A.
Pengertian
Filsafat
Istilah filsafat pertama kali digunakan
oleh Pythagoras pada tahun 580 SM. Pada saat itu pengertian filsafat menurutnya
menurutnya belum begitu jelas, kemudian diperjelas oleh kaum sophist yang
dipelopori oleh Socrates, yang telah menjelaskan pengertian filsafat yang tetap
dipakai hingga saat ini.
Filsafat secara
etimologis berasal dari bahasa arab yang berasal dari kata Yunani filosofia
(Philosophia). Filisofia merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata filo
(philos) yang artinya cinta dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin
mengetahui segala sesuatu dan sofia (shopos) artinya
kebijaksanaan atau hikmah. Dengan demikian, filsafat itu artinya cinta kepada
kebijaksanaan atau hikmah; atau ingin mengerti segala sesuatu secara mendalam.
Apabila kita mengkaji filsafat
secara umum, bahwa manusia selalu bertanya-tanya tentang makna atau hakikat
segala sesuatu , termasuk hakikat dirinya sendiri. Pertanyaan
tersebut misalnya : Apakah makna hidup itu? Dari mana asal manusia dan kemana
perginya? Siapakah saya ini?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut pada dasarnya
tidak mudah untuk dijawab karena memerlukan perenungan yang mendalam.
Berikut ini ada beberapa
pengertian filsafat yang dirumuskan oleh para filsut (ahli filsafat)
diantaranya :
1.
Plato (427 SM- 347 SM), filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
berusaha mencapai kebenaran yang asli, karena kebenaran mutlak ada di tangan
Tuhan (pengetahuan tentang segala yang ada).
2. Aristoteles (382
SM- 322 SM), filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi
kebenaran yang didalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika,
etika, politik, sosial budaya dan estetika (filsafat keindahan).
3. Al Farabi (950 SM), filsafat adalah pengetahuan tentang yang
”ada” menurut hakikat yang sebenarnya.
4. Rene Descrartes, filsafat adalah kumpulan segala
pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
5. Immanuel Kant (1724
- 1804 SM), filsafat adalah ilmu pokok pangkal dan pangkal dari segala pengetahuan, yang mencakup
didalamya empat persoalan: (1) apa yang dapat kita ketahui ? dijawab oleh
metafisika; (2) apa yanag boleh kita kerjakan ? dijawab oleh etika; (3) apa yang
dinamakan manusia ? dijawab oleh antropologi; (4) sampai dimana harapan kita ?
dijawab oleh agama.
6. Langeveld, filsafat adalah berpikir tentang
masalah-masalah yang akhir dan yang menentukan, yaitu masalah-masalah yang
mengenai makna keadaan, Tuhan keabadian dan kebebasan.
7. Hasbullah Bakry, filsafat adalah ilmu yang menyelidiki
segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia
senhingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh
yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya
setelah mencapai pengetahuan itu.
8. Sikun Pribadi (1981) mengartikan bahwa “filsafat
adalah suatu usaha manusia untuk memperoleh pandangan atau konsepsi tentang
segala yang ada, dan apa makna hidup manusia di alam semesta ini”
Berdasarkan
pendapat para filsut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa filsafat (philosophia) merupakan
proses berpikir untuk memperoleh jawaban dari berbagai permasalahan dengan
menggunakan empat karakter berpikir yaitu logika, sistematis, radikal dan
universal. Seorang filsut adalah pencari kebijaksanaan, ia adalah pencinta
kebijaksanaan dalam arti hakikat. Seorang filsut mencintai atau mencari kebijaksanaan
dalam arti yang sedalam-dalamnya.
B.
Karakteristik
Filsafat
Pemikiran kefilsafatan memiliki
ciri-ciri khas (karakteristik) tertentu, sebagian besar filsut berbeda pendapat
mengenai karakteristik pemikiran kefilsafatan. Apabila perbedaan pendapat
tersebut dipahami secara teliti dan mendalam, maka karakteristik pemikiran
kefilsafatan tersebut terdiri dari:
1.
Radikal, artinya berpikir sampai
keakar-akarnya, sampai pada hakekat atau sustansi, esensi yang dipikirkan.
Sifat filsafat adalah radikal atau mendasar, bukan sekedar mengetahui mengapa
sesuatu menjadi demikian, melainkan apa sebenarnya sesuatu itu, apa maknanya.
2. Universal, artinya berpikir kefilsafatan
sebagaimana pengalaman umum manusia. Kekhususan berpikir kefilsafatan menurut
Jaspers terletak pada aspek keumumannya. Misalnya melakukan penalaran dengan
menggunakan rasio atau empirisnya, bukan menggunakan intuisinya. Sebab, orang
yang dapat memperoleh kebenaran dengan menggunakan intuisinya tidaklah umum di
dunia ini. Hanya orang tertentu saja.
3. Konseptual, artinya merupakan hasil
generalisasi dan abstraksi pengalaman manusia. Dengan berpikir konseptual,
manusia dapat berpikir melampaui batas pengalaman sehari-hari dirinya, sehingga
menghasilkan pemikiran baru yang terkonsep.
4. Koheren
dan Konsisten (runtut),
artinya berpikir kefilsafatan harus sesuai dengan kaedah berpikir (logis) pada
umumnya dan adanya saling kait-mengait antara satu konsep dengan konsep
lainnya.
5. Sistematik,
artinya pendapatyang merupakan uraian kefilsafatan itu harus saling berhubungan antara satu konsep dengan konsep
yang lain / memiliki keterkaitan berdasarkan azas keteraturan dan terkandung
adanya maksud / tujuan tertentu.
6. Komprehensif,
artinya mencakup atau menyeluruh. Dalam
berpikir filsafat, hal, bagian, atau detail-detail yang dibicarakan harus
mencakup secara menyeluruh sehingga tidak ada lagi bagian-bagian yang tersisa
ataupun yang berada diluarnya.
7. Bebas, artinya sampai batas-batas yang luas. Dalam berpikir kefilsafatan tidak
ditentukan, dipengaruhi, atau intervensi oleh pengalaman sejarah ataupun
pemikiran-pemikiran yang sebelumnya, nilai-nilai kehidupan social budaya, adat
istiadat, maupun religious.
8. Bertanggungjawab,
artinya dalam berpikir kefilsafatan harus
bertanggungjawab terutama terhadap hati nurani dan kehidupan sosial.
Ke delapan ciri berpikir
kefilsafatan ini menjadikan filsafat cenderung berbeda dengan ciri berpikir
ilmu - ilmu lainnya, sekaligus menempatkan kedudukan filsafat sebagai bidang
keilmuan yang netral, terutama ciri ketujuh.
C.
Fungsi
Filsafat
Filsafat memiliki peranan yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Fungsi filsafat dalam kehidupan manusia, yaitu bahwa (1)
setiap manusia harus mengambil keputusan atau tindakan, (2) keputusan yang
diambil adalah keputusan diri sendiri, (3) dengan berfilsafat dapat mengurangi
salah faham dan konflik, dan (4) untuk menghadapi banyak kesimpangsiuran dan
dunia yang selalu berubah.
Dengan berfilsafat seseorang akan memperoleh wawasan atau
cakrawala pemikiran yang luas sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat.
Keputusan tersebut mempunyai konsekuensi tertentu yang harus dihadapi secara
penuh tanggung jawab. Oleh karena itu, keputusan yang diambil akan terhindar
dari kemungkinan konflik dengan pihak lain, bahkan sebaliknya dapat
mendatangkan kenyamanan atau kesejahteraan hidup bersama, walaupun berada dalam
iklim kehidupan yang serba kompleks.(Yusuf, 2010).
D.
Tujuan
Filsafat
Dalam berfilsafat,
seorang filsut pastilah memiliki tujuan yang hendak dicapai. Berikut ini
pendapat para filsut mengenai tujuan filsafat sebagai berikut:
1. Menurut Harold H. Titus, tujuan
filsafat adalah pengertian dan kebiksanaan (understanding and wisdom).
Jadi dapat ditarik makna bahwa mempelajari filsafat yaitu untuk bisa berpikir
secara radikal dan bijaksana.
2. Dr. Oemar A. Hoesin mengatakan “Ilmu
memberi kepada kita pengetahuan, dan filsafat memberikan hikmah. Filsafat
memberikan kepuasan kepada keinginan manusia akan pengetahuan yang tersusun
tertib akan kebenaran”.
3. S. Takdir Alisyahbana mengatakan “filsafat
itu dapat memberikan ketenangan pikiran dan kemantapan hati, sekalipun
menghadapi maut. Dalam tujuannya yang tunggal (yaitu kebenaran)”.
4. Radakrishman, dalam bukunya “History of philosophy” menyebutkan “Tugas
filsafat bukan hanya sekedar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup,
melainkan membimbingnya maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai,
menetapkan tujuan, menentukan arah dan menuntun pada jalan baru yaitu kebenaran”.
5. Soemadi Soejabrata menyatakan bahwa
mempelajari filsafat adalah untuk mempertajam pikiran.
6. H. De Vos berpendapat bahwa filsafat
tidak hanya cukup diketahui, namun harus dipraktikkan dalm kehidupan
sehari-hari.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa tujuan mempelajari filsafat adalah mencari hakikat kebenaran sesuatu,
baik dalam logika (kebenaran berpikir), etika (berperilaku), maupun metafisika
(hakikat keaslian).
Adapun
tujuan lain dari Filsafat, antara lain sebagai berikut:
1. Dengan
berfikir filsafat seseorang bisa menjadi manusia, lebih mendidik dan membangun
diri sendiri.
2. Seseorang
dapat menjadi orang yang dapat berfikir sendiri.
3. Memberikan
dasar-dasar pengetahuan, memberikan pandangna yang sintesis pula sehingga
seluruh pengetahuan merupakan satu kesatuan.
4. Hidup
seseorang tersebut dipimpin oleh pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang
tersebut. Sebab itu mengetahuai pengetahuan-pengetahuan terdasar berarti
mengetahui dasar-dasar hidup diri sendiri.
5. Bagi
seorang pendidik filsafat mempunyai kepentingan istimewa karena filsafatlah
yang memberikan dasar-dasar dari ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang mengenai
manusia seperti misalnya ilmu mendidik.
E.
Pengertian
Bimbingan dan Konseling
Ada banyak definisi
tentang Bimbingan dan Konseling, bahkan penggunaan kata bimbingan dan konseling
itu sendiri. Frank Parson (Prayitno,
1999:93), mendefinisikan bimbingan sebagai bantuan yang diberikan kepada
individu untuk dapat memilih, mempersiapkan diri, dan memangku suatu jabatan
serta mendapat kemajuan dalam jabatan yang dipilihnya itu. Dan konseling
diartikan sebagai kegiatan pengungkapan fakta atau data tentang siswa, serta
pengarahan kepada siswa untuk dapat mengatasi sendiri masalah-masalah yang
dihadapinya.
Shetzer dan Stone
(1980), menggunakan kata hubungan pemberian bantuan (helping relationship) untuk
suatu proses konseling yang berarti interaksi antara konselor dengan klien
dalam upaya memberikan kemudahan
terhadap cara-cara pengembangan diri yang positif. Selain itu Prayitno,
dkk. (2003) mengemukakan bahwa bimbingan dan konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik,
baik secara perseorangan maupun kelompok, agar mandiri dan berkembang secara
optimal, dalam bimbingan pribadi, bimbingan social, bimbingan belajar dan
bimbingan karir, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan
norma-norma yang berlaku.
Dari pendapat Prayitno, dkk. yang memberikan
pengertian bimbingan disatukan dengan konseling merupakan pengertian formal dan
menggambarkan penyelenggaraan bimbingan dan konseling yang saat ini diterapkan
dalam sistem pendidikan nasional.
F.
Hubungan
Filsafat dengan Bimbingan dan Konseling
Filsafat memiliki
hubungan yang sangat erat dengan bimbingan dan konseling. Filsafat dalam
bimbingan dan konseling atau yang lebih dikenal dengan istilah “Landasan
Filosofis” dijadikan sebagai salah satu landasan / dasar / patokan bagi
konselor dalam memberikan arahan dan pemahaman terhadap pelaksanaan setiap
kegiatan bimbingan dan konseling agar dapat dipertanggung jawabkan secara
logis, etis maupun estetis. Landasan filosofis dalam bimbingan dan konseling
berkenaan dengan usaha mencari jawaban yang hakiki atas pertanyaan filosofis
tentang: apakah manusia itu? Dan untuk mencari jawaban atas pertanyaan
filosofis tersebut, tentunya tidak lepas dari berbagai aliran filsafat yang
ada, mulai dari filsafat klasik hingga filsafat modern dan bahkan filsafat
post-modern. Dari
berbagai aliran filsafat yang ada, para penulis Barat Victor Frankl, Patterson,
Alblaster & Lukes, Thompson & Rudolph (dalam Prayitno, 2003) telah
mendeskripsikan tentang hakikat manusia sebagai berikut
1. Manusia adalah makhluk rasional yang
mampu berfikir dan mempergunakan ilmu untuk meningkatkan perkembangan dirinya.
2. Manusia dapat belajar mengatasi
masalah-masalah yang dihadapinya apabila dia berusaha memanfaatkan kemampuan-kemampuan
yang ada pada dirinya.
3. Manusia berusaha terus-menerus
memperkembangkan dan menjadikan dirinya sendiri khususnya melalui pendidikan.
4. Manusia dilahirkan dengan potensi
untuk menjadi baik dan buruk dan hidup berarti upaya untuk mewujudkan kebaikan
dan menghindarkan atau setidak-tidaknya mengontrol keburukan.
5. Manusia memiliki dimensi fisik,
psikologis dan spiritual yang harus dikaji secara mendalam.
6. Manusia akan menjalani tugas-tugas
kehidupannya dan kebahagiaan manusia terwujud melalui pemenuhan tugas-tugas
kehidupannya sendiri.
7. Manusia adalah unik dalam arti
manusia itu mengarahkan kehidupannya sendiri.
8. Manusia adalah bebas merdeka dalam
berbagai keterbatasannya untuk membuat pilihan-pilihan yang menyangkut
perikehidupannya sendiri. Kebebasan ini memungkinkan manusia berubah dan
menentukan siapa sebenarnya diri manusia itu adan akan menjadi apa manusia itu.
9. Manusia pada hakikatnya positif,
yang pada setiap saat dan dalam suasana apapun, manusia berada dalam keadaan
terbaik untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk melakukan sesuatu.
Dengan memahami hakikat manusia
tersebut maka setiap upaya bimbingan dan konseling diharapkan tidak menyimpang
dari hakikat tentang manusia itu sendiri. Seorang konselor dalam berinteraksi
dengan kliennya harus mampu melihat dan memperlakukan kliennya sebagai sosok
utuh manusia dengan berbagai dimensinya.
John J. Pietrofesa et.al. (1980:
30-31) dalam (Yusuf, 2010) mengemukakan bahwa terdapat beberapa prinsip yang
berkaitan dengan landasan filosofis dalam bimbingan, yaitu sebagai berikut :
1. Objective Viewing
Dalam hal ini konselor membantu klien agar memperoleh suatu
perspektif tentang masalah khusus yang dialaminya, dan membantunya untuk
menilai atau mengkaji berbagai alternatif atau strategi kegiatan yang memungkinkan
klien mampu merespon interes, minat atau keinginannya secara konstruktif.
2. The
Counselor must have the best interest of the client at heart
Dalam
hal ini konselor harus merasa puas dalam membantu klien mengatasi masalahnya.
Konselor menggunakan keterampilan untuk membantu klien dalam upaya
mengembangkan keterampilan klien dalam mengatasi masalah (coping) dan
keterampilan hidupnya (life skills).
John J. Pietrofesa et.al. (1980)
dalam (Yusuf, 2010) selanjutnya mengemukakan pendapat James Cribbin tentang
prinsip-prinsip filosofis dalam bimbingan sebagai berikut.:
1. Bimbingan hendaknya didasarkan pada
pengakuan akan keilmuan dan harga diri individu (klien) dan atas hak-haknya
untuk mendapat bantuan.
2. Bimbingan merupakan proses
pendidikan yang berkesinambungan. Artinya bimbingan merupakan bagian integral
dalam pendidikan.
3. Bimbingan harus respek terhadap
hak-hak setiap klien yang meminta bantuan atau pelayanan.
4. Bimbingan bukan prerogratif kelompok
khusus profesi kesehatan mental. Bimbingan dilaaksanakan melalui kerjasama,
yang masing-masing bekerja berdasarkan keahlian atau kompetensinya sendiri.
5. Fokus bimbingan adalah membantu
individu dalam merealisasikan potensi dirinya.
6. Bimbingan merupakan elemen
pendidikan yang bersifat individualisasi, personalisasi dan sosialisasi.
Makna dan fungsi filsafat dalam
kaitanya dengan layanan bimbingan dan konseling, Prayitno dan Erman Amti (dalam
Yusuf, 2010) mengemukakan pendapat Belkin (1975) yaitu bahwa, “Pelayanan
bimbingan dan konseling meliputi kegiatan atau tindakan yang semuanya
diharapkan merupakan tidakan yang bijaksana. Untuk itu diperlukan pemikiran
filsafat tentang berbagai hal yang tersangkut-paut dalam pelayanan bimbingan dan
konseling. Pemikiran dan pemahaman filosofis menjadi alat yang bermanfaat bagi
pelayanan bimbingan dan konseling pada umumnya, dan bagi konselor pada
khususnya, yaitu membantu konselor dalam memahami situasi konseling dalam
mengambil keputusan yang tepat. Disamping itu pemikiran dan pemahaman filosofis
juga memungkinkan konselor menjadikan hidupnya sendiri lebih mantap, lebih
fasilitatif, serta lebih efektif dalam penerapan upaya pemberian bantuannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Bakti, Hasan
Nasution. 2001. Filsafat Umum. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Mustanyir,
Rizal & Misnal Munir. 2000. Filsafat
Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mustofa
. 1997. Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Sudarsono.
2001. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Suriasumantri,
Jujun S. 2005. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Tafsir, Prof.
Dr. Ahmad. 2006. Filsafat Ilmu. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
http://niyyadyah.blogspot.com/2012/03/makalah-tentang-kaitan-filsafat-dengan.html
di akses 20 Desember 2014.