A.
Persyaratan
Sebagai Konselor
Prof. Sofyan S. Willis (2009:79-85)
memaparkan secara panjang lebar kualifikasi konselor. Menurutnya, kualitas
konselor adalah semua kriteria keunggulan, termasuk pribadi, pengetahuan,
wawasan, keterampilan, dan nilai-nilai yang dimilikinya yang akan memudahkannya
dalam menjalankan proses konseling sehingga mencapai tujuan dengan berhasil
(efektif).
Salah satu kualitas yang jarang
dibicarakan adalah kualitas pribadi konselor. Kualitas pribadi konselor adalah
kriteria yang menyangkut segala aspek kepribadian yang amat penting dan
menentukan keefektifan konselor jika dibandingkan dengan pendidikan dan latihan
yang ia peroleh.
Kualitas pribadi konselor merupakan
faktor yang sangat penting dalam konseling. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa kualitas pribadi konselor menjadi faktor penentu bagi
pencapaian konseling yang efektif, di samping faktor pengetahuan tentang
dinamika perilaku dan keterampilan terapeutik atau konseling.
Cavanagh (1982) mengemukakan bahwa
kualitas pribadi konselor ditandai dengan beberapa karakteristik sebagai
berikut : (a) Pemahaman diri; (b) kompeten; (c) memiliki kesehatan psikologis
yang baik; (d) dapat dipercaya; (e) jujur; (f) kuat; (g) hangat; (h) responsif;
(i) sabar; (j) sensitif; dan (k) memiliki kesadaran yang holistik.
1.
Pemahaman diri (Self-knowledge)
Self-knowledge ini berarti bahwa konselor memahami
dirinya dengan baik, dia memahami secara pasti apa yang dia lakukan, mengapa
dia melakukan hal itu, dan masalah apa yang harus dia selesaikan. Konselor yang
memiliki tingkat self-knowledge yang
baik akan menunjukkan sifat-sifat berikut:
a)
Konselor
menyadari dengan baik tentang kebutuhan dirinya. Seperti: (a) kebutuhan untuk
sukses; (b) kebutuhan merasa penting, dihargai, superior, dan kuat.
b)
Konselor
menyadari dengan baik tentang perasaan-perasaannya. Seperti: rasa marah, takut,
bersalah, dan cinta.
c)
Konselor
menyadari tentang apa yang membuat dirinya cemasdalam konseling, dan apa yang
menyebabkan dirinya melakukan pertahanan diri dalam rangka mereduksi kecemasan
tersebut.
d)
Konselor
memahami atau mengakui kelebihan (kekuatan) atau kelemahan (kekurangan)
dirinya.
2.
Kompeten (Competent)
Yang dimaksud kompeten disini adalah
bahwa konselor itu memiliki kualitas fisik, intelektual, emosional, sosial, dan
moral sebagai pribadi yang berguna.
3.
Kesehatan Psikologis
Konselor dituntut memiliki kesehatan
psikologis yang lebih baik dari kliennya. Hal ini penting karena kesehatan
psikologis (psychological health) konselor akan mendasari pemahamannya
terhadap perilaku dan keterampilannya. Ketika konselor memahami bahwa kesehatan
psikologisnya baik dan dikembangkan melalui konseling, maka dia membangun
proses konseling tersebut secara lebih positif. Apabila konselor tidak
mendasarkan konseling tersebut kepada pengembangan kesehatan psikologis, maka
dia akan mengalami kebingungan dalam menetapkan arah konseling yang
ditempuhnya.
Konselor merupakan model dalam
berperilaku, apakah dia menyadari atau tidak. Setiap pertemuan konseling
merupakan suatu periode pengawasan yang begitu intensif terhadap tingkah
lakuyang adaptif. Ketika konselor kurang memiliki kesehatan psikologis, maka
perannya sebagai model berperilaku bagi klien menjadi tidak efektif, bahkan
dapat menimbulkan kecemasan bagi klien. Apabila itu terjadi, maka konselor
bukan berperan sebagai penolong dalam memecahkan masalah, tetapi justru sebagai
pemicu masalah klien.
4.
Dapat Dipercaya (Trustworthiness)
Kualitas ini bahwa konselor itu
tidak menjadi ancaman atau penyebab kecemasan bagi klien. Kualitas konselor
yang dapat dipercaya sangat penting dalam konseling, karena beberapa alasan
sebagai berikut.
a) Esensi tujuan konseling adalah
mendorong klien untuk mengemukakan masalah dirinya yang paling dalam.
b) Klien dalam konseling perlu
mempercayai karakter dan motivasi konselor. Artinya klien percaya bahwa
konselor mempunyai motivasi untuk membantunya.
c) Apabila klien mendapat penerimaan
dan kepercayaan dari konselor, maka akan berkembang dalam dirinya sikap percaya
terhadap dirinya sendiri.
5.
Jujur (honesty)
Yang dimaksud jujur disini adalah
bahwa konselor itu bersikap transparan (terbuka), autentik, dan asli (genuine).
Sikap jujur ini penting dalam konseling, karena alasan-alasan berikut :
a) Sikap keterbukaan memungkinkan
konselor dan klien untuk menjalin hubungan psikologis yang lebih dekat satu
sama lainnya di dalma proses konseling. Kedekatan hubungan psikologis sangat
penting dalam konseling, sebab dapat menimbulkan hubungan yang langsung dan
terbuka antara konselotr dengan klien.
b) Kejujuran memungkinkan konselor
dapat memberikan umpan balik secara objektif kepada klien.
6.
Kekuatan (Strength)
Kekuatan atau kemampuan konselor
sangat penting dalam konseling, sebab dengan hal itu klien akan merasa aman.
Klien memandang konselor sebagai orang yang (a) tabah dalam menghadapi masalah,
(b) dapat mendorong klien untuk mengatasi masalahnya dan, (c) dapat
menanggulangi kebutuhan dan masalah pribadi.
7.
Bersikap Hangat
Yang dimaksud bersikap hangat itu
adalah : ramah, penuh perhatian, dan memberikan kasih sayang. Klien yang datang
meminta bantuan konselor, pada umumnya yang kurang mengalami kehangatan dalam
hidupnya, sehingga dia kehilangan kemampuan untuk bersikap ramah, memberikan
perhatian, dan kasih sayang. Melalui konseling, klien ingin mendapat rasa
hangat tersebutdan melakukan “sharing” dengan konselor.
8.
Actives
Responsiveness
Keterlibatan konselor dalam proses
konseling bersifat dinamis, tidak pasif. Melalui respon yang aktif, konselor
dapat mengkomunikasikan perhatian dirinya terhadap kebutuhan klien. Disini,
konselor mengajukan pertanyaan yang tepat, memberikan umpan balik yang
bermanfaat, memberikan informasi yang berguna, mengemukakan gagasan-gagasan
baru, berdiskusi dengan klien tentang cara mengambil keputusan yang tepat, dan
membagi tanggung jawab dengan klien dalam proses konseling.
9.
Sabar (Patience)
Melalui kesabaran konselor dalam
proses konseling dapat membantu klien untuk mengembangkan dirinya secara alami.
Sikap sabar konselor menunjukkan lebih memperhatikan diri klien dari pada
hasilnya. Konselor yang sabar cenderung menampilkan kualitas sikap dan perilaku
yang tidak tergesa-gesa.
10. Kepekaan
(Sensitivity)
Kualitas ini berarti bahwa konselor
menyadari tentang adanya dinamika psikologis yang tersembunyi atau sifat-sifat
mudah tersinggung, baik dari pada klien maupun dirinya sendiri. Klien yang
datang untuk meminta bantuan konselor pada umumnya tidak menyadari masalah yang
sebenarnya mereka hadapi. Bahkan ada yang tidak menyadari bahwa dirinya
bermasalah.Pada diri mereka hanya nampak gejala-gelajanya (pseudo masalah),
sementara yang sebenarnya tertutup oleh perilaku pertahanan dirinya. Konselor
yang sensitif akan mampu mengungkap atau menganalisis apa masalah yang
sebenarnya yang dihadapi klien.
11. Kesadaran
Holistik (Holistic Awareness)
Pendekatan holistik dalam konseling
berarti bahwa konselor memahami klien secara utuh dan tidak mendekatinya secara
serpihan. Namun begitu bukan berarti bahwa konselor sebagai seorang ahli dalam
segala hal, disini menunjukkan bahwa konselor perlu memahami adanya berbagai
dimensi yang menimbulkan masalah kline dan memahami bagaimana dimensi yang satu
memberi pengaruh terhadap dimensi yang lainnya. Dimensi-dimensi itu meliputi:
fisik, intelektual, emosi, sosial, seksual, dan moral spiritual.
B. Pendidikan Konselor
Konselor adalah tenaga pendidik profesional yang telah
menyelesaikan pendidikan akademik Strata
Satu (S-1) program studi Bimbingan dan Konseling dan Program Pendidikan Profesi
dari perguruan tinggi penyelenggara
program pengadaan kependidikan yang terakreditasi. Sedangkan bagi individu yang
menerima pelayanan profesi bimbingan dan konseling disebut konseli, dan
pelayanan bimbingan dan konseling pada jalur pendidikan formal dan non formal
diselenggarakan oleh konselor. Kualifikasi akademik konselor dalam satuan
pendidikan pada jalur pendidikan formal dan non formal adalah:
1)
Sarjana
Pendidikan (S-1) dalam bidang Bimbingan dan Konseling
2)
Berpendidikan
Profesi Konselor (PPK)
DAFTAR PUSTAKA
Latipun. (2001). Psikologi
Konseling. Malang : Universitas Muhammadiyah Malang
Prayitno & Amti, Erman. (1999). Dasar-Dasar Bimbingan & Konseling. Jakarta : Rineka Cipta.
Salahudin, Anas. (2010). Bimbingan dan Konseling. Bandung : Pustaka Setia.
Yusuf, Syamsu & Nurihsan, Juntika. (2008). Landasan Bimbingan & Konseling.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
No comments :
Post a Comment