http://i560.photobucket.com/albums/ss44/erge32/EkaSidebar.gif

Semoga bermanfaat untuk kawan-kawanku n juga bagi publik,, :)

Guidance and Counseling Riska Ratna

Tuesday, 20 May 2014

Konseling Lintas Budaya

A.      KONSEP DASAR BUDAYA
Kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta  yaitu Budi dan Daya. Budi yang berarti akal, pikiran, cara berpikir atau pengertian sedangkan daya yang berarti kekuatan atau upaya-upaya dari hasil-hasil.
Istilah-istilah dalam budaya diantaranya sebagai berikut.
1.      Ras
Menurut Hernandes (1989), ras mengacu pada cara suatu kelompok masyarakat menggambarkan dirinya sendiri atau digambarkan ol eh orang lain sebagai hal yang berbeda dari manusia lainnya karena karakteristik fisik bawaan yang di asumsikan.

2.      Etnis
Etnis merupakan warisan budaya dari sekelompok orang tertentu. Etnis membedakan dan menyamakan individu/anggota kelompok dalam hal sejarah, norma perilaku, bahasa dan berbagai karakteristik lainnya.

3.      Society (masyarakat)
Masyarakat merupakan intitusi social yang memiliki karakteristik structural yang jelas yang digambarkan dengan gaya hidup yang kemudian dianggap sebagai sutau budaya.

4.      Subculture
Subculture merupakan bagian dari masyarakat yang membentuk kelompok eksklusif atau kelompok tersendiri. Subculture merujuk pada sebuah populasi (sub) di dalam suatu masyarakat (mayor) yang memegang system budaya yang berkembang pada masyaakat mayor (umum). Contoh daripada subculture, yaitu:
a)      fenomena anak punk
b)      gank alay
c)      Korean style (K-pop)
d)     hijabers
e)      dan lain-lain
5.      Kelas Sosial
Kelas social mengacu pada stratifikasi (pengkelasan/penggolongan) berdasarkan criteria tertentu di dalam masyarakat, biasanya berdasar status social-ekonomi. Contohnya adanya gank anak-anak kaya dan gank anak-anak miskin/ tidak mampu di sekolah. Keberadaan gank ini tentu saja tidak layak di contoh karena pada dasarnya semua manusia itu sama di mata pencipta-Nya.

B.       DIMENSI BUDAYA
1.      Posisi dan Peran Sosial
Posisi mengindikasikan di mana seorang berada dalam sebuah ruangan seseorang dapat menempati posisi sebagai seorang anak, ayah, atau saudara sepupu (dalam space keluarga) ; seorang karyawan, manager, atau guru part-time (dalam space pekerjaan) ;sebagai sesepuh desa, ketua RT, atau ulama (dalam space kemasyarakatan).
 Sedangkan yang dimaksud peran sosial adalah seperangkat harapan terhadap seseorang yang menempati suatu posisi/status sosial.

2.      Norma dan Kontrol Sosial
Norma adalah standar perilaku yang diadakan untuk mengontrol perilaku anggota suatu kelompok. Norma sosial bervariasi dalam derajat pengaruhnya terhadap perilaku, semacam Folkways atau norma kesopanan, mores atau norma susila dan norma hukum.

Sedangkan yang dimaksud kontrol sosial adalah merupakan suatu mekanisme untuk mencegah penyimpangan sosial serta mengajak dan mengarahkan masyarakat untuk berperilaku dan bersikap sesuai norma dan nilai yang berlaku. Dengan adanya kontrol sosial yang baik diharapkan mampu meluruskan anggota masyarakat yang berperilaku menyimpang / membangkang.


3.      Struktur Sosial
Menurut ilmu sosiologi, struktur sosial adalah tatanan atau susunan sosial yang membentuk kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat.
Ciri – ciri struktur sosial antara lain :
a)        Bersifat abstrak
b)        Terdapat dimensi vertikal dan horizontal
c)        Sebagai landasan sebuah proses sosial suatu masyarakat
d)       Bagian dari sistem pengaturan tata kelakuan dan pola hubungan masyarakat
e)        Selalu berkembang dan dapat berkemban

4.      Sosialisasi dan Enkulturasi
Menurut Soerjono Soekanto, sosialisasi adalah suatu proses di mana anggota masyarakat baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat di mana ia menjadi anggota. Di mana-mana, di berbagai kebudayaan, sosialisasi tampak berbeda-beda tetapi juga sama. Meskipun caranya berbeda, tujuannya sama, yaitu membentuk seorang manusia menjadi dewasa. Proses sosialisasi seorang inndividu berlangsung sejak kecil. Mula-mula mengenal dan menyesuaikan diri dengan individu-individu lain dalam lingkungan terkecil (keluarga), kemudian dengan teman-teman sebaya atau sepermainan yang bertetangga dekat, dengan saudara sepupu, sekerabat, dan akhirnya dengan masyarakat luas.
Enkulturasi atau pembudayaan adalah proses mempelajari dan menysuaikan alam pikiran dan sikap individu dengan sistem norma, adat, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Proses ini berlangsung sejak kecil, mulai dari lingkungan kecil (keluarga) ke lingkungan yang lebih besar (masyarakat). Misalnya anak kecil menyesuaikan diri dengan waktu makan dan waktu minum secara teratur, mengenal ibu, ayah, dan anggota-anggota keluarganya, adat, dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam keluarganya, dan seterusnya sampai ke hal-hal di luar lingkup keluarga seperti norma, adat istiadat, serta hasil-hasil budaya masyarakat.
Adapun perbedaan antara enkulturasi dan sosialisasi adalah dalam enkulturasi seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikirannya dengan lingkungan kebudayaannya, sedangkan sosialisaasi si individu melakukan proses penyesuaian diri dengan lingkungan sosial.

5.      Ethic dan Emic
Ethic dan Emic sebenarnya merupakan istilah antropologi yang dikembangkan oleh pike (1967) dalam Segall (1990). Para psikolog yang berminat pada kajian lintas budaya lebih menggunakan istilah Ethic dan Emic sebagai aspek daripada titik pandang atau cara pendekatan. Ethic adalah aspek kehidupan yang muncul konsisten pada semua budaya. Emic menjelaskan universalitas sebuah konsep kehidupan sedangkan Emic menjelaskan keunikan dari sebuah konsep pada satu budaya (Matsumoto, 19996).

Pemahaman akan kedua konsep ini menjadi dasar dalam melakukan pemahaman budaya dan perbedaan budaya sekaligus dalam melakukan studi dan analisa penelitian psikologi lintas budaya. Sebuah perilaku dari manusia dan kita akui kebenarannya sebagai sebuah Ethic, maka dapat dikatakan bahwa perilaku tersebut adalah universal termasuk dalma kebenarannya. Hasil penelitian yang dilakukan dapat digeneralisasikan dan dijadikan dasar dalam penelitian selanjutnya di manapun seting budaya dan penelitian tersebut dilakukan. Contoh penelitian ini adalah apa yang dilakukan Ekman mengenai ekspresi emosi dasar pada wajah (facial expression of emotion).

Sebaliknya, sebuah perilaku atau nilai yang ada hanya ditemukan pada satu budaya dan benar hanya pada budaya tersebut, dalam studi psikologi lintas budaya tersebut saja. Contohnya adalah ritual suku Indian Amerika untuk mengambil kulit kepala (scalp) dari musuhnya yang telah mati adalah satu perilaku Emic yang khas dan benar hanya pada budaya tersebut saja.
6.      Etnosentrisme dan Stereotipe
Menurut Matsumoto (1996) etnosentrisme adalah kecenderungan untuk melihat dunia hanya melalui sudut pandang budaya sendiri. Berdasarkan definisi ini etnosentrisme tidak selalu negatif sebagimana umumnya dipahami. Etnosentrisme dalam hal tertentu juga merupakan sesuatu yang positif. Tidak seperti anggapan umum yang mengatakan bahwa etnosentrisme merupakan sesuatu yang semata-mata buruk, etnosentrisme juga merupakan sesuatu yang fungsional karena mendorong kelompok dalam perjuangan mencari kekuasaan dan kekayaan.

Stereotip adalah kombinasi dari ciri-ciri yang paling sering diterapkan oleh suatu kelompok tehadap kelompok lain, atau oleh seseorang kepada orang lain (Soekanto, 1993). Secara lebih tegas Matsumoto (1996) mendefinisikan stereotip sebagai generalisasi kesan yang kita miliki mengenai seseorang terutama karakter psikologis atau sifat kepribadian.

Beberapa contoh stereotip terkenal berkenaan dengan asal etnik adalah stereotip yang melekat pada etnis jawa, seperti lamban dan penurut. Stereotip etnis Batak adalah keras kepala dan maunya menang sendiri. Stereotip orang Minang adalah pintar berdagang. Stereotip etnis Cina adalah pelit dan pekerja keras.

C.      BUDAYA DAN EMOSI
1.         Manusia dan Emosi
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah swt. yang paling sempurna karena memiliki akal, pikiran dan nafsu. Manusia pada dasarnya individualistik, namun manusia juga bersifat sosialis artinya manusia memang pada dasarnya hidup sendiri-sendiri tapi di sisi lain manusia memerlukan campur tangan ataupun bantuan orang lain dalam hidupnya terutama untuk menunjang perkembangan dirinya seutuhnya.

Sedangkan emosi merupakan warna efektif yang menyertai setiap perilaku idividu, yang  berupa perasaan-perasaan tertentu yang dia alami pada saat menghadapi situasi tertentu. Kata “emosi” berasal dari bahasa latin yaitu “Emovere”, yang artinya “bergerak keluar”. Maksud setiap emosi adalah untuk menggerakkan individu untuk menuju rasa aman dan pemutuhan kebutuhanya, serta menghindari sesuatu yang merugikan dan menghambat pemenuhan kebutuhan.

Emosilah yang seringkali menghambat orang tidak melakukan perubahan. Ada perasaan takut dengan yang akan terjadi, ada rasa cemas, ada rasa khawatir, ada pula rasa marah karena adanya perubahan. Hal tersebut itulah yang seringkali menjelaskanmengapa orang tidak mengubah polanya untuk berani mengikuti jalur-jalur menapaki jenjang kesuksesan. Hal ini sekaligus pula menjelaskan pula mengapa banyak orang yang sukses yang akhirnya terlalu puas dengan kondisinya, selanjutnya takut melangkah. Akhirnya menjadi orang yang gagal

Hubungan antara manusia dengan emosi sangatlah jelas tergambarkan berdasarkan uraian di atas. Emosi mendasari tingkah laku manusia. Emosi dapat berupa kesal, terkejut, heran, sedih, senang, bahagia, dan lain sebagainya.

2.         Emosi dalam Kajian Psikologi
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang manusia, sedangkan emosi adalah perasaan mendalam yang diikuti adanya perubahan elemen kognitif maupun fisik  dan memepengaruhi perilaku manusia. Jadi, emosi dalam psikologi disini berarti setiap perilaku manusia itu merupakan salah satu bentuk emosi manusia yang di eksperikannya di lingkungan.

Ada bebrapa fungsi emosi dalam kehidupan, diantaranya:
a)      Membantu persiapan tindakan.
b)      Membentuk perilaku yang akan datang.
c)      Membantu kita untuk mengatur interaksi social.

3.         Persamaan Budaya Mengenai Emosi
Budaya mempengaruhi labeling dari emosi. Ada kesepakatan umum dalam setiap budaya mengenai kapan dan dimana serta emosi yang mana yang di tampilkan pada ekspresi muka, sekalipun itu merupakan emosi dasar yang universal. Namun demikian, ada variabilitas dalam level kesepakatan dari setiap budaya.  

Budaya diyakini mempengaruhi persepsi dan interpretasi emosi. banyak akademisi yang meyakini bahwa proses yang terjadi  adalah serupa dengan proses bagaimana budaya mempengaruhi aturan penampilan emosi (display rules). Aturan bagaimana interpretasi dan persepsi terhadap suatu emosi dilakukan disebut decoding rules (Buck dalam dalam Matsumoto, 1996)

D.      BUDAYA DAN KEPRIBADIAN MANUSIA
1.         Budaya dan Kepribadian Manusia
Kebudayaan berasal dari kata budh- budhi- budhaya dalam bahasa sansekerta yang berarti akal, sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Kebudayaan tidak bisa dilihat atau dipegang karena berada di dalam pikiran atau kepala manusia. Oleh karena itu, kebudayaan bersifat abstrak. Akan tetapi, hasil kebudayaan dapat dilihat dan dideteksi (dipantau) dengan panca indra manusia.

Menurut Roucek dan Warren, kepribadian adalah organisasi yang terdiri atas faktor-faktor biologis, psikologis dan sosiologis. Kepribadian adalah serangkaian karakteristik pemikiran, perasaan dan perilaku yang berbeda antara individu dan cenderung konsisten dalam setiap waktu dan kondisi. Ada dua aspek dalam definisi ini, yaitu kekhususan (distinctiveness) dan stablilitas serta konsistensi (stability and consistency). Semua definisi di atas menggambarkan bahwa kepribadian didasarkan pada stabilitas dan konsistensi di setiap konteks, situasi dan interaksi. Definisi tersebut diyakini dalam tradisi panjang oleh para psikolog Amerika dan Eropa yang sudah barang tentu mempengaruhi kerja ataupun penelitian mereka. Semua teori mulai dari psikoanalisa Freud, behavioral approach Skinner, hingga humanistic Maslow-Rogers meyakini bahwa kepribadian berlaku konsistan dan konsep-konsep mereka berlaku universal. Dalam budaya timur, asumsi stabilitas kepribadian sangatlah sulit diterima. Budaya timur melihat bahwa kepribadian adalah kontekstual (contextualization). Kepribadian bersifat lentur yang menyesuaikan dengan budaya dimana individu berada. Kepribadian cenderung berubah, menyesuaikan dengan konteks dan situasi.

2.         Kepribadian dalam Lintas Budaya
Kepribadian merupakan konsep dasar psikologi yang berusaha menjelaskan keunikan manusia. Kepribadian mempengaruhi dan menjadi acuan dari pola pikir, perasaan dan perilaku individu manusia, serta bertindak sebagai aspek fundamental dari setiap individu tersebut. Dimana merupakan aspek inti keberadaan manusia yang karena tak lepas dari konsep kemanusiaan yang lebih besar, yaitu budaya sebagai konstruk sosial.

Hal pertama yang menjadi perhatian dalam studi lintas budaya dan kepribadian adalah perbedaan diantara beragam budaya dalam member definisi kepribadian. Dalam literature-literatur psikologi Amerika umumnya kepribadian dipertimbangkan sebagai karakter perilaku, karakter kognitif dan predisposisi yang relative abadi (Matsumoto, 1996).

Definisi lain menyatakan bahwa kepribadian adalah serangkaian karakteristik pemikiran, perasaan, dan perilaku yang berbeda antara tiap individu dan cenderung konsisten dalam setiap waktu dan kondisi. Ada dua aspek dalam definisi ini yaitu : kekhususan (distinctiveness), dan stabilitas serta konsistensi (stability and consistency) (Phares, 1991).
Semua definisi di atas menggambarkan bagaimana mereka mempercayai bahwa kepribadian didasarkan pada stabilitas dan konsistensi di setiap konteks, situasi dan iteraksi (Matsumoto, 1996).

Tokoh Humanistic salah satunya Maslow, dalam teorinya meyakini bahwa kepribadian diarahkan oleh pemenuhan level-level kebutuhan dengan puncaknya adalah keberhasilan dalam aktualisasi diri. Tahapan-tahapan kebutuhan Maslow tersebut diyakini para pengagumnya adalah berlaku universal, begitupun dengan apa yang dimaksud aktualisasi diri.
Budaya Timur (East Cultures) melihat kepribadian adalah kontekstual (contrxtualization). Kepribadian cenderung berubah, seberapapun besarnya, untuk menyesuaikan dengan konteks dan situasi (Matsumoto, 1996).

3.         Budaya dan Perrkembangannya
Kepribadian manusia selalu berubah sepanjang hidupnya dalam arah-arah karakter yang lebih jelas dan matang. Perubahan-perubahan tersebut sangat dipengaruhi lingkungan dengan fungsi–fungsi bawaan sebagai dasarnya. Stern menyebutnya sebagai Rubber Band Hypothesis (Hipotesa Ban Karet). Seseorang diumpamakan sebagai ban karet dimana faktor-faktor genetik menentukan sampai mana ban karet tersebut dapat ditarik (direntangkan) dan faktor lingkungan menentukan sampai seberapa panjang ban karet tersebut akan ditarik atau direntangkan. Dari hipotesa di atas dapat disimpulkan bahwa budaya memberi pengaruh pada perkembangan kepribadian seseorang. Perubahan-perubahan yang terjadi pada seorang anak yang tinggal bersama orangtua ketika beranjak dewasa tentunya sangat berbeda dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada anak yang tinggal di panti asuhan.

Selain itu, perkembangan kepribadian seseorang dipengaruhi pula oleh semakin bertambahnya usia seseorang. Semakin bertambah tua seseorang, tampak semakin pasif, motivasi berprestasi dan kebutuhan otonomi semakin turun, dan locus of control dirinya semakin mengarah ke luar (eksternal).

4.         Budaya dan Indigenous Personality
Berbagai persoalan mendasar yang muncul dalam kajian kepribadian dapat ditinjau melalui lintas budaya, menggambarkan sebuah pernyataan bahwa antar budaya yang berbeda sangat mungkin secara mendasar memiliki pandangan yang berbeda mengenai apa tepatnya kepribadian itu. Suatu kajian kepribadian yang bersifat lokal atau indigenous personality. Konseptualisasi mengenai kepribadian yang dikembangkan dalam sebuah budaya tertentu dan relevan hanya pada budaya tertentu tersebut.

Di Indonesia sendiri kajian mengenai indigenous personality telah diawali oleh Darmanto Jatman (1997). Dalam  bukunya Psikologi Jawa, Jatman menemukan adanya profil kepribadian manusia Jawa yang memandang jiwanya adalah sebagai rasa.Rasa ini terbagi atas tiga,yaitu: rasa subjek, rasa objek, dan rasa pertemuan subjek-objek. Ketiganya dilahirkan oleh rasa yaitu rasa hidup.

5.         Budaya dan Konsep Diri
Konsep diri adalah oganisasi dari persepsi-persepsi diri (Burns, 1979). Organisasi dari bagaimana kita mengenal, menerima dan menilai diri kita sendiri. Suatu deskripsi mengenai siapa kita, mulai dari identitas fisik, sifat, hingga prinsip.

Berfikir mengenai bagaimana mempersepsi diri, dalam percakapan awam, adalah bagaimana seseorang memberi gambaran mengenai sesuatu (hubungan dengan orang lain, etos kerja, atau sifat kepribadiannya misalnya) pada dirinya. Selanjutnya label akan sesuatu dalam diri tersebut digunakan sekaligus untuk mendeskripsikan karakter dirinya.
Dua kontinum yang sering dilakukan untuk mempermudah studi mengenai konsep diri dalam lintas budaya adalah konstruk diri individual dengan diri kolektif atau dalam bahasa Matsumoto disebut Independent Construal of Self dan Interdependent Construal of Self.
a)      Diri Individual /Independent Construal of Self
Diri individual adalah diri yang fokus pada atribut internal yang sifatnya personal-kemampuan individual, inteligensi, sifat kepribadian,dan pilihan-pilihan individual. Diri adalah terpisah dari orang lain dan lingkungan. Dalam istilah Matsumoto (1996) disebut konstruk diri yang tergantung (Independent Construal of Self).

Dalam kerangka  budaya ini, nilai akan kesuksesan dan perasaan akan harga diri mengambil bentuk khas individualisme. Ketika individu sukses untuk melaksanakan tugas budaya, tidak tergantung pada orang lain, maka mereka lebih puas akan diri mereka dan harga diri mereka meningkat seiringnya. Keberhasilan individu adalah berkata usaha keras dari indiidu tersebut, dan diri serta masyarakatnya sangat menghargai keberhasilannya karena individu tersebut mampu menggapainya tanpa bantuan orang lain.
b)      Diri Kolektif/ Interdependent Construal of Self.
Budaya yang menekankan nilai diri kolektif sangat khas dengan ciri perasaan akan keterkaitan antar manusia satu sama lain, bahkan antar dirinya sebagai mikro kosmos dengan lingkungan di luar dirinya sebagai makro kosmos. Tugas normatif utama pada budaya ini adalah bagaimana individu memenuhi dan memelihara katerikatannya dengan individu lain.Tugas normatif depanjang sejarah adalah mendorong saling ketergantungan satu sama lain.
Individu fokus pada status keterakitan mereka dan penghargaan serta tanggung jawab sosialnya. Aspek terpenting dalam pengalaman kesadaran adalah intersubjective, saling terhubung antar personal. Antar satu individu dengan individu lain dalam budaya dengan diri kolektif, misalnya memiliki derajat kekolektifitasan yang tidak sama. Bagaimana individu melihat keberhasilannya, siapa yang menentukan, dan bagi siapa keberhasilannya tersebut, apakah oleh dan untuk individu, ataukah oleh dan untuk kolektif, derajatnya antar individu adalah tidak sama.

E.       BUDAYA DAN PERKEMBANGAN MANUSIA
1.      Isu Budaya dalam Psikologi
Berdasarkan sejarah teori-teori yang ada mengenai perkembangan manusia, maka ada tiga paradigma yang menjadi acuan dalam mengkaji perkembangan manusia, diantaranya:
a)      Paradigma Mekanistik yang memandang manusia tak ubahnya seperti mesin yang hanya merespon suatu stimulus, kemudian menimbulkan tingkah laku. Paradigma ini di ilhami oleh pendekatan Behaviorisme.
b)      Paradigma Organismik yang menganggap manusia ditentukan pertama kali oleh factor-faktor biologis (bawaan). Tetapi pemunculan potensi-potensi bawaan itu sangat ditentukan oleh stimuli yang di berikan lingkungannya. misalnya teori perkembangan kognitif dari Piaget.
c)      Paradigma Dualistik Kontekstual memandang semua tingkah laku manusia di pengaruhi oleh konteks ruang dan waktu, yaitu dimana ia tinggal, situasi apa yang mempengaruhi dan kapan itu terjadi.
Wacana Perkembangan  (developmental niche) yang dipelopori oleh Super dan Harkness memiliki tiga komponen, yaitu :
-       Konteks fisik dan lingkungan social dimana anak itu hidup dan tinggal.
-       Praktek pendidikan dan pengasuhan anak.
-       Karakteristik orang tua.

2.      Perbedaan dan Persamaan Budaya dalam Perkembangan
v  Perbedaan dan Persamaan Budaya dalam Perkembangan Motorik
Kebudayaan juga mempengaruhi perkembangan motorik anak terutama yang berkaitan dengan keaktifan gerak anak. Keaktifan gerak berbeda dengan perkembangan gerak. Keaktifan gerak hanyalah semata-mata  banyak sedikitnya gerak, sedangkan perkembangan gerak ialah perkembangan pengendalian dan koordinasi otot-otot yang diperlekukan untuk mendapatkan kecakapan gerak.

Jika keaktifan gerak dipengaruhi oleh kebudayaan, maka sebaliknya perkembangan gerak hampir tidak terpengaruh oleh kebudayaan. Hal ini ditunjukkan oleh Dennis (dikutip dari Yapsir Gandi  Wirawan, 1994) pada penelitiannya yang terkenal pada dua kelompok anak suku Indian Hopi. Kelompok yang satu terdiri dari bayi- bayi Hopi yang di asuh oleh orang tua mereka seperti cara orang-orang Amerika mengasuhnya, yakni di beri kebebasan bergerak sepenuhnya. Kelompok yang lain terdiri dari bayi-bayi Hopi yang beberapa saat setelah lahir di balut dengan kain erat-erat, mirip gedungan bayi-bayi di Jawa, hingga baik bagian lengan maupun kakinya sedikit sekali dapat bergerak, dan di ikat pada papan kayu kecil hingga mudah di bawa kian kemari di belakang punggung ibu mereka.

Beberapa studi lain juga mengemukakan bahwa rendahnya tingkat rangsangan dan terbatasnya gubungan dengan inu (penjagaan bayi dengan tenang) secara perlehan berkaitan dengan perkembangan motoik yang relaif lebih lambat di Mexico Selatan, Guatemala, dan Jepang (Brazelton, Robey & Coller, 1969 ; Arai, Ishikawa dan Toshima, 1958; Kagan dan Kelin, 1973).

v  Perbedaan dan Persamaan Budaya dalam Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif adalah spesialiasasi dalam psikologi yang mempelajari bagaimna kemampuan berpikir sepanjang rentang kehidupan manusia. Kognitif  juga diartikan sebagai kegiatan untuk memperoleh, mengorganisasikan dan menggunakan pengetahuan. Dalam psikologi, kognitif adalah referensi dari faktor-faktor yang mendasari sebuah prilaku. Kognitif juga merupakan salah satu hal yang berusaha menjelaskan keunikan manusia. Pola pikir dan perilaku manusia bertindak sebagai aspek fundamental dari setiap individu yang tak lepas dari konsep kemanusiaan yang lebih besar, yaitu budaya sebagai konstruksi sosial.

Perubahan kognitif akan berhubungan dengan kemampuan penalaran moral, yaitu sejauh mana individu mampu melakukan analisis dan kesimpulan logis tentang dilemma-dilema yang melibatkan keputusan-keputusan moral. Istilah moral biasa di gunakan untuk menentukan akan batas suatu perbuatan, kelakuan, sifat yang benar. Moralpun digunakan sebagai prinsip hidup akan kebenaran dan kesalahan, kemampuan untuk memahami perbedaan yang salah dan yang benar. Perkembangan moral merupakan suatu perubahan akan penalaran, perasaan, dan perilaku yang sesuai dan yang tidak sesuai. Moral di bagi menjadi dua yakni:
-                 Hal yang baik dimana segala tingkah laku yang dikenal pasti akan etika yang baik.
-                 Hal yang buruk dimana tingkah laku tersebut dikenal akan sesuatu yang buruk.
Persamaan antar budaya melalui perkembangan moral adalah kesamaan pada perkembangan moral setiap individu. sedangkan perbedaan antar budaya melalui pertimbangan moral adalah pada budaya yang di anut.

3.      Temperamen, Kelekatan dan Pengasuhan Anak
Thomas dan Chess (1977) menggambarkan bahwa ada tiga kategori utama temperamen: gampangan, sulit dan lambat untuk memulai. Interaksi antara temperamen anak dengan temperamen orang tua tampaknya merupakan salah satu kunci perkembangan kepribadian. Reaksi-reaksi orang tua pada temperamen anak-anak mereka bisa memacu kestabilan atau ketidakstabilan dalam respon-respon temperamental anak-anak itu terhadap lingkungan.

Chisholm (1983) berpendapat bahwa ada hubungan yang kuat antara kondisi saat ibu hamil dengan iritabilitas bayi. Perbedaan temperamen yang khas untuk suatu kelompok budaya mengkin mencerminkan perbedaan-perbedaan genetic dan sejarah reproduksi.Interaksi antara respon orang tua dan temperamen bayi mungkin juda menjadi factor penting dalam perbedaan cultural.Tipe-tipe perbedaan yang muncul sejak lahir ini turut berperan dalam perbedaan kepribadian orang dewasa di budaya yang berbeda.

Kelekatan adalah ikatan khusus yang berkembang antara bayi dan pengasuhannya.Banyak para psikologi yang merasa bahwa kuaitas kelekatan ini punya efek seumur hidup terhadap hubungan seorang individu dengan orang-orang yang dicintainya. Kelekatan mendasari konsep kepercayaan dasar. Erikson (1963) menggambarkan formasi kepercayaan dasar sebagai langkah penting pertama dalam proses perkembangan psikososial yang berlangsung seumur hidup. Kelekatan yang buruk adalah komponen dari ketidak percayaan, kegagalan menyelesaikan kebutuhan-kebutuhan tahap perkembangan bayi.

Asumsi orang amerika tentang sifat kelekatan adalah bahwa kelekatan ideal adalah kelekatan aman.Banyak peneliti lintas-budaya yang menentang pemahaman tentang kedekatan dengan ibu merupakan syarat untuk terbentuknya kelekatan yang aman dan sehat.
Baumrind (1971) mengidentifikasikan tiga pola utama pengasuhan orang tua.Orang tua otoriter, orang tua yang permisif dan orang tua otoritatif. Banyak pengaruh terhadap perkembangan kita terjadi dalam hubunngan kita dengan orang selain orang tua kita.

Menjalankan peran sebagai orang tua dan pengasuhan anak dipengaruhi kadang secara sangat kuat oleh kondisi-kondisi kemiskinan.Lingkungan pengasuhan merupakan cermin dari seperangkat tujuan yang tesusun berdasarkan urutan nilai pentingnya. Yang pertama adalah kesehatan fisik dan pertahanan hidup, didukungnya perilaku-perilaku yang akan mengarah pada pemenuhan diri dan terakhir adalah perilaku-perilaku yang mendukung nilai-nilai cultural lain.

4.      Sosialisasi dalam Sistem Pendidikan
Sistem pendidikan semata-mata bukan hanya sebagai intitusi untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan pengetahuan. Tetapi juga merupakan intitusi penting yang mensosialiasikan anak-anak, mengajarinya dan memperkuat nilai-nilai budaya yang penting.

Sistem pendidikan menanamkan nilai-nilai budaya dan mensosialisasikan anak-anak melalui bebrapa cara, yaitu:
a)      Isi dari apa yang di ajarksn di sekolah merefleksikan suatu pilihan-pilihan secara apriori melalui anggapan yang di hargai oleh suatu budaya atau masyarakat tentang apa yang di yakini penting untuk dipelajari. Budaya yang berbeda akan memilih topic penting yang berbeda pula.
b)      Setting lingkungan dimana pendidikan itu berlangsung juga patut untuk di pertimbangkan.
Beberapa budaya mendorong model pengajaran didaktik, dimana seorang guru memberikan informasi kepada murid-murid yang diharapkan untuk mendengar dan belajar. Budaya lainnya memandang guru sebagai pemimpin yang membuat suatu rencana pelajaran, memberikan keseluruhan struktur dan kerangka kerja supaya murid-murid menemukan prinsip-prinsip dan konsep-konsep.

Sewaktu di sekolah, kebanyakan kehidupan anak-anak di habiskan waktunya jauh dari orang tua. Proses sosialisasi yang dimulai dalam hubungan primer dengan orang tua berlanjut dengan teman-teman sebaya dalam situasi bermain dan di sekolah. Sekolah melembagakan nilai-nilai budaya dan merupakan contributor yang berarti tidak hanya perkembangan intelektual anak tetapi juga pada perkembangan social dn emosional.

F.       BUDAYA DAN PROSES-PROSES DASAR PSIKOLOGIS
1.      Kognisi Manusia
Kognisi sebenarnya adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental yang mengubah masukan-masukan dari indra menjadi pengetahuan. Proses-proses ini mencakup persepsi, pemikiran rasional, dan seterusnya.
Meski kita mungkin mengira bahwa semua manusia mempunyai proses-proses mental dasar yang mirip, anda akan melihat bahwa orang-orang dari budaya yang berbeda mengorganisir, menyampaikan, dan merespon informasi secara berbeda-beda. Mereka juga berbeda dalam hal sejauh mana mereka berhasil mengembangkan kemampuan-kemampuan praktis tertentu dan dalam tingkat pendidikan formal gaya Eropa.

2.      Persepsi Manusia
Persepsi adalah tentang memahami bagaimana kita menerima stimulus dari lingkungan dan bagaimana kita memproses stimulus tersebut. Secara lebih spesifik, sensasinya biasanya  mengacu pada stimulus atau perangsangan nyata pada organ-organ indera tertentu – mata (system visual), telinga (system pendengaran atau auditori), hidung (sistem penciuman atau olfaktori), lidah (pengecapan atau rasa), dan kulit (sentuhan). Persepsi biasanya dimengerti sebagai bagaimana informasi yang berasal dari organ yang terstimulasi diproses, termasuk bagaimana informasi tersebut diseleksi, ditata, dan ditafsirkan. Pendek kata, persepsi mengacu pada proses di mana informasi inderawi diterjemahjkan menjadi sesuatu yang bermakna.

Penelitian lintas-budaya di bidang sensasi dan persepsi belum sebanyak bidang psikologi lain seperti perkembangan, perkembangan kognitif dan intelegensi, emosi, dan psikologi sosial.

3.      Budaya dan Kognisi
Salah satu proses dasar kognisi adalah cara bagaimana orang melakukan kategorisasi. Kategorisasi umumnya dilakukan atas adasar persamaan dan perbedaan karakter dan obyek-obyek dimaksud. Selain itu, fungsi obyek juga merupakan determinan utama dari proses kategorisasi. Misal, ketika kita melakukan kategorisasi mengenai buku. Ada bermacam-macam buku mulai dari buku cerita, buku tulis, buku pelajaran hingga buku mewarnai untuk anak-anak. Semuanya kita masukan dalam kategorisasi karena kesamaanbentuknya dan fungsinya byaitu tempat menuliskan sesuatu. Kertas tidak bisa kita kategorikan ke dalam buku karena meskipun fungsinya bisa di anggap sama namun dalam hal bentuk sangat berbeda. Buku tersusun atas banyak lembar kertas, sedang kertas tersusun atas satu lembar atau bisa dihitung sejumlah jari tangan.

Orang dengan latar budaya manapun juga cenderung melakukan kategorisasi bentuk benda (shapes) dalam kerangka bentuk-bentuk dasarnya, semacam : segitiga sama sisi, lingkaran, dan segiempat. Hal ini berbeda kategorisasi dilakukan terhadap bentuk-bentuk geometris yang tidak beraturan. Penemuan dalam lintas budaya ini membuktikan bagaimana factor psikologis mempengaruhi pada bagaimana manusia melakukan  kategorisasi melalui stimulus dasar tertentu, dalam hal ini yang sudah terungkap adalah dalam bentuk, warna dan ekspresi muka (Berry, 1999).
4.      Intelegensi
Kata inteligensi atau kecerdasan berasal dari kata latin intellegentia, yang pertama kali digunakan oleh seorang ahli pidato dari Romawi yaitu Cicero, Dalam pandangan orang Amerika, inteligensi adalah sejumlah kemampuan, keahlian, talenta, dan pengetahuan, yang keseluruhannya merujuk pada kemampuan kognitif dan proses mental. Yang terlingkup dalam inteligensi adalah memori (seberapa baik dan seberapa banyak serta seberapa lama kita mengingat suatu informasi), kekayaan kosakata (beberapa banyak kosakata yang kita gunakan dan mampu gunakan dengan tepat), kemampuan komprehensif (seberapa baik kita memahami serangkaian ide dan pernyataan), kemampuan matematis (penambahan, pembagian dan sebagainya), serta berpikir logis (seberapa baik kita menangkap keurutan suatu peristiwa dan melogikanya).

Banyak teori yang telah dibangun para psikolog untuk menjelaskan intelegensi. Mulai dari yang klasik, Piaget yang melihat inteligensi berkembang dalam tahapan – tahapan yang jelas hingga Sternberg (1986) yang membagi inteligensi dalam tiga komponen besar, yaitu kecerdasan contextual, experiential, dan componential. Kecerdasan contextual adalah kemampuan untuk beradaptasi dengan suatu lingkungan, memecahkan masalah dalam suatu situasi yang spesifik. Kecerdasan experentiql merujuk pada kemampuan untuk merumuskan ide – ide baru dan mengkombinasikan fakta – fakta yang saling tidak berhubungan. Sedangkan kecerdasan componential dipahami sebagai kemampuan berpikir abstrak, memproses informasi, dan memutuskan apa yang harus dilakukan.

Perbedaan Budaya dalam Memahami Inteligensi
Ketika kajian masalah inteligensi dibawa melintas budaya, masalah yang pertama ditemukan ternyata bahwa tidak semua budaya dalam bahasanya memiliki kosakata yang memiliki makna sama dengan makan inteligensi yang selama ini dipahami para psikolog Barat. Diyakini perbedaan pendefinisian ini merupakan refleksi dari nilai – nilai budaya tersebut.

Dalam bahasa Cina, kecerdasan dipahami sebagai otak yang baik dan bertalenta, kemampuan yang terlingkup di dalamnya adalah kemampuan meniru, berusaha, dan bertanggung jawab secara sosial. Komponen – komponen ini dalam konsep psikologi Barat sering sering diabaikan sebagai komponen inteligensi. Contoh lain adalah apa yang ada di suku Baganda Afrika Timur. Mereka menggunakan kata obugezi yang merujuk pada kombinasi kemampuan mental dan sosial yang menjadikan seseorang kokoh, berhati hati, dan bersahabat (Wober, 1974). Djerma Sonhar di Afrika Barat menggunakan istilah yang memiliki makna yang luas, lakkal yang merupakan kombinasi dari pintar, mengetahui bagaimana dan ketrampilan sosial. Pada suku Baoule, Afrika Barat, terdapat kosakata yang memiliki arti paling dekat dengan intelegensi yaitu n’gloule yang dipahami sebagai seseorang yang bermental tajam (waspada) sekaligus sukarela memberikan pelayanan mereka tanpa diminta(Dasen, 1985).

Perbedaan pemaknaan ini menjadikan usaha pengkajian dan perbandingan intelegensi dalam kerangka lintas budaya menjadi sangat sulit. Apa yang dikatakan sebagai kecerdasan bagi orang Bara adalah kemampuan matematika, namun tidak bagi orang suku lain yang mungkin menganggap kecerdasan adalah kemampuan berburu atau melakukan adaptasi sosial. Kesulitan perumusan definisi kecerdasan ini juga berimplikasi pada kesulitan pengukuran intelegensi yang pada suatu budaya tetapi tidak pada budaya yang lain (matsumoto, 1996)

Dengan demikian, adanya perbedaan dalam skor inteligensi diantara kelompok – kelompok budaya barangkali merupakan akibat atau hasil dari (1) perbedaan keyakinan tentang apa yang disebut dengan intelegensi itu atau (2) ketidaktepatan pengukuran intelegensi terkait budaya. Beberapa tes mungkin tidak mengukur motivasi, kreativitas, atau keterampilan sosial, yang mana hal – hal ini adalah factor – factor penting dalam intelegensi menurut definisi masyarakat China.

Permasalahan kedua yang menarik perhatian para pemerhati psikologi lintas budaya adalah apakah perkembangan intelegensi manusia berlangsung dalam tahapan yang universal dalam lintas budaya. Salah satu teori yang menjelaskan perkembangan intelegensi manusia adalah teori Piaget. Piaget mendasarkan teorinya pada observasi terhadap anak – anak Swiss. Piaget mengemukakan bahwa anak – anak mengalami kemajuan kognitif melalui 4 tahap sejak mereka bayi sampai dewasa. Umumnya, kajian yang dilakukan untuk menjawab pertanyaan kedua di atas adalah berdasarkan hasil penelitiannya pada masyarakat Eropa. Apakah teori Piaget juga mampu menjelaskan tahap perkembangan intelegensi pada anak – anak yang dating dari non – Eropa adalah pertanyaan yang muncul dan merangsang Perez melakukan penelitian.

Penelitian Perez (1988) melakukan pengetesan pada anak – anak di Ingrris, Australia, Yunani dan Pakistan menunjukkan bahwa anak – anak sekolah dalam masyarakat yang berbeda menampilkan pencapaian kemampuan di rentang usia yang sama sampai tahap operasional konkrit. Meskipun demikian, berdasarkan studi komparatif pada anak – anak suku Inuit di kanada, Baoul di Afrika, dan Aranda di Australia, ada variasi budaya dalam usia dimana anak – anak pada masyarakat yang berbeda mencapai tahap tertentu.

Kajian lintas budaya juga membuktikan bahwa kemampuan berpikir abstrak atau penalaran ilmiah yang diasuksikan oleh Piaget sebagai titik akhir perkembangan kognitif ternyata tidak berlaku secara universal. Hal ini disebabkan adanya perbedaan nilai dan pemberian penghargaan masyarakat pada skill dan tertentu.

G.      Konteks Budaya dalam Bimbingan dan Konseling
1.         Ekspresi Budaya
Banyak perilaku budaya yang terlibat dalam relasi konseling dan mempengaruhi efektivitas konseling. Dalam menciptakan rapport (hubungan yang kondusif) dengan klien, antara lain melalui penataanlingkungan konseling dan memahami bahasa non-verbal. Fakta bahwa ekspresi budaya bukan hanya dinyatakan dalam bentuk komunikasi verbal, melainkan dalam bahasa non-verbal.

Dalam konsleing lintas budaya, bahasa non-verbal bisa menjadi sumber  kesalahan komunikasi atau justru memperlancar bila dipahami dengan baik. (Freedman, 2001)

Bahasa non-verbal dinyatakan dalam berbagai ekspresi :
a)      Proxemics (batas-batas jarak untuk komunikasi)
b)      Kinesics (bahasa isyarat badan, muka, mata)
c)      Chronemics (persepsi tentang waktu)
d)     Paralanguage (nada suara)
e)      Silence (arti diam)
f)       Haptics (sentuhan fisik)
g)      Olfactics (komunikasi melalui indra penciuman)
h)      Oculesics (isyarat mata)
i)        Cara berpakaian dan penampilan
Perbedaan dalam bahasa non-verbal bukan hanya terjadi antara Barat dan Timur, melainkan dalam subkultur masung-masing budaya tersebut. Penggunaan sentuhan sebagai cara untuk memotivasi klien dalam konseling (misalnya menepuk bahu atau menyentuh tangan) juga secara kental mengandung muatan budaya.

Kesalahpahaman dapat terjadi apabila pihak yang berkomunikasi berasal dari budaya yang berbeda dan memiliki bahasa non-verbal yang berbeda pula, tanpa saling memahami. Dalam konseling lintas budaya bahasa non-verbal menjadi persoalan yang harus diperhatikan oleh konselor.

2.         Bias Budaya dan Konselor Peka Budaya
a)      Konselor Peka Budaya
Budaya merupakan sesuatu  yang ada dalam setiap diri individu, tidak ada individu yang tidak memiliki budaya, oleh karena itu konselor yang peka budaya sangat dibutuhkan dalam pelayanan konseling. Adapun pengertian dari konselor peka budaya itu sendiri adalah konselor yang menyadari bahwa secara kultural individu memiliki karakteristik yang unik dan kedalam proses konseling individu membawa karakteristik unik tersebut.

Penerapan konseling lintas budaya mengharuskan konselor peka dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antara klien yang satu dengan klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya. Konselor harus sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses konseling. Karena, budaya yang dianut sangat mungkin menimbulkan masalah dalam interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari,  masalah bisa muncul akibat interaksi individu dengan lingkungannya, dan sangat mungkin masalah terjadi dalam kaitannya dengan unsur-unsur kebudayan  yaitu budaya yang dianut oleh individu, budaya yang ada di lingkungan individu, serta tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada di sekitar individu. 

b)     Konselor bias budaya
Ke dalam proses konseling, konselor maupun klien membawa serta karakteristik-karakteristik psikologinya, seperti kecerdasan, bakat, sikap, motivasi, kehendak, dan tendensi-tendensi kepribadian lainnya. Sejauh ini di Indonesia banyak diberikan terhadap aspek-aspek psikologi tersebut (terutama pada pihak klien), dan masih kurang perhatian diberikan terhadap latar belakang budaya konselor maupun klien yang ikut membentuk perilakunya dan menentukan efektivitas proses konseling (Bolton-Brownlee, 1987 dalam Supriadi, 2001). Misalnya, etnik, afiliasi kelompok, keyakinan, nilai-nilai, norma-norma, kebiasaan, bahasa verbal maupun non-verbal dan termasuk bias-bias budaya yang dibawa dari budayanya. Dapat diasumsikan bahwa semakin banyak kesesuaian (congruence) antara konselor dengan klien dalam hal-hal tersebut (baik psikologi maupun sosial-budaya), maka akan semakin besar kemungkinan konseling akan berjalan efektif, dan demikian sebaliknya.

Dari penelitian Harrison (Athinson,1985:193) diketahui misalnya bahwa konseli/klien cenderung lebih menyukai konselor dari ras yang sama. Hal ini sesuai dengan apa yang ada dalam komunikasi disebut dengan heterophily dan homophily (Rogers, 1983:18-19). Menurut dia, komunikasi yang efektif terjadi apabila dua individu memilki dua kesamaan. Sebaliknya, komunikasi yang terjadi diantara dua pihak yang memiliki banyak perbedaan sulit untuk berjalan efektif. Ras dan etnis merupakan identitas dasar yang secara tidak disadari mengikat individu-individu dalam kelompok etnis/ras yang bersangkutan, yang oleh Carl Gustav Jung (Hall & Lindzey, 1970:83-84) disebut “ketidaksadaran kolektif” yang bersifat primordial dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Efektivitas proses konseling juga dipengaruhi oleh sifat-sifat psikologis yang terkait dengan latar belakang etnik/budaya konselor. Triandis (1986) yang dianggap sebagai pelopor psikologi lintas budaya mendekati isu konseling lintas budaya dari segi perbedaan budaya indivdualistik dan kolektif. Budaya individualistik adalah ciri masyarakat Barat, sedangkan budaya Timur dan Amerika Latin adalah kolektif.

c)      Perbedaan konselor peka budaya dengan konselor bias budaya
Adapun karakteristik konselor peka budaya sebagai berikut :
-       Konselor lintas Budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimiliki dan asumsi-asumsi terbaru tentang prilaku manusia
Konselor sadar bahwa dia memiliki nilai-nilai sendiri yang dijunjung tinggi dan akan terus dipertahankan. Disisi lain, konselor juga menyadari bahwa klien memiliki nilai-nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya. Oleh karena itu, konselor harus bisa menerima nilai-nilai yang berbeda itu sekaligus mempelajarinya.
-       Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum
Konselor memiliki pemahaman yang cukup mengenai konseling secara umum sehingga akan membantunya dalam melaksanakan konseling, sebaiknya sadar terhadap pengertian dan kaidah dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu karena pengertian terhadap kaidah konseling akan membantu konselor dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien.
-       Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan dan mereka mempunyai perhatian terhadap lingkungannya
Konselor dalam melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang berpotensi untuk menghambat proses konseling. Terutama yang berkaitan dengan nilai, norma dan keyakinan yang dimiliki oleh suku agama tertentu. Terelebih apabila konselor melakukan praktik konseling di Indonesia yang mempunyai lebih dari 357 etnis dan 5 agama besar serta penganut aliran kepercayaan.
Ciri-ciri Pelayanan Konseling yang Bias Budaya adalah sebagai berikut:
-       Pelayanan konseling yang bias budaya akan dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan.
-       Konselor sadar bahwa latar belakang kebudayaan yang dimilikinya.
-       Konselor mampu mengenali batas kemampuan dan keahliannya
-       Konselor merasa nyaman dengan perbedaan yang ada antara dirinya dan klien dalam bentuk ras, etnik, kebudayaan, dan kepercayaan.
Jadi, dapat disimpulkan pebedaan konselor peka budaya dengan konselor bias budaya yaitu konseling lintas budaya mengharuskan konselor peka dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antar kelompok klien yang satu dengan kelompok klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya. Konseling lintas budaya melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secara kultural. Dengan demikian, maka konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor dan klien.

H.      Konseling dan Psikoterapi Multikultural
1.         Keanekaragaman Klien dalam Masyarakat Plural
Vontress (1986, dalam Baruth & Manning, 1991) menyarankan bahwa konselor seharusnya ingat bahwa kebanyakan klien adalah multicultural dalam perasaan atau pikiran (sense) mereka yang telah dipengaruhi oleh sedikitnya lima kultur, diantaranya:
a)      Universal : Manusia di seluruh penjuru dunia ini secara biologis mirip; missal : pria dan wanita adalah mampu untuk memproduksi keturunan dan melindungi serta menjamin berlangsungnya keturunan.
b)      Ekologis : Lokasi atau tempat manusia di atas bumi menentukan bagaimana  mereka berhubungan dengan lingkungan yang alami itu.
c)      Nasional : Manusia ditandai oleh bahasa mereka, politik mereka dan pandangan dunia mereka.
d)     Regional : Manusia cenderung untuk menempati suatu daerah, dengan begitu menciptakan kultur area-specific.
e)      Racial-Ethic : Manusia memmpunyai perbedaan kesukuan dan rasial tertentu; sehingga semua orang mencerminkan latar belakang kesukuan rasial mereka.
Menurut Vontress, lima kultur ini membentuk kekuatan-kekuatan social yang mempengaruhi cara klien mempersepsi permasalahan mereka, kemungkinan pemecahan dan proses konseling.
2.         Konseling dan Budaya
Dalam melaksanakan konseling Multikultural ada beberapa prinsip yang harus dijalankan secara sinergis oleh konselor, konseli, dan proses konseling yang melibatkan kedua pihak secara timbal balik. Sebagai inisiator dan pihak yang membantu, konselor wajib memahami prinsip-prinsip tersebut dan mengaplikasikannya, dalam proses konseling. Adapun prinsip-prinsip dasar yang dimaksud adalah sebagai berikut (Draguns, 1989):
a)      Untuk konselor:
-       Kesadaran diri dan pengertian tentang sejarah kelompok budayanya sendiri dan mengalami.
-       Kesadaran diri dab pengertian tentang pengalaman diri sendiri di lingkungan arus besar kulturnya.
-       Kepekaan perceptual terhadap kepercayaan diri sendiri pribadi dan nilai-nilai yang dimilikinya.
b)      Untuk pemahaman konseli:
-       Kesadaran dan pengertian/pemahaman tentang sejarah dan pengalaman budaya konseli yang dihadapi.
-       Kesadaran perceptual akan pemahaman dan pengalaman dalam lingkungan kultur dari konseli yang dihadapi.
-       Kepekaan perceptual terhadap kepercayaan diri konseli dan nilai-nilainya.
c)       Untuk proses konseling:
-       Hati-hati dalam mendengarkan secara aktif, konselor harus dapat menunjukkan baik secara verbal maupun nonverbal bahwa ia memahami yang dibicarakan konseli, dan dapat mengkomunikasikan tanggapannya dengan baik sehingga dapat dipahami oleh konseli.
-       Memperhatikan konseli dan situasinya seperti konselor memperhatikan dirinya dalam situasi tersebut, serta memberikan dorongan optimisme dalam menemukan solusi yang realistis.
-       Mempersiapkan mental dan kewaspadaan jika tidak memahami pembicaraan konseli dan tidak ragu-ragu memintak penjelasan. Dengan tetap memelihara sikap sabar dan optimis.
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa prinsip-prinsip tersebut menuntut konselor dapat memahami secara baik tentang situasi budayanya dan budaya konseli, serta memiliki kepekaan konseptual terhadap respon yang diberikan konseli, sehingga dapat mendorong optimisme, dalam mendapatkan solusi yang realistis. Konselorpun harus memiliki sikap sabar, optimis dan waspada jika tidak dapat memahami pembicaraan konseli serta tidak ragu-ragu memintak penjelasan agar proses konseling berjalan efektif.

3.         Karakteristik Konselor Multikultural yang Efektif
Untuk dapat melaksanakan proses konseling multikultural secara efektif, konselor multikultural dituntut memiliki beberapa kemampuan atau kompetensi.  Sue (1978), menyebutkan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki oleh konselor multicultural sebagai berikut :
a)      Mengenali nilai dan asumsi tentang perilaku yang diinginkan dan tidak diingikan.
b)      Memahami karakteristik umum tentang konseling.
c)      Tanpa menghilangkan peranan utamanya sebagai konselor ia harus dapat berbagi pandangan dengan konselinya.
d)     Dapat melaksanakan proses konseling secara efektif.
Selain ke empat aspek tersebut, dalam artikelnya pada tahun 1981, Sue menambahkan beberapa kompetensi yang harus dimiliki konselor multicultural sebagai berikut :
a)      Menyadari dan memiliki kepekaan terhadap budayanya.
b)      Menyadari perbedaan budaya antara dirinya dengan konseli serta mengurangi efek negative dari perbedaan atau kesenjangan tersebut dalam proses konseling.
c)      Merasa nyaman dengan perbedaan antara konselor dengan konseli baik menyangkut ras maupun kepercayaan.
d)     Memiliki informasi yang cukup tentang cirri-ciri khusus dari kelompok atau budaya konseli yang akan ditangani.
e)      Memiliki pemahamn dan keterampilan tentang konseling dan psikoterapi.
f)       Mampu memberikan respon yang tepat baik secara verbal maupun non verbal.
g)      Harus dapat menerima dan menyampaikan pesan secara teliti dan tepat baik verbal maupun non verbal.

Sebelas kompetensi yang menjadi karakteristik konselor multicultural seperti dikemukakaan Sue tersebut dapat disarikan dalam 3 aspek besar yaitu : Pengetahuan, sikap dan keterampilan. Dengan demikian seorang konselor multicultural harus memiliki pengetahuan tentang teknik konseling dan social budaya , sikap terbuka dan toleran terhadap perbedaan, serta keterampilan dalam memodifikasi teknik-teknik konseling secara efektif dalam latar budaya yang berbeda-beda. Menyangkut konselor Indonesia perlu pula memahami ciri-ciri khusus budaya dan sub budaya dari bangsa Indonesia yang beraneka ragam serta mampu menjadikan keanekaragaman tersebut sebagai unsure persatu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

I.         Pengaruh Budaya pada Organisasi dan Kerja
1.         Diri dalam Konteks Sosial
Plato mengatakan, mahluk hidup yang disebut manusia merupakan mahluk sosial dan mahluk yang senang bergaul/berkawan (animal society = hewan yang bernaluri untuk hidup bersama). Status mahluk sosial selalu melekat pada diri manusia. Manusia tidak bisa bertahan hidup secara utuh hanya dengan mengandalkan dirinya sendiri saja. Sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia memerlukan bantuan atau kerjasama dengan orang lain. Ciri utama mahluk sosial adalah hidup berbudaya. Dengan kata lain hidup menggunakan akal budi dalam suatu sistem nilai yang berlaku dalam kurun waktu tertentu. Hidup berbudaya tersebut meliputi filsafat yang terdiri atas pandangan hidup, politik, teknologi, komunikasi, ekonomi, sosial, budaya dan keamanan.

Menurut Aristoteles (384 – 322 SM), manusia adalah mahluk yang pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya (zoon politicon yang artinya mahluk yang selalu hidup bermasyarakat). Pada diri manusia sejak dilahirkan sudah memiliki hasrat/bakat/naluri yang kuat untuk berhubungan atau hidup di tengah-tengah manusia lainnya. Naluri manusia untuk hidup bersama dengan manusia lainnya disebut gregoriousness. Manusia berperan sebagai mahluk individu dan mahluk sosial yang dapat dibedakan melalui hak dan kewajibannya. Namun keduanya tidak dapat dipisahkan karena manusia merupakan bagian dari masyarakat. Hubungan manusia sebagai individu dengan masyarakatnya terjalin dalam keselarasan, keserasian, dan keseimbangan. Oleh karena itu harkat dan martabat setiap individu diakui secara penuh dalam mencapai kebahagiaan bersama.

Masyarakat merupakan wadah bagi para individu untuk mengadakan interaksi sosial dan interelasi sosial. Interaksi merupakan aktivitas timbal balik antarindividu dalam suatu pergaulan hidup bersama. Interaksi dimaksud, berproses sesuai dengan perkembangan jiwa dan fisik manusia masing-masing serta sesuai dengan masanya. Pada masa bayi, mereka berinteraksi dengan keluarganya melalui berbagai kasih sayang. Ketika sudah bisa berbicara dan berjalan, interaksi mereka meningkat lebih luas lagi dengan teman-teman sebayanya melalui berbagai permainan anak-anak atau aktivitas lainnya. Proses interaksi mereka terus berlanjut sesuai dengan lingkungan dan tingkat usianya, dari mulai interaksi non formal seperti berteman dan bermasyarakat sampai interaksi formal seperti berorganisasi, dan lain-lain. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi manusia hidup bermasyarakat, yaitu: faktor alamiah atau kodrat tuhan, faktor saling memenuhi kebutuhan, dan faktor saling ketergantungan.

Keberadaan semua faktor tersebut dapat diterima oleh akal sehat setiap manusia, sehingga manusia itu benar-benar bermasyarakat, sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Khaldun bahwa hidup bermasyarakat itu bukan hanya sekadar kodrat Tuhan melainkan juga merupakan suatu kebutuhan bagi jenis manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. ika tingkah laku timbal balik (interaksi sosial) itu berlangsung berulang kali dan terus menerus, maka interaksi ini akan berkembang menjadi interelasi sosial. Interelasi sosial dalam masyarakat akan tampak dalam bentuk sense of belonging yaitu suatu perasaan hidup bersama, sepergaulan, dan selingkungan yang dilandasi oleh rasa kemanusiaan yang beradab, kekeluargaan yang harmonis dan kebersatuan yang mantap.

2.      Pengaruh Budaya pada Komunikasi
Komunikasi merupakan pusat dari seluruh sikap ,perilaku dan tindakan yang trampil dari manusia ( communication involves both attides and skills ). Manusia tidak bisa dikatakan berinteraksi sosial kalau tidak berkomunikasi dengan cara melalui pertukaran informasi ,ide-ide, gagasan,maksud serta emosi yang dinyatakan dalam simbul simbul dengan orang lain.

Komunikasi pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial budaya masyarakat penuturnya karena selain merupakan fenomena sosial, komunikasi juga merupakan fenomena budaya. Sebagai fenomena sosial, bahasa merupakan suatu bentuk perilaku sosial yang digunakan sebagai sarana komunikasi dengan melibatkan sekurang-kurangnya dua orang peserta. Oleh karena itu, berbagai faktor sosial yang berlaku dalam komunikasi, seperti hubungan peran di antara peserta komunikasi, tempat komunikasi berlangsung, tujuan komunikasi, situasi komunikasi, status sosial, pendidikan, usia, dan jenis kelamin peserta komunikasi, juga berpengaruh dalam penggunaan bahasa.

Sementara itu, sebagai fenomena budaya, komunikasi selain merupakan salah satu unsur budaya, juga merupakan sarana untuk mengekspresikan nilai-nilai budaya masyarakat penuturnya. Atas dasar itu, pemahaman terhadap unsur-unsur budaya suatu masyarakat–di samping terhadap berbagai unsur sosial yang telah disebutkan di atas–merupakan hal yang sangat penting dalam mempelajari suatu komunikasi. Hal yang sama berlaku pula bagi komunikasin di Indonesia. Oleh karena itu, mempelajari bahasa Indonesia–lebih-lebih lagi bagi para penutur asing–berarti pula mempelajari dan menghayati perilaku dan tata nilai sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat Indonesia.

Kenyataan tersebut mengisyaratkan bahwa dalam pengajaran komunikasi, sudah semestinya pengajar tidak terjebak pada pengutamaan materi yang berkenaan dengan aspek-aspek kebahasaan semata, tanpa melibatkan berbagai aspek sosial budaya yang melatari penggunaan bahasa. Dalam hal ini, jika pengajaran bahasa itu hanya dititikberatkan pada penguasaan aspek-aspek kebahasaan semata, hasilnya tentu hanya akan melahirkan siswa yang mampu menguasai materi, tetapi tidak mampu berkomunikasi dalam situasi yang sebenarnya. Pengajaran bahasa yang demikian tentu tidak dapat dikatakan berhasil, lebih-lebih jika diukur dengan pendekatan komunikatif. Dengan perkataan lain, kemampuan berkomunikasi secara baik dan benar itu mensyaratkan adanya penguasaan terhadap aspek-aspek kebahasaan dan juga pengetahuan terhadap aspek-aspek sosial budaya yang menjadi konteks penggunaan komunikasi.

3.      Pengaruh Budaya pada Gender
Gender adalah peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang ditentukan secara social. Gender berhubungan dengan persepsi dan pemikiran serta tindakan yang diharapkan sebagai perempuan dan laki-laki yang dibentuk masyarakat, bukan karena perbedaan biologis (WHO, 1998).
Berikut ini ada bebrapa pengaruh gender pada budaya, diantaranya:
a)      Setiap masyarakat mengharapkan wanita dan pria untuk berpikir, berperasaan dan bertindak dengan pola-pola tertentu dengan alas an hanya karena mereka dilahirkan sebagai wanita/pria. Contohnya wanita diharapkan untuk menyiapkan masakan, membawa air dan kayu bakar, merawat anak-anak dan suami. Sedangkan pria bertugas memberikan kesejahteraan bagi keluarga di masa tua serta melindungi keluarga dari ancaman.
b)   Gender dan kegiatan yang dihubungkan dengan jenis kelamin, semuanya adalah hasil rekayasa masyarakat. Beberapa kegiatan seperti menyiapkan makanan dan merawat anak adalah dianggap sebagai “kegiatan wanita”. Kegiatan lain terkait dengan gender seseorang tidak sama dari satu daerah ke daerah lain diseluruh dunia, tergantung pada kebiasaan, hukum dan agama yang dianut oleh masyarakat tertentu.
c)    Peran jenis kelamin bahkan bisa tidak sama didalam suatu masyarakat, tergantung pada tingkat pendidikan, suku dan umurnya, contohnya : di dalam suatu masyarakat, wanita dari suku tertentu biasanya bekerja menjadi pembantu rumah tangga, sedang wanita lain mempunyai pilihan yang lebih luas tentang pekerjaan yang bisa mereka pegang.
d)   Peran gender diajarkan secara turun temurun dari orang tua ke anaknya. Sejak anak berusia muda, orang tua telah memberlakukan anak perempuan dan laki-laki berbeda, meskipun kadang tanpa mereka sadari

J.        Budaya dan Perilaku Sosial
1.         Budaya dan Strukur Organiasasi
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak terlepas dari ikatan budaya yang diciptakan. Ikatan budaya tercipta oleh masyarakat yang bersangkutan, baik dalam keluarga, organisasi, bisnis maupun bangsa. Budaya membedakan masyarakat satu dengan yang lain dalam cara berinteraksi dan bertindak menyelesaikan suatu pekerjaan. Budaya mengikat anggota kelompok masyarakat menjadi satu kesatuan pandangan yang menciptakan keseragaman berperilaku atau bertindak. Seiring dengan bergulirnya waktu, budaya pasti terbentuk dalam organisasi dan dapat pula dirasakan manfaatnya dalam memberi kontribusi bagi efektivitas organisasi secara keseluruhan.

Menurut Robbins (1996:289), budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu. Sedangkan menurut Schein (1992:12), budaya organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh organisasi untuk bertindak dan memecahkan masalah, membentuk karyawan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota organisasi. Untuk itu harus diajarkan kepada anggota termasuk anggota yang baru sebagai suatu cara yang benar dalam mengkaji, berpikir dan merasakan masalah yang dihadapi.

Menurut Tosi, Rizzo, Carrol seperti yang dikutip oleh Munandar (2001:264), budaya organisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
a)      Pengaruh umum dari luar yang luas
Mencakup faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan atau hanya sedikit dapat dikendalikan oleh organisasi.
b)      Pengaruh dari nilai-nilai yang ada di masyarakat
Keyakinan-keyakinan dn nilai-nilai yang dominan dari masyarakat luas misalnya kesopansantunan dan kebersihan.
c)      Faktor-faktor yang spesifik dari organisasi
Organisasi selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam mengatasi baik masalah eksternal maupun internal organisasi akan mendapatkan penyelesaian-penyelesaian yang berhasil. Keberhasilan mengatasi berbagai masalah tersebut merupakan dasar bagi tumbuhnya budaya organisasi.

Robbins (Torang, 2009: 101) berpendapat bahwa struktur organisasi menetapkan bagaimana tugas dalam organisasi akan dibagi, siapa melapor kepada siapa, dan mekanisme koordinasi yang formal serta pola interaksi yang akan diikuti. Adapun menurut Robbins (1996 : 294), budaya organisasi berfungsi antara lainsebagai berikut :
a)      Budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain.
b)      Daya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
c)      Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual seseorang.
d)     Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan.
e)      Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.
2.      Konflik Antar Budaya dalam Bisnis dan Kerja
John Kello mencoba menggali bagaimana konflik yang terjadi di antar budaya yang ada, konflik pribadi dan benturan budaya antar perusahaan (organisasi) berpengaruh terhadap upaya penggabungan dua perusahaan atau organisasi. Kello, menyatakan bahwa banyak merger dan akuisisi yang dilakukan oleh sebuah perusahaan gagal dikarenakan faktor benturan (konflik) antar budaya organisasi yang ada dalam masing-masing perusahaan yang akan dimerger atau diakuisisi.
Masalah konflik antar budaya juga diperhatikan oleh Kreitner (2008) yang menyatakan bahwa melakukan bisnis dengan orang yang mempunyai budaya berbeda sudah menjadi biasa dalam ekonomi global dimana merger lintas batas, joint ventura dan aliansi sudah dilakukan. Perbedaan asumsi bagaimana berpikir dan bertindak berpotensi menyebabkan adanya konflik lintas budaya baik secara perlahan maupun cepat.

Kello melihat bahwa setiap organisasi memiliki kepribadian yang khas, yang biasa disebut budaya perusahaan. Sama seperti kepribadian seorang individu, yang menetapkan atribut membuat perbedaan besar dalam bagaimana fungsi perusahaan Ini mempengaruhi jenis perusahaan itu bisa bermitra dengannya dan tidak mudah untuk melakukan perubahan didalamnya.

Kello mencoba meneliti alasan mengapa begitu banyak merger dan akuisisi gagal atau setidaknya terlihat underperformed. Dan dalam banyak kasus, akar penyebab itu hanyalah benturan budaya – konflik kepribadian perusahaan. Benturan budaya ini telah menimbulkan adanyanya ketakutan, kecemasan dan ketidakpastian pada karyawan. Ada permasalahan “Budaya Lama Versus Budaya Baru” pada saat perusahaan sepakat melakukan merger atau akuisisi atau kerjasama. Perbedaan budaya yang mencolok dan berbeda inilah yang mengancam bagi kelangsungan hubungan atau keberhasilan dalam melakukan sebuah akuisisi atau kerjasama dalam perusahaan.

Kasus yang diangkat oleh Kello juga menyoroti bagaimana perusahaan besar yang mencaplok perusahaan kecil. Benturan budaya terjadi ketika budaya perusahaan besar sangat terstruktur dan formal, dengan banyak aturan dan prosedur yang didokumentasikan, sedangkan budaya perusahaan kecil  sangat fleksibel, kemudahan beradaptasi dan sangat informal. Tentu hal ini akan menjadi masalah, sekalipun pekerjaannya serupa namun kepribadian keduanya sangat berbeda. Kello juga menemukan bagaimana ketika anggota organisasi atau perusahaan tidak dapat menyesuiakan dengan perusahaan besar yang mengakuisisi dan tidak dapat belajar, maka kerjasama atau akuisisi yang seharusnya menghasilkan profit lebih menjadi gagal dan tidak tercapai.

Budaya perusahaan harus diubah, terutama apabila tidak dapat memenuhi tuntutan pasar, dimana hal itu juga akan berpengaruh negative kepada karyawan. Misal ketika sebuah perusahaan terlalu berhati-hati dan lambat mengambil keputusan, tidak menghargai inovasi untuk mengambil resiko, sementara pasar bergerak cepat dan membutuhkan kelincahan untuk bergerak, tentu hal ini akan sangat beresiko pada perusahaan. Pilihannya adalah, apabila budaya perusahaan tidak dirubah maka tamatlah bisnis perusahaan tersebut.

Hal ini mengisyaratkan bahwa konflik yang terjadi akibat merger atau akuisisi seperti konflik  antar individu, konflik antar kelompok maupun benturan budaya harus dapat diselesaikan. Dan budaya negative atau yang tidak cocok dengan perubahan jaman atau kebutuhan global maka harus dapat dirubah.

No comments :

Post a Comment