah atributinternal meliputi: kebutuhan, kemampuan, motif dan prinsip-prinsip. Setiap individu membawa atribut-atributtersebut dan menggunakannya sebagai pemandu dalam setiap tindakan dan pikirannya didalam setiap situasi sosial yang berbeda.

Dua kontinum yang sering dilakukan untuk mempermudah studi mengenai konsep diri dalam lintas budaya adalah konstruk diri individual dengan diri kolektif atau dalam bahasa Matsumoto disebut Independent Construal of Self dan Interdependent Construal of Self.

1.      Diri Individual /Independent Construal of Self
Diri individual adalah diri yang fokus pada atribut internal yang sifatnya personal-kemampuan individual, inteligensi, sifat kepribadian,dan pilihan-pilihan individual. Diri adalah terpisah dari orang lain dan lingkungan. Dalam istilah Matsumoto (1996) disebut konstruk diri yang tergantung (Independent Construal of Self).

Dalam kerangka  budaya ini, nilai akan kesuksesan dan perasaan akan harga diri mengambil bentuk khas individualisme. Ketika individu sukses untuk melaksanakan tugas budaya, tidak tergantung pada orang lain, maka mereka lebih puas akan diri mereka dan harga diri mereka meningkat seiringnya. Keberhasilan individu adalah berkata usaha keras dari indiidu tersebut, dan diri serta masyarakatnya sangat menghargai keberhasilannya karena individu tersebut mampu menggapainya tanpa bantuan orang lain.

2.      Diri Kolektif/ Interdependent Construal of Self.
Budaya yang menekankan nilai diri kolektif sangat khas dengan ciri perasaan akan keterkaitan antar manusia satu sama lain, bahkan antar dirinya sebagai mikro kosmos dengan lingkungan di luar dirinya sebagai makro kosmos. Tugas normatif utama pada budaya ini adalah bagaimana individu memenuhi dan memelihara katerikatannya dengan individu lain.Tugas normatif depanjang sejarah adalah mendorong saling ketergantungan satu sama lain.

Individu fokus pada status keterakitan mereka dan penghargaan serta tanggung jawab sosialnya. Aspek terpenting dalam pengalaman kesadaran adalah intersubjective, saling terhubung antar personal.
Antar satu individu dengan individu lain dalam budaya dengan diri kolektif, misalnya memiliki derajat kekolektifitasan yang tidak sama. Bagaimana individu melihat keberhasilannya, siapa yang menentukan, dan bagi siapa keberhasilannya tersebut, apakah oleh dan untuk individu, ataukah oleh dan untuk kolektif, derajatnya antar individu adalah tidak sama.



DAFTAR PUSTAKA

Matsumoto, David. 2008. Pengantar Psikologi Lintas Budaya.  Yogyakarta : Pustaka Belajar.
Dayakisni, Tri & Salis Yuniardi. 2008. Edisi Revisi Psikologi Lintas Budaya. Malang: UMM Press.
Berry, Jhon., W. at all. 1999. Psikologi Budaya Riset Dan Aplikasi (Alih Bahasa Edi Suhadono ). Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Segall, M.H., Dasen, P.R., Berry, J.W., & Portinga, Y.H. 1990. Human Behavior in Global Perspective: An Introduction to Cross-Cultural Psychology. NY: Pergamon Series.

SITUS WEB: