A.
KONSEP
DASAR BUDAYA
Kebudayaan berasal dari
bahasa sansekerta yaitu Budi dan Daya.
Budi yang berarti akal, pikiran, cara berpikir atau pengertian sedangkan daya
yang berarti kekuatan atau upaya-upaya dari hasil-hasil.
Istilah-istilah dalam
budaya diantaranya sebagai berikut.
1. Ras
Menurut Hernandes
(1989), ras mengacu pada cara suatu kelompok masyarakat menggambarkan dirinya
sendiri atau digambarkan ol eh orang lain sebagai hal yang berbeda dari manusia
lainnya karena karakteristik fisik bawaan yang di asumsikan.
2. Etnis
Etnis merupakan warisan
budaya dari sekelompok orang tertentu. Etnis membedakan dan menyamakan
individu/anggota kelompok dalam hal sejarah, norma perilaku, bahasa dan
berbagai karakteristik lainnya.
3. Society
(masyarakat)
Masyarakat merupakan
intitusi social yang memiliki karakteristik structural yang jelas yang
digambarkan dengan gaya hidup yang kemudian dianggap sebagai sutau budaya.
4. Subculture
Subculture merupakan
bagian dari masyarakat yang membentuk kelompok eksklusif atau kelompok
tersendiri. Subculture merujuk pada sebuah populasi (sub) di dalam suatu
masyarakat (mayor) yang memegang system budaya yang berkembang pada masyaakat
mayor (umum). Contoh daripada subculture, yaitu:
a) fenomena
anak punk
b) gank
alay
c) Korean
style (K-pop)
d) hijabers
e) dan
lain-lain
5. Kelas
Sosial
Kelas social mengacu
pada stratifikasi (pengkelasan/penggolongan) berdasarkan criteria tertentu di
dalam masyarakat, biasanya berdasar status social-ekonomi. Contohnya adanya
gank anak-anak kaya dan gank anak-anak miskin/ tidak mampu di sekolah.
Keberadaan gank ini tentu saja tidak layak di contoh karena pada dasarnya semua
manusia itu sama di mata pencipta-Nya.
B.
DIMENSI
BUDAYA
1.
Posisi
dan Peran Sosial
Posisi mengindikasikan
di mana seorang berada dalam sebuah ruangan seseorang dapat menempati posisi
sebagai seorang anak, ayah, atau saudara sepupu (dalam space keluarga) ; seorang karyawan, manager, atau guru part-time (dalam
space pekerjaan) ;sebagai sesepuh desa, ketua RT, atau ulama (dalam space kemasyarakatan).
Sedangkan yang dimaksud peran sosial adalah seperangkat
harapan terhadap seseorang yang menempati suatu posisi/status sosial.
2.
Norma
dan Kontrol Sosial
Norma adalah standar
perilaku yang diadakan untuk mengontrol perilaku anggota suatu kelompok. Norma
sosial bervariasi dalam derajat pengaruhnya terhadap perilaku, semacam Folkways atau norma kesopanan, mores
atau norma susila dan norma hukum.
Sedangkan yang dimaksud
kontrol sosial adalah merupakan suatu
mekanisme untuk mencegah penyimpangan sosial serta mengajak dan mengarahkan
masyarakat untuk berperilaku dan bersikap sesuai norma dan nilai yang berlaku.
Dengan adanya kontrol sosial yang baik diharapkan mampu meluruskan anggota
masyarakat yang berperilaku menyimpang / membangkang.
3.
Struktur
Sosial
Menurut ilmu sosiologi, struktur sosial adalah tatanan atau
susunan sosial yang membentuk kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat.
Ciri – ciri struktur sosial antara lain :
a)
Bersifat
abstrak
b)
Terdapat
dimensi vertikal dan horizontal
c)
Sebagai
landasan sebuah proses sosial suatu masyarakat
d) Bagian dari sistem pengaturan tata
kelakuan dan pola hubungan masyarakat
e)
Selalu
berkembang dan dapat berkemban
4.
Sosialisasi
dan Enkulturasi
Menurut Soerjono Soekanto,
sosialisasi adalah suatu proses di
mana anggota masyarakat baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat
di mana ia menjadi anggota. Di mana-mana, di berbagai kebudayaan, sosialisasi
tampak berbeda-beda tetapi juga sama. Meskipun caranya berbeda, tujuannya sama,
yaitu membentuk seorang manusia menjadi dewasa. Proses sosialisasi seorang
inndividu berlangsung sejak kecil. Mula-mula mengenal dan menyesuaikan diri
dengan individu-individu lain dalam lingkungan terkecil (keluarga), kemudian
dengan teman-teman sebaya atau sepermainan yang bertetangga dekat, dengan
saudara sepupu, sekerabat, dan akhirnya dengan masyarakat luas.
Enkulturasi atau pembudayaan
adalah proses mempelajari dan menysuaikan alam pikiran dan sikap individu
dengan sistem norma, adat, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam
kebudayaannya. Proses ini berlangsung sejak kecil, mulai dari lingkungan kecil
(keluarga) ke lingkungan yang lebih besar (masyarakat). Misalnya anak kecil
menyesuaikan diri dengan waktu makan dan waktu minum secara teratur, mengenal
ibu, ayah, dan anggota-anggota keluarganya, adat, dan kebiasaan-kebiasaan yang
berlaku dalam keluarganya, dan seterusnya sampai ke hal-hal di luar lingkup
keluarga seperti norma, adat istiadat, serta hasil-hasil budaya masyarakat.
Adapun perbedaan
antara enkulturasi dan sosialisasi adalah dalam enkulturasi seorang
individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikirannya dengan lingkungan
kebudayaannya, sedangkan sosialisaasi si individu melakukan proses penyesuaian
diri dengan lingkungan sosial.
5.
Ethic
dan Emic
Ethic dan Emic sebenarnya merupakan istilah antropologi yang
dikembangkan oleh pike (1967) dalam Segall (1990). Para psikolog yang berminat pada kajian lintas budaya lebih
menggunakan istilah Ethic dan Emic sebagai aspek daripada titik pandang atau
cara pendekatan. Ethic adalah aspek kehidupan yang muncul konsisten pada semua
budaya. Emic menjelaskan universalitas sebuah konsep kehidupan sedangkan Emic
menjelaskan keunikan dari sebuah konsep pada satu budaya (Matsumoto, 19996).
Pemahaman akan
kedua konsep ini menjadi dasar dalam melakukan pemahaman budaya dan perbedaan
budaya sekaligus dalam melakukan studi dan analisa penelitian psikologi lintas
budaya. Sebuah perilaku dari manusia dan kita akui kebenarannya sebagai sebuah
Ethic, maka dapat dikatakan bahwa perilaku tersebut adalah universal termasuk
dalma kebenarannya. Hasil penelitian yang dilakukan dapat digeneralisasikan dan
dijadikan dasar dalam penelitian selanjutnya di manapun seting budaya dan
penelitian tersebut dilakukan. Contoh penelitian ini adalah apa yang dilakukan
Ekman mengenai ekspresi emosi dasar pada wajah (facial expression of emotion).
Sebaliknya, sebuah
perilaku atau nilai yang ada hanya ditemukan pada satu budaya dan benar hanya
pada budaya tersebut, dalam studi psikologi lintas budaya tersebut saja.
Contohnya adalah ritual suku Indian Amerika untuk mengambil kulit kepala
(scalp) dari musuhnya yang telah mati adalah satu perilaku Emic yang khas dan
benar hanya pada budaya tersebut saja.
6.
Etnosentrisme
dan Stereotipe
Menurut Matsumoto (1996) etnosentrisme adalah kecenderungan untuk melihat
dunia hanya melalui sudut pandang budaya sendiri. Berdasarkan definisi ini
etnosentrisme tidak selalu negatif sebagimana umumnya dipahami. Etnosentrisme
dalam hal tertentu juga merupakan sesuatu yang positif. Tidak seperti anggapan
umum yang mengatakan bahwa etnosentrisme merupakan sesuatu yang semata-mata
buruk, etnosentrisme juga merupakan sesuatu yang fungsional karena mendorong
kelompok dalam perjuangan mencari kekuasaan dan kekayaan.
Stereotip adalah kombinasi dari ciri-ciri yang paling sering diterapkan
oleh suatu kelompok tehadap kelompok lain, atau oleh seseorang kepada orang
lain (Soekanto, 1993). Secara lebih tegas Matsumoto (1996) mendefinisikan
stereotip sebagai generalisasi kesan yang kita miliki mengenai seseorang
terutama karakter psikologis atau sifat kepribadian.
Beberapa contoh stereotip terkenal berkenaan dengan asal etnik adalah
stereotip yang melekat pada etnis jawa, seperti lamban dan penurut. Stereotip
etnis Batak adalah keras kepala dan maunya menang sendiri. Stereotip orang
Minang adalah pintar berdagang. Stereotip etnis Cina adalah pelit dan pekerja
keras.
C.
BUDAYA
DAN EMOSI
1.
Manusia
dan Emosi
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah
swt. yang paling sempurna karena memiliki akal, pikiran dan nafsu. Manusia pada
dasarnya individualistik, namun manusia juga bersifat sosialis artinya manusia
memang pada dasarnya hidup sendiri-sendiri tapi di sisi lain manusia memerlukan
campur tangan ataupun bantuan orang lain dalam hidupnya terutama untuk
menunjang perkembangan dirinya seutuhnya.
Sedangkan emosi merupakan warna efektif
yang menyertai setiap perilaku idividu, yang
berupa perasaan-perasaan tertentu yang dia alami pada saat menghadapi
situasi tertentu. Kata
“emosi” berasal dari bahasa latin
yaitu “Emovere”, yang artinya “bergerak
keluar”. Maksud setiap emosi adalah untuk menggerakkan individu untuk
menuju rasa aman dan pemutuhan kebutuhanya, serta menghindari sesuatu yang
merugikan dan menghambat pemenuhan kebutuhan.
Emosilah yang
seringkali menghambat orang tidak melakukan perubahan. Ada perasaan takut
dengan yang akan terjadi, ada rasa cemas, ada rasa khawatir, ada pula rasa marah
karena adanya perubahan. Hal tersebut
itulah yang seringkali
menjelaskanmengapa
orang tidak mengubah polanya untuk berani mengikuti jalur-jalur
menapaki jenjang kesuksesan. Hal ini sekaligus pula menjelaskan pula
mengapa banyak orang yang sukses
yang akhirnya
terlalu
puas dengan kondisinya,
selanjutnya
takut melangkah. Akhirnya
menjadi orang yang gagal
Hubungan antara manusia
dengan emosi sangatlah jelas tergambarkan berdasarkan uraian di atas. Emosi
mendasari tingkah laku manusia. Emosi dapat berupa kesal, terkejut, heran,
sedih, senang, bahagia, dan lain sebagainya.
2.
Emosi
dalam Kajian Psikologi
Psikologi adalah ilmu
yang mempelajari tentang manusia, sedangkan emosi adalah perasaan mendalam yang
diikuti adanya perubahan elemen kognitif maupun fisik dan memepengaruhi perilaku manusia. Jadi,
emosi dalam psikologi disini berarti setiap perilaku manusia itu merupakan
salah satu bentuk emosi manusia yang di eksperikannya di lingkungan.
Ada bebrapa fungsi
emosi dalam kehidupan, diantaranya:
a) Membantu
persiapan tindakan.
b) Membentuk
perilaku yang akan datang.
c) Membantu
kita untuk mengatur interaksi social.
3.
Persamaan
Budaya Mengenai Emosi
Budaya mempengaruhi
labeling dari emosi. Ada kesepakatan umum dalam setiap budaya mengenai kapan
dan dimana serta emosi yang mana yang di tampilkan pada ekspresi muka,
sekalipun itu merupakan emosi dasar yang universal. Namun demikian, ada
variabilitas dalam level kesepakatan dari setiap budaya.
Budaya diyakini
mempengaruhi persepsi dan interpretasi emosi. banyak akademisi yang meyakini
bahwa proses yang terjadi adalah serupa
dengan proses bagaimana budaya mempengaruhi aturan penampilan emosi (display
rules). Aturan bagaimana interpretasi dan persepsi terhadap suatu emosi
dilakukan disebut decoding rules (Buck dalam dalam Matsumoto, 1996)
D.
BUDAYA
DAN KEPRIBADIAN MANUSIA
1.
Budaya
dan Kepribadian Manusia
Kebudayaan berasal dari
kata budh- budhi- budhaya dalam bahasa sansekerta yang berarti akal, sehingga
kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Kebudayaan
tidak bisa dilihat atau dipegang karena berada di dalam pikiran atau kepala
manusia. Oleh karena itu, kebudayaan bersifat abstrak. Akan tetapi, hasil
kebudayaan dapat dilihat dan dideteksi (dipantau) dengan panca indra manusia.
Menurut
Roucek dan Warren, kepribadian adalah organisasi yang terdiri atas
faktor-faktor biologis, psikologis dan sosiologis. Kepribadian adalah
serangkaian karakteristik pemikiran, perasaan dan perilaku yang berbeda antara
individu dan cenderung konsisten dalam setiap waktu dan kondisi. Ada dua aspek
dalam definisi ini, yaitu kekhususan (distinctiveness) dan stablilitas serta
konsistensi (stability and consistency). Semua definisi di atas menggambarkan
bahwa kepribadian didasarkan pada stabilitas dan konsistensi di setiap konteks,
situasi dan interaksi. Definisi tersebut diyakini dalam tradisi panjang oleh
para psikolog Amerika dan Eropa yang sudah barang tentu mempengaruhi kerja
ataupun penelitian mereka. Semua teori mulai dari psikoanalisa Freud, behavioral
approach Skinner, hingga humanistic Maslow-Rogers meyakini bahwa kepribadian
berlaku konsistan dan konsep-konsep mereka berlaku universal. Dalam budaya
timur, asumsi stabilitas kepribadian sangatlah sulit diterima. Budaya timur
melihat bahwa kepribadian adalah kontekstual (contextualization). Kepribadian
bersifat lentur yang menyesuaikan dengan budaya dimana individu berada.
Kepribadian cenderung berubah, menyesuaikan dengan konteks dan situasi.
2.
Kepribadian
dalam Lintas Budaya
Kepribadian
merupakan konsep dasar psikologi yang berusaha menjelaskan keunikan manusia.
Kepribadian mempengaruhi dan menjadi acuan dari pola pikir, perasaan dan
perilaku individu manusia, serta bertindak sebagai aspek fundamental dari
setiap individu tersebut. Dimana merupakan aspek inti keberadaan manusia yang
karena tak lepas dari konsep kemanusiaan yang lebih besar, yaitu budaya sebagai
konstruk sosial.
Hal
pertama yang menjadi perhatian dalam studi lintas budaya dan kepribadian adalah
perbedaan diantara beragam budaya dalam member definisi kepribadian. Dalam
literature-literatur psikologi Amerika umumnya kepribadian dipertimbangkan
sebagai karakter perilaku, karakter kognitif dan predisposisi yang relative
abadi (Matsumoto, 1996).
Definisi
lain menyatakan bahwa kepribadian adalah serangkaian karakteristik pemikiran,
perasaan, dan perilaku yang berbeda antara tiap individu dan cenderung
konsisten dalam setiap waktu dan kondisi. Ada dua aspek dalam definisi ini
yaitu : kekhususan (distinctiveness), dan stabilitas serta konsistensi
(stability and consistency) (Phares, 1991).
Semua
definisi di atas menggambarkan bagaimana mereka mempercayai bahwa kepribadian
didasarkan pada stabilitas dan konsistensi di setiap konteks, situasi dan
iteraksi (Matsumoto, 1996).
Tokoh
Humanistic salah satunya Maslow, dalam teorinya meyakini bahwa kepribadian
diarahkan oleh pemenuhan level-level kebutuhan dengan puncaknya adalah
keberhasilan dalam aktualisasi diri. Tahapan-tahapan kebutuhan Maslow tersebut
diyakini para pengagumnya adalah berlaku universal, begitupun dengan apa yang
dimaksud aktualisasi diri.
Budaya
Timur (East Cultures) melihat kepribadian adalah kontekstual
(contrxtualization). Kepribadian cenderung berubah, seberapapun besarnya, untuk
menyesuaikan dengan konteks dan situasi (Matsumoto, 1996).
3.
Budaya
dan Perrkembangannya
Kepribadian manusia selalu berubah sepanjang hidupnya dalam
arah-arah karakter yang lebih jelas dan matang. Perubahan-perubahan tersebut
sangat dipengaruhi lingkungan dengan fungsi–fungsi bawaan sebagai dasarnya.
Stern menyebutnya sebagai Rubber Band Hypothesis (Hipotesa Ban Karet).
Seseorang diumpamakan sebagai ban karet dimana faktor-faktor genetik menentukan
sampai mana ban karet tersebut dapat ditarik (direntangkan) dan faktor
lingkungan menentukan sampai seberapa panjang ban karet tersebut akan ditarik
atau direntangkan. Dari hipotesa di atas dapat disimpulkan bahwa budaya memberi
pengaruh pada perkembangan kepribadian seseorang. Perubahan-perubahan yang
terjadi pada seorang anak yang tinggal bersama orangtua ketika beranjak dewasa
tentunya sangat berbeda dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada anak yang
tinggal di panti asuhan.
Selain itu, perkembangan kepribadian seseorang dipengaruhi
pula oleh semakin bertambahnya usia seseorang. Semakin bertambah tua seseorang,
tampak semakin pasif, motivasi berprestasi dan kebutuhan otonomi semakin turun,
dan locus of control dirinya semakin mengarah ke luar (eksternal).
4.
Budaya
dan Indigenous Personality
Berbagai persoalan mendasar yang muncul dalam kajian
kepribadian dapat ditinjau melalui lintas budaya, menggambarkan sebuah
pernyataan bahwa antar budaya yang berbeda sangat mungkin secara mendasar
memiliki pandangan yang berbeda mengenai apa tepatnya kepribadian itu. Suatu
kajian kepribadian yang bersifat lokal atau indigenous personality.
Konseptualisasi mengenai kepribadian yang dikembangkan dalam sebuah budaya
tertentu dan relevan hanya pada budaya tertentu tersebut.
Di Indonesia sendiri kajian mengenai indigenous personality
telah diawali oleh Darmanto Jatman (1997). Dalam bukunya Psikologi
Jawa, Jatman menemukan adanya profil kepribadian manusia Jawa yang memandang
jiwanya adalah sebagai rasa.Rasa ini terbagi atas tiga,yaitu: rasa subjek, rasa
objek, dan rasa pertemuan subjek-objek. Ketiganya dilahirkan oleh rasa yaitu
rasa hidup.
5.
Budaya
dan Konsep Diri
Konsep diri adalah oganisasi dari persepsi-persepsi diri
(Burns, 1979). Organisasi dari bagaimana kita mengenal, menerima dan menilai
diri kita sendiri. Suatu deskripsi mengenai siapa kita, mulai dari identitas
fisik, sifat, hingga prinsip.
Berfikir mengenai bagaimana mempersepsi diri, dalam
percakapan awam, adalah bagaimana seseorang memberi gambaran mengenai sesuatu
(hubungan dengan orang lain, etos kerja, atau sifat kepribadiannya misalnya)
pada dirinya. Selanjutnya label akan sesuatu dalam diri tersebut digunakan
sekaligus untuk mendeskripsikan karakter dirinya.
Dua kontinum yang sering dilakukan untuk mempermudah studi
mengenai konsep diri dalam lintas budaya adalah konstruk diri individual dengan
diri kolektif atau dalam bahasa Matsumoto disebut Independent Construal of Self
dan Interdependent Construal of Self.
a) Diri
Individual
/Independent Construal of Self
Diri individual adalah diri yang fokus pada atribut internal
yang sifatnya personal-kemampuan individual, inteligensi, sifat kepribadian,dan
pilihan-pilihan individual. Diri adalah terpisah dari orang lain dan
lingkungan. Dalam istilah Matsumoto (1996) disebut konstruk diri yang
tergantung (Independent Construal of Self).
Dalam kerangka budaya ini, nilai akan kesuksesan
dan perasaan akan harga diri mengambil bentuk khas individualisme. Ketika
individu sukses untuk melaksanakan tugas budaya, tidak tergantung pada orang
lain, maka mereka lebih puas akan diri mereka dan harga diri mereka meningkat
seiringnya. Keberhasilan individu adalah berkata usaha keras dari indiidu
tersebut, dan diri serta masyarakatnya sangat menghargai keberhasilannya karena
individu tersebut mampu menggapainya tanpa bantuan orang lain.
b) Diri
Kolektif/
Interdependent Construal of Self.
Budaya yang menekankan nilai diri kolektif sangat khas
dengan ciri perasaan akan keterkaitan antar manusia satu sama lain, bahkan
antar dirinya sebagai mikro kosmos dengan lingkungan di luar dirinya sebagai
makro kosmos. Tugas normatif utama pada budaya ini adalah bagaimana individu
memenuhi dan memelihara katerikatannya dengan individu lain.Tugas normatif
depanjang sejarah adalah mendorong saling ketergantungan satu sama lain.
Individu fokus pada status keterakitan mereka dan
penghargaan serta tanggung jawab sosialnya. Aspek terpenting dalam pengalaman
kesadaran adalah intersubjective, saling terhubung antar personal. Antar satu
individu dengan individu lain dalam budaya dengan diri kolektif, misalnya
memiliki derajat kekolektifitasan yang tidak sama. Bagaimana individu melihat
keberhasilannya, siapa yang menentukan, dan bagi siapa keberhasilannya
tersebut, apakah oleh dan untuk individu, ataukah oleh dan untuk kolektif,
derajatnya antar individu adalah tidak sama.
E.
BUDAYA
DAN PERKEMBANGAN MANUSIA
1.
Isu
Budaya dalam Psikologi
Berdasarkan sejarah
teori-teori yang ada mengenai perkembangan manusia, maka ada tiga paradigma
yang menjadi acuan dalam mengkaji perkembangan manusia, diantaranya:
a) Paradigma
Mekanistik yang memandang manusia tak ubahnya seperti mesin yang hanya merespon
suatu stimulus, kemudian menimbulkan tingkah laku. Paradigma ini di ilhami oleh
pendekatan Behaviorisme.
b) Paradigma
Organismik yang menganggap manusia ditentukan pertama kali oleh factor-faktor
biologis (bawaan). Tetapi pemunculan potensi-potensi bawaan itu sangat
ditentukan oleh stimuli yang di berikan lingkungannya. misalnya teori
perkembangan kognitif dari Piaget.
c) Paradigma
Dualistik Kontekstual memandang semua tingkah laku manusia di pengaruhi oleh
konteks ruang dan waktu, yaitu dimana ia tinggal, situasi apa yang mempengaruhi
dan kapan itu terjadi.
Wacana
Perkembangan (developmental niche) yang
dipelopori oleh Super dan Harkness memiliki tiga komponen, yaitu :
- Konteks
fisik dan lingkungan social dimana anak itu hidup dan tinggal.
- Praktek
pendidikan dan pengasuhan anak.
- Karakteristik
orang tua.
2.
Perbedaan
dan Persamaan Budaya dalam Perkembangan
v Perbedaan dan Persamaan Budaya
dalam Perkembangan Motorik
Kebudayaan juga
mempengaruhi perkembangan motorik anak terutama yang berkaitan dengan keaktifan
gerak anak. Keaktifan gerak berbeda dengan perkembangan gerak. Keaktifan gerak
hanyalah semata-mata banyak sedikitnya gerak,
sedangkan perkembangan gerak ialah perkembangan pengendalian dan koordinasi
otot-otot yang diperlekukan untuk mendapatkan kecakapan gerak.
Jika keaktifan gerak
dipengaruhi oleh kebudayaan, maka sebaliknya perkembangan gerak hampir tidak
terpengaruh oleh kebudayaan. Hal ini ditunjukkan oleh Dennis (dikutip dari
Yapsir Gandi Wirawan, 1994) pada
penelitiannya yang terkenal pada dua kelompok anak suku Indian Hopi. Kelompok
yang satu terdiri dari bayi- bayi Hopi yang di asuh oleh orang tua mereka
seperti cara orang-orang Amerika mengasuhnya, yakni di beri kebebasan bergerak
sepenuhnya. Kelompok yang lain terdiri dari bayi-bayi Hopi yang beberapa saat
setelah lahir di balut dengan kain erat-erat, mirip gedungan bayi-bayi di Jawa,
hingga baik bagian lengan maupun kakinya sedikit sekali dapat bergerak, dan di
ikat pada papan kayu kecil hingga mudah di bawa kian kemari di belakang
punggung ibu mereka.
Beberapa studi lain
juga mengemukakan bahwa rendahnya tingkat rangsangan dan terbatasnya gubungan
dengan inu (penjagaan bayi dengan tenang) secara perlehan berkaitan dengan
perkembangan motoik yang relaif lebih lambat di Mexico Selatan, Guatemala, dan
Jepang (Brazelton, Robey & Coller, 1969 ; Arai, Ishikawa dan Toshima, 1958;
Kagan dan Kelin, 1973).
v Perbedaan dan Persamaan Budaya
dalam Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif adalah spesialiasasi dalam psikologi
yang mempelajari bagaimna kemampuan berpikir sepanjang rentang kehidupan
manusia. Kognitif juga diartikan sebagai
kegiatan untuk memperoleh, mengorganisasikan dan menggunakan pengetahuan. Dalam
psikologi, kognitif adalah referensi dari faktor-faktor yang mendasari sebuah
prilaku. Kognitif juga merupakan salah satu hal yang berusaha menjelaskan
keunikan manusia. Pola pikir dan perilaku manusia bertindak sebagai aspek
fundamental dari setiap individu yang tak lepas dari konsep kemanusiaan yang
lebih besar, yaitu budaya sebagai konstruksi sosial.
Perubahan kognitif akan berhubungan dengan kemampuan
penalaran moral, yaitu sejauh mana individu mampu melakukan analisis dan
kesimpulan logis tentang dilemma-dilema yang melibatkan keputusan-keputusan
moral. Istilah moral biasa di gunakan untuk menentukan akan batas suatu
perbuatan, kelakuan, sifat yang benar. Moralpun digunakan sebagai prinsip hidup
akan kebenaran dan kesalahan, kemampuan untuk memahami perbedaan yang salah dan
yang benar. Perkembangan moral merupakan suatu perubahan akan penalaran,
perasaan, dan perilaku yang sesuai dan yang tidak sesuai. Moral di bagi menjadi
dua yakni:
-
Hal
yang baik dimana segala tingkah laku yang dikenal pasti akan etika yang baik.
-
Hal
yang buruk dimana tingkah laku tersebut dikenal akan sesuatu yang buruk.
Persamaan antar budaya melalui
perkembangan moral adalah kesamaan pada perkembangan moral setiap individu.
sedangkan perbedaan antar budaya melalui pertimbangan moral adalah pada budaya
yang di anut.
3.
Temperamen,
Kelekatan dan Pengasuhan Anak
Thomas dan Chess (1977) menggambarkan bahwa ada tiga
kategori utama temperamen: gampangan, sulit dan lambat untuk memulai. Interaksi
antara temperamen anak dengan temperamen orang tua tampaknya merupakan salah
satu kunci perkembangan kepribadian. Reaksi-reaksi orang tua pada temperamen
anak-anak mereka bisa memacu kestabilan atau ketidakstabilan dalam
respon-respon temperamental anak-anak itu terhadap lingkungan.
Chisholm (1983) berpendapat bahwa ada hubungan yang kuat
antara kondisi saat ibu hamil dengan iritabilitas bayi. Perbedaan temperamen
yang khas untuk suatu kelompok budaya mengkin mencerminkan perbedaan-perbedaan
genetic dan sejarah reproduksi.Interaksi antara respon orang tua dan temperamen
bayi mungkin juda menjadi factor penting dalam perbedaan cultural.Tipe-tipe
perbedaan yang muncul sejak lahir ini turut berperan dalam perbedaan
kepribadian orang dewasa di budaya yang berbeda.
Kelekatan adalah ikatan khusus yang berkembang antara bayi
dan pengasuhannya.Banyak para psikologi yang merasa bahwa kuaitas kelekatan ini
punya efek seumur hidup terhadap hubungan seorang individu dengan orang-orang
yang dicintainya. Kelekatan mendasari konsep kepercayaan dasar. Erikson (1963)
menggambarkan formasi kepercayaan dasar sebagai langkah penting pertama dalam
proses perkembangan psikososial yang berlangsung seumur hidup. Kelekatan yang
buruk adalah komponen dari ketidak percayaan, kegagalan menyelesaikan
kebutuhan-kebutuhan tahap perkembangan bayi.
Asumsi orang amerika tentang sifat kelekatan adalah bahwa
kelekatan ideal adalah kelekatan aman.Banyak peneliti lintas-budaya yang
menentang pemahaman tentang kedekatan dengan ibu merupakan syarat untuk
terbentuknya kelekatan yang aman dan sehat.
Baumrind (1971)
mengidentifikasikan tiga pola utama pengasuhan orang tua.Orang tua otoriter,
orang tua yang permisif dan orang tua otoritatif. Banyak pengaruh terhadap
perkembangan kita terjadi dalam hubunngan kita dengan orang selain orang tua
kita.
Menjalankan peran
sebagai orang tua dan pengasuhan anak dipengaruhi kadang secara sangat kuat
oleh kondisi-kondisi kemiskinan.Lingkungan pengasuhan merupakan cermin dari
seperangkat tujuan yang tesusun berdasarkan urutan nilai pentingnya. Yang pertama
adalah kesehatan fisik dan pertahanan hidup, didukungnya perilaku-perilaku yang
akan mengarah pada pemenuhan diri dan terakhir adalah perilaku-perilaku yang
mendukung nilai-nilai cultural lain.
4.
Sosialisasi
dalam Sistem Pendidikan
Sistem pendidikan semata-mata
bukan hanya sebagai intitusi untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan
pengetahuan. Tetapi juga merupakan intitusi penting yang mensosialiasikan
anak-anak, mengajarinya dan memperkuat nilai-nilai budaya yang penting.
Sistem pendidikan
menanamkan nilai-nilai budaya dan mensosialisasikan anak-anak melalui bebrapa
cara, yaitu:
a) Isi
dari apa yang di ajarksn di sekolah merefleksikan suatu pilihan-pilihan secara
apriori melalui anggapan yang di hargai oleh suatu budaya atau masyarakat
tentang apa yang di yakini penting untuk dipelajari. Budaya yang berbeda akan
memilih topic penting yang berbeda pula.
b) Setting
lingkungan dimana pendidikan itu berlangsung juga patut untuk di pertimbangkan.
Beberapa
budaya mendorong model pengajaran didaktik, dimana seorang guru memberikan
informasi kepada murid-murid yang diharapkan untuk mendengar dan belajar.
Budaya lainnya memandang guru sebagai pemimpin yang membuat suatu rencana
pelajaran, memberikan keseluruhan struktur dan kerangka kerja supaya
murid-murid menemukan prinsip-prinsip dan konsep-konsep.
Sewaktu
di sekolah, kebanyakan kehidupan anak-anak di habiskan waktunya jauh dari orang
tua. Proses sosialisasi yang dimulai dalam hubungan primer dengan orang tua
berlanjut dengan teman-teman sebaya dalam situasi bermain dan di sekolah.
Sekolah melembagakan nilai-nilai budaya dan merupakan contributor yang berarti
tidak hanya perkembangan intelektual anak tetapi juga pada perkembangan social
dn emosional.
F.
BUDAYA
DAN PROSES-PROSES DASAR PSIKOLOGIS
1.
Kognisi
Manusia
Kognisi sebenarnya
adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental yang mengubah
masukan-masukan dari indra menjadi pengetahuan. Proses-proses ini mencakup
persepsi, pemikiran rasional, dan seterusnya.
Meski kita mungkin mengira
bahwa semua manusia mempunyai proses-proses mental dasar yang mirip, anda akan
melihat bahwa orang-orang dari budaya yang berbeda mengorganisir, menyampaikan,
dan merespon informasi secara berbeda-beda. Mereka juga berbeda dalam hal
sejauh mana mereka berhasil mengembangkan kemampuan-kemampuan praktis tertentu
dan dalam tingkat pendidikan formal gaya Eropa.
2.
Persepsi
Manusia
Persepsi adalah tentang
memahami bagaimana kita menerima stimulus dari lingkungan dan bagaimana kita
memproses stimulus tersebut. Secara lebih spesifik, sensasinya biasanya
mengacu pada stimulus atau perangsangan nyata pada organ-organ indera tertentu
– mata (system visual), telinga (system pendengaran atau auditori), hidung
(sistem penciuman atau olfaktori), lidah (pengecapan atau rasa), dan kulit
(sentuhan). Persepsi biasanya dimengerti sebagai bagaimana informasi yang
berasal dari organ yang terstimulasi diproses, termasuk bagaimana informasi
tersebut diseleksi, ditata, dan ditafsirkan. Pendek kata, persepsi mengacu pada
proses di mana informasi inderawi diterjemahjkan menjadi sesuatu yang bermakna.
Penelitian
lintas-budaya di bidang sensasi dan persepsi belum sebanyak bidang psikologi
lain seperti perkembangan, perkembangan kognitif dan intelegensi, emosi, dan
psikologi sosial.
3.
Budaya
dan Kognisi
Salah satu proses dasar
kognisi adalah cara bagaimana orang melakukan kategorisasi. Kategorisasi
umumnya dilakukan atas adasar persamaan dan perbedaan karakter dan obyek-obyek
dimaksud. Selain itu, fungsi obyek juga merupakan determinan utama dari proses
kategorisasi. Misal, ketika kita melakukan kategorisasi mengenai buku. Ada
bermacam-macam buku mulai dari buku cerita, buku tulis, buku pelajaran hingga
buku mewarnai untuk anak-anak. Semuanya kita masukan dalam kategorisasi karena
kesamaanbentuknya dan fungsinya byaitu tempat menuliskan sesuatu. Kertas tidak
bisa kita kategorikan ke dalam buku karena meskipun fungsinya bisa di anggap sama
namun dalam hal bentuk sangat berbeda. Buku tersusun atas banyak lembar kertas,
sedang kertas tersusun atas satu lembar atau bisa dihitung sejumlah jari
tangan.
Orang dengan latar
budaya manapun juga cenderung melakukan kategorisasi bentuk benda (shapes) dalam kerangka bentuk-bentuk
dasarnya, semacam : segitiga sama sisi, lingkaran, dan segiempat. Hal ini
berbeda kategorisasi dilakukan terhadap bentuk-bentuk geometris yang tidak
beraturan. Penemuan dalam lintas budaya ini membuktikan bagaimana factor
psikologis mempengaruhi pada bagaimana manusia melakukan kategorisasi melalui stimulus dasar tertentu,
dalam hal ini yang sudah terungkap adalah dalam bentuk, warna dan ekspresi muka
(Berry, 1999).
4.
Intelegensi
Kata
inteligensi atau kecerdasan berasal dari kata latin intellegentia, yang
pertama kali digunakan oleh seorang ahli pidato dari Romawi yaitu Cicero, Dalam
pandangan orang Amerika, inteligensi adalah sejumlah kemampuan, keahlian,
talenta, dan pengetahuan, yang keseluruhannya merujuk pada kemampuan kognitif
dan proses mental. Yang terlingkup dalam inteligensi adalah memori (seberapa
baik dan seberapa banyak serta seberapa lama kita mengingat suatu informasi),
kekayaan kosakata (beberapa banyak kosakata yang kita gunakan dan mampu gunakan
dengan tepat), kemampuan komprehensif (seberapa baik kita memahami serangkaian
ide dan pernyataan), kemampuan matematis (penambahan, pembagian dan
sebagainya), serta berpikir logis (seberapa baik kita menangkap keurutan suatu
peristiwa dan melogikanya).
Banyak
teori yang telah dibangun para psikolog untuk menjelaskan intelegensi. Mulai
dari yang klasik, Piaget yang melihat inteligensi berkembang dalam tahapan –
tahapan yang jelas hingga Sternberg (1986) yang membagi inteligensi dalam tiga
komponen besar, yaitu kecerdasan contextual, experiential, dan componential.
Kecerdasan contextual adalah kemampuan untuk beradaptasi dengan suatu
lingkungan, memecahkan masalah dalam suatu situasi yang spesifik. Kecerdasan
experentiql merujuk pada kemampuan untuk merumuskan ide – ide baru dan
mengkombinasikan fakta – fakta yang saling tidak berhubungan. Sedangkan
kecerdasan componential dipahami sebagai kemampuan berpikir abstrak, memproses
informasi, dan memutuskan apa yang harus dilakukan.
Perbedaan
Budaya dalam Memahami Inteligensi
Ketika kajian
masalah inteligensi dibawa melintas budaya, masalah yang pertama ditemukan
ternyata bahwa tidak semua budaya dalam bahasanya memiliki kosakata yang
memiliki makna sama dengan makan inteligensi yang selama ini dipahami para
psikolog Barat. Diyakini perbedaan pendefinisian ini merupakan refleksi dari
nilai – nilai budaya tersebut.
Dalam bahasa Cina,
kecerdasan dipahami sebagai otak yang baik dan bertalenta, kemampuan yang
terlingkup di dalamnya adalah kemampuan meniru, berusaha, dan bertanggung jawab
secara sosial. Komponen – komponen ini dalam konsep psikologi Barat sering
sering diabaikan sebagai komponen inteligensi. Contoh lain adalah apa yang ada
di suku Baganda Afrika Timur. Mereka menggunakan kata obugezi yang merujuk pada
kombinasi kemampuan mental dan sosial yang menjadikan seseorang kokoh, berhati
hati, dan bersahabat (Wober, 1974). Djerma Sonhar di Afrika Barat menggunakan
istilah yang memiliki makna yang luas, lakkal yang merupakan kombinasi dari
pintar, mengetahui bagaimana dan ketrampilan sosial. Pada suku Baoule, Afrika
Barat, terdapat kosakata yang memiliki arti paling dekat dengan intelegensi
yaitu n’gloule yang dipahami sebagai seseorang yang bermental tajam
(waspada) sekaligus sukarela memberikan pelayanan mereka tanpa diminta(Dasen,
1985).
Perbedaan pemaknaan
ini menjadikan usaha pengkajian dan perbandingan intelegensi dalam kerangka
lintas budaya menjadi sangat sulit. Apa yang dikatakan sebagai kecerdasan bagi
orang Bara adalah kemampuan matematika, namun tidak bagi orang suku lain yang
mungkin menganggap kecerdasan adalah kemampuan berburu atau melakukan adaptasi
sosial. Kesulitan perumusan definisi kecerdasan ini juga berimplikasi pada
kesulitan pengukuran intelegensi yang pada suatu budaya tetapi tidak pada
budaya yang lain (matsumoto, 1996)
Dengan demikian,
adanya perbedaan dalam skor inteligensi diantara kelompok – kelompok budaya
barangkali merupakan akibat atau hasil dari (1) perbedaan keyakinan tentang apa
yang disebut dengan intelegensi itu atau (2) ketidaktepatan pengukuran
intelegensi terkait budaya. Beberapa tes mungkin tidak mengukur motivasi,
kreativitas, atau keterampilan sosial, yang mana hal – hal ini adalah factor –
factor penting dalam intelegensi menurut definisi masyarakat China.
Permasalahan kedua
yang menarik perhatian para pemerhati psikologi lintas budaya adalah apakah
perkembangan intelegensi manusia berlangsung dalam tahapan yang universal dalam
lintas budaya. Salah satu teori yang menjelaskan perkembangan intelegensi
manusia adalah teori Piaget. Piaget mendasarkan teorinya pada observasi
terhadap anak – anak Swiss. Piaget mengemukakan bahwa anak – anak mengalami
kemajuan kognitif melalui 4 tahap sejak mereka bayi sampai dewasa. Umumnya,
kajian yang dilakukan untuk menjawab pertanyaan kedua di atas adalah
berdasarkan hasil penelitiannya pada masyarakat Eropa. Apakah teori Piaget juga
mampu menjelaskan tahap perkembangan intelegensi pada anak – anak yang dating
dari non – Eropa adalah pertanyaan yang muncul dan merangsang Perez melakukan
penelitian.
Penelitian Perez
(1988) melakukan pengetesan pada anak – anak di Ingrris, Australia, Yunani dan Pakistan
menunjukkan bahwa anak – anak sekolah dalam masyarakat yang berbeda menampilkan
pencapaian kemampuan di rentang usia yang sama sampai tahap operasional
konkrit. Meskipun demikian, berdasarkan studi komparatif pada anak – anak suku
Inuit di kanada, Baoul di Afrika, dan Aranda di Australia, ada variasi budaya
dalam usia dimana anak – anak pada masyarakat yang berbeda mencapai tahap
tertentu.
Kajian lintas
budaya juga membuktikan bahwa kemampuan berpikir abstrak atau penalaran ilmiah
yang diasuksikan oleh Piaget sebagai titik akhir perkembangan kognitif ternyata
tidak berlaku secara universal. Hal ini disebabkan adanya perbedaan nilai dan
pemberian penghargaan masyarakat pada skill dan tertentu.
G.
Konteks
Budaya dalam Bimbingan dan Konseling
1.
Ekspresi
Budaya
Banyak perilaku budaya yang terlibat dalam relasi konseling
dan mempengaruhi efektivitas konseling. Dalam menciptakan rapport (hubungan yang kondusif) dengan klien, antara lain melalui
penataanlingkungan konseling dan memahami bahasa non-verbal. Fakta bahwa
ekspresi budaya bukan hanya dinyatakan dalam bentuk komunikasi verbal,
melainkan dalam bahasa non-verbal.
Dalam konsleing lintas budaya, bahasa non-verbal bisa
menjadi sumber kesalahan komunikasi atau
justru memperlancar bila dipahami dengan baik. (Freedman, 2001)
Bahasa non-verbal dinyatakan dalam berbagai ekspresi :
a) Proxemics (batas-batas jarak untuk
komunikasi)
b) Kinesics (bahasa isyarat badan,
muka, mata)
c) Chronemics (persepsi tentang waktu)
d) Paralanguage (nada suara)
e) Silence (arti diam)
f) Haptics (sentuhan fisik)
g) Olfactics (komunikasi melalui indra
penciuman)
h) Oculesics (isyarat mata)
i)
Cara
berpakaian dan penampilan
Perbedaan dalam bahasa non-verbal
bukan hanya terjadi antara Barat dan Timur, melainkan dalam subkultur
masung-masing budaya tersebut. Penggunaan sentuhan sebagai cara untuk
memotivasi klien dalam konseling (misalnya menepuk bahu atau menyentuh tangan)
juga secara kental mengandung muatan budaya.
Kesalahpahaman dapat terjadi apabila
pihak yang berkomunikasi berasal dari budaya yang berbeda dan memiliki bahasa
non-verbal yang berbeda pula, tanpa saling memahami. Dalam konseling lintas
budaya bahasa non-verbal menjadi persoalan yang harus diperhatikan oleh
konselor.
2.
Bias
Budaya dan Konselor Peka Budaya
a)
Konselor
Peka Budaya
Budaya merupakan sesuatu yang ada dalam setiap diri individu, tidak
ada individu yang tidak memiliki budaya, oleh karena itu konselor yang peka
budaya sangat dibutuhkan dalam pelayanan konseling. Adapun pengertian dari
konselor peka budaya itu sendiri adalah konselor yang menyadari bahwa secara
kultural individu memiliki karakteristik yang unik dan kedalam proses konseling
individu membawa karakteristik unik tersebut.
Penerapan konseling lintas budaya mengharuskan konselor peka dan tanggap
terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antara klien yang
satu dengan klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya.
Konselor harus sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses konseling. Karena, budaya
yang dianut sangat mungkin menimbulkan masalah dalam interaksi manusia dalam
kehidupan sehari-hari, masalah bisa
muncul akibat interaksi individu dengan lingkungannya, dan sangat mungkin
masalah terjadi dalam kaitannya dengan unsur-unsur
kebudayan yaitu budaya yang
dianut oleh individu, budaya yang ada di lingkungan individu, serta
tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada di sekitar individu.
b)
Konselor bias
budaya
Ke dalam
proses konseling, konselor maupun klien membawa serta
karakteristik-karakteristik psikologinya, seperti kecerdasan, bakat, sikap,
motivasi, kehendak, dan tendensi-tendensi kepribadian lainnya. Sejauh ini di
Indonesia banyak diberikan terhadap aspek-aspek psikologi tersebut (terutama
pada pihak klien), dan masih kurang perhatian diberikan terhadap latar belakang
budaya konselor maupun klien yang ikut membentuk perilakunya dan menentukan
efektivitas proses konseling (Bolton-Brownlee, 1987 dalam Supriadi, 2001).
Misalnya, etnik, afiliasi kelompok, keyakinan, nilai-nilai, norma-norma,
kebiasaan, bahasa verbal maupun non-verbal dan termasuk bias-bias budaya yang
dibawa dari budayanya. Dapat diasumsikan bahwa semakin banyak kesesuaian (congruence)
antara konselor dengan klien dalam hal-hal tersebut (baik psikologi maupun
sosial-budaya), maka akan semakin besar kemungkinan konseling akan berjalan
efektif, dan demikian sebaliknya.
Dari
penelitian Harrison (Athinson,1985:193) diketahui misalnya bahwa konseli/klien
cenderung lebih menyukai konselor dari ras yang sama. Hal ini sesuai dengan apa
yang ada dalam komunikasi disebut dengan heterophily dan homophily (Rogers,
1983:18-19). Menurut dia, komunikasi yang efektif terjadi apabila dua individu
memilki dua kesamaan. Sebaliknya, komunikasi yang terjadi diantara dua pihak
yang memiliki banyak perbedaan sulit untuk berjalan efektif. Ras dan etnis
merupakan identitas dasar yang secara tidak disadari mengikat individu-individu
dalam kelompok etnis/ras yang bersangkutan, yang oleh Carl Gustav Jung (Hall
& Lindzey, 1970:83-84) disebut “ketidaksadaran kolektif” yang bersifat
primordial dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Efektivitas
proses konseling juga dipengaruhi oleh sifat-sifat psikologis yang terkait
dengan latar belakang etnik/budaya konselor. Triandis (1986) yang dianggap
sebagai pelopor psikologi lintas budaya mendekati isu konseling lintas budaya
dari segi perbedaan budaya indivdualistik dan kolektif. Budaya individualistik
adalah ciri masyarakat Barat, sedangkan budaya Timur dan Amerika Latin adalah
kolektif.
c)
Perbedaan
konselor peka budaya dengan konselor bias budaya
Adapun
karakteristik konselor peka budaya sebagai berikut :
- Konselor lintas Budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimiliki dan
asumsi-asumsi terbaru tentang prilaku manusia
Konselor sadar
bahwa dia memiliki nilai-nilai sendiri yang dijunjung tinggi dan akan terus
dipertahankan. Disisi lain, konselor juga menyadari bahwa klien memiliki
nilai-nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya. Oleh karena itu, konselor
harus bisa menerima nilai-nilai yang berbeda itu sekaligus mempelajarinya.
- Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum
Konselor
memiliki pemahaman yang cukup mengenai konseling secara umum sehingga akan
membantunya dalam melaksanakan konseling,
sebaiknya sadar terhadap pengertian dan kaidah dalam melaksanakan konseling.
Hal ini sangat perlu karena pengertian terhadap kaidah konseling akan membantu konselor dalam
memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien.
- Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan dan mereka
mempunyai perhatian terhadap lingkungannya
Konselor dalam
melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang berpotensi untuk
menghambat proses konseling. Terutama yang berkaitan dengan nilai, norma dan
keyakinan yang dimiliki oleh suku agama tertentu. Terelebih apabila konselor
melakukan praktik konseling di Indonesia yang mempunyai lebih dari 357 etnis
dan 5 agama besar serta penganut aliran kepercayaan.
Ciri-ciri Pelayanan Konseling yang Bias Budaya adalah sebagai berikut:
-
Pelayanan
konseling yang bias budaya akan dapat terjadi jika antara konselor dan klien
mempunyai perbedaan.
-
Konselor
sadar bahwa latar belakang kebudayaan yang dimilikinya.
-
Konselor
mampu mengenali batas kemampuan dan keahliannya
-
Konselor
merasa nyaman dengan perbedaan yang ada antara dirinya dan klien dalam bentuk
ras, etnik, kebudayaan, dan kepercayaan.
Jadi, dapat disimpulkan
pebedaan konselor peka budaya dengan konselor bias budaya yaitu konseling
lintas budaya mengharuskan
konselor peka dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan
budaya antar kelompok klien yang satu dengan kelompok klien lainnya, dan antara
konselor sendiri dengan kliennya. Konseling
lintas budaya melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang
budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh
terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling
tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk
memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti
dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki
keterampilan-keterampilan yang responsif secara kultural. Dengan demikian, maka
konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter)
antara konselor dan klien.
H.
Konseling
dan Psikoterapi Multikultural
1.
Keanekaragaman
Klien dalam Masyarakat Plural
Vontress (1986, dalam
Baruth & Manning, 1991) menyarankan bahwa konselor seharusnya ingat bahwa
kebanyakan klien adalah multicultural dalam perasaan atau pikiran (sense)
mereka yang telah dipengaruhi oleh sedikitnya lima kultur, diantaranya:
a) Universal
: Manusia di seluruh penjuru dunia ini secara biologis mirip; missal : pria dan
wanita adalah mampu untuk memproduksi keturunan dan melindungi serta menjamin berlangsungnya
keturunan.
b) Ekologis
: Lokasi atau tempat manusia di atas bumi menentukan bagaimana mereka berhubungan dengan lingkungan yang
alami itu.
c) Nasional
: Manusia ditandai oleh bahasa mereka, politik mereka dan pandangan dunia
mereka.
d) Regional
: Manusia cenderung untuk menempati suatu daerah, dengan begitu menciptakan
kultur area-specific.
e) Racial-Ethic
: Manusia memmpunyai perbedaan kesukuan dan rasial tertentu; sehingga semua
orang mencerminkan latar belakang kesukuan rasial mereka.
Menurut
Vontress, lima kultur ini membentuk kekuatan-kekuatan social yang mempengaruhi
cara klien mempersepsi permasalahan mereka, kemungkinan pemecahan dan proses
konseling.
2.
Konseling
dan Budaya
Dalam
melaksanakan konseling Multikultural ada beberapa prinsip yang harus dijalankan
secara sinergis oleh konselor, konseli, dan proses konseling yang melibatkan
kedua pihak secara timbal balik. Sebagai inisiator dan pihak yang membantu,
konselor wajib memahami prinsip-prinsip tersebut dan mengaplikasikannya, dalam
proses konseling. Adapun prinsip-prinsip dasar yang dimaksud adalah sebagai
berikut (Draguns, 1989):
a)
Untuk konselor:
-
Kesadaran diri dan pengertian tentang
sejarah kelompok budayanya sendiri dan mengalami.
-
Kesadaran diri dab pengertian tentang
pengalaman diri sendiri di lingkungan arus besar kulturnya.
-
Kepekaan perceptual terhadap kepercayaan
diri sendiri pribadi dan nilai-nilai yang dimilikinya.
b)
Untuk pemahaman konseli:
-
Kesadaran dan pengertian/pemahaman
tentang sejarah dan pengalaman budaya konseli yang dihadapi.
-
Kesadaran perceptual akan pemahaman dan
pengalaman dalam lingkungan kultur dari konseli yang dihadapi.
-
Kepekaan perceptual terhadap kepercayaan
diri konseli dan nilai-nilainya.
c)
Untuk proses konseling:
-
Hati-hati dalam mendengarkan secara
aktif, konselor harus dapat menunjukkan baik secara verbal maupun nonverbal
bahwa ia memahami yang dibicarakan konseli, dan dapat mengkomunikasikan
tanggapannya dengan baik sehingga dapat dipahami oleh konseli.
-
Memperhatikan konseli dan situasinya
seperti konselor memperhatikan dirinya dalam situasi tersebut, serta memberikan
dorongan optimisme dalam menemukan solusi yang realistis.
-
Mempersiapkan mental dan kewaspadaan
jika tidak memahami pembicaraan konseli dan tidak ragu-ragu memintak
penjelasan. Dengan tetap memelihara sikap sabar dan optimis.
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa prinsip-prinsip tersebut menuntut konselor dapat memahami secara baik tentang situasi budayanya dan budaya konseli, serta memiliki kepekaan konseptual terhadap respon yang diberikan konseli, sehingga dapat mendorong optimisme, dalam mendapatkan solusi yang realistis. Konselorpun harus memiliki sikap sabar, optimis dan waspada jika tidak dapat memahami pembicaraan konseli serta tidak ragu-ragu memintak penjelasan agar proses konseling berjalan efektif.
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa prinsip-prinsip tersebut menuntut konselor dapat memahami secara baik tentang situasi budayanya dan budaya konseli, serta memiliki kepekaan konseptual terhadap respon yang diberikan konseli, sehingga dapat mendorong optimisme, dalam mendapatkan solusi yang realistis. Konselorpun harus memiliki sikap sabar, optimis dan waspada jika tidak dapat memahami pembicaraan konseli serta tidak ragu-ragu memintak penjelasan agar proses konseling berjalan efektif.
3.
Karakteristik
Konselor Multikultural yang Efektif
Untuk
dapat melaksanakan proses konseling multikultural secara efektif, konselor
multikultural dituntut memiliki beberapa kemampuan atau kompetensi. Sue (1978), menyebutkan kemampuan-kemampuan
yang harus dimiliki oleh konselor multicultural sebagai berikut :
a)
Mengenali nilai dan asumsi tentang
perilaku yang diinginkan dan tidak diingikan.
b)
Memahami karakteristik umum tentang
konseling.
c)
Tanpa menghilangkan peranan utamanya
sebagai konselor ia harus dapat berbagi pandangan dengan konselinya.
d)
Dapat melaksanakan proses konseling
secara efektif.
Selain ke empat aspek tersebut, dalam
artikelnya pada tahun 1981, Sue menambahkan beberapa kompetensi yang harus
dimiliki konselor multicultural sebagai berikut :
a)
Menyadari dan memiliki kepekaan terhadap
budayanya.
b)
Menyadari perbedaan budaya antara
dirinya dengan konseli serta mengurangi efek negative dari perbedaan atau
kesenjangan tersebut dalam proses konseling.
c)
Merasa nyaman dengan perbedaan antara
konselor dengan konseli baik menyangkut ras maupun kepercayaan.
d)
Memiliki informasi yang cukup tentang
cirri-ciri khusus dari kelompok atau budaya konseli yang akan ditangani.
e)
Memiliki pemahamn dan keterampilan
tentang konseling dan psikoterapi.
f)
Mampu memberikan respon yang tepat baik
secara verbal maupun non verbal.
g)
Harus dapat menerima dan menyampaikan
pesan secara teliti dan tepat baik verbal maupun non verbal.
Sebelas
kompetensi yang menjadi karakteristik konselor multicultural seperti
dikemukakaan Sue tersebut dapat disarikan dalam 3 aspek besar yaitu :
Pengetahuan, sikap dan keterampilan. Dengan demikian seorang konselor
multicultural harus memiliki pengetahuan tentang teknik konseling dan social
budaya , sikap terbuka dan toleran terhadap perbedaan, serta keterampilan dalam
memodifikasi teknik-teknik konseling secara efektif dalam latar budaya yang
berbeda-beda. Menyangkut konselor Indonesia perlu pula memahami ciri-ciri
khusus budaya dan sub budaya dari bangsa Indonesia yang beraneka ragam serta
mampu menjadikan keanekaragaman tersebut sebagai unsure persatu dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia.
I.
Pengaruh
Budaya pada Organisasi dan Kerja
1.
Diri
dalam Konteks Sosial
Plato mengatakan, mahluk hidup yang disebut manusia
merupakan mahluk sosial dan mahluk yang senang bergaul/berkawan (animal society
= hewan yang bernaluri untuk hidup bersama). Status mahluk sosial selalu
melekat pada diri manusia. Manusia tidak bisa bertahan hidup secara utuh hanya
dengan mengandalkan dirinya sendiri saja. Sejak lahir sampai meninggal dunia,
manusia memerlukan bantuan atau kerjasama dengan orang lain. Ciri utama mahluk
sosial adalah hidup berbudaya. Dengan kata lain hidup menggunakan akal budi
dalam suatu sistem nilai yang berlaku dalam kurun waktu tertentu. Hidup berbudaya
tersebut meliputi filsafat yang terdiri atas pandangan hidup, politik,
teknologi, komunikasi, ekonomi, sosial, budaya dan keamanan.
Menurut Aristoteles (384 – 322 SM), manusia adalah mahluk
yang pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia
lainnya (zoon politicon yang artinya mahluk yang selalu hidup bermasyarakat).
Pada diri manusia sejak dilahirkan sudah memiliki hasrat/bakat/naluri yang kuat
untuk berhubungan atau hidup di tengah-tengah manusia lainnya. Naluri manusia untuk
hidup bersama dengan manusia lainnya disebut gregoriousness. Manusia berperan
sebagai mahluk individu dan mahluk sosial yang dapat dibedakan melalui hak dan
kewajibannya. Namun keduanya tidak dapat dipisahkan karena manusia merupakan
bagian dari masyarakat. Hubungan manusia sebagai individu dengan masyarakatnya
terjalin dalam keselarasan, keserasian, dan keseimbangan. Oleh karena itu
harkat dan martabat setiap individu diakui secara penuh dalam mencapai
kebahagiaan bersama.
Masyarakat merupakan wadah bagi para individu untuk
mengadakan interaksi sosial dan interelasi sosial. Interaksi merupakan
aktivitas timbal balik antarindividu dalam suatu pergaulan hidup bersama.
Interaksi dimaksud, berproses sesuai dengan perkembangan jiwa dan fisik manusia
masing-masing serta sesuai dengan masanya. Pada masa bayi, mereka berinteraksi
dengan keluarganya melalui berbagai kasih sayang. Ketika sudah bisa berbicara
dan berjalan, interaksi mereka meningkat lebih luas lagi dengan teman-teman
sebayanya melalui berbagai permainan anak-anak atau aktivitas lainnya. Proses
interaksi mereka terus berlanjut sesuai dengan lingkungan dan tingkat usianya,
dari mulai interaksi non formal seperti berteman dan bermasyarakat sampai
interaksi formal seperti berorganisasi, dan lain-lain. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi manusia hidup bermasyarakat, yaitu: faktor alamiah atau kodrat
tuhan, faktor saling memenuhi kebutuhan, dan faktor saling ketergantungan.
Keberadaan semua faktor tersebut dapat diterima oleh akal
sehat setiap manusia, sehingga manusia itu benar-benar bermasyarakat,
sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Khaldun bahwa hidup bermasyarakat itu bukan
hanya sekadar kodrat Tuhan melainkan juga merupakan suatu kebutuhan bagi jenis
manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. ika tingkah laku timbal balik
(interaksi sosial) itu berlangsung berulang kali dan terus menerus, maka
interaksi ini akan berkembang menjadi interelasi sosial. Interelasi sosial
dalam masyarakat akan tampak dalam bentuk sense of belonging yaitu suatu perasaan
hidup bersama, sepergaulan, dan selingkungan yang dilandasi oleh rasa
kemanusiaan yang beradab, kekeluargaan yang harmonis dan kebersatuan yang
mantap.
2. Pengaruh Budaya pada Komunikasi
Komunikasi
merupakan pusat dari seluruh sikap ,perilaku dan tindakan yang trampil dari
manusia ( communication involves both attides and skills ). Manusia tidak bisa
dikatakan berinteraksi sosial kalau tidak berkomunikasi dengan cara melalui
pertukaran informasi ,ide-ide, gagasan,maksud serta emosi yang dinyatakan dalam
simbul simbul dengan orang lain.
Komunikasi
pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial budaya masyarakat
penuturnya karena selain merupakan fenomena sosial, komunikasi juga merupakan
fenomena budaya. Sebagai fenomena sosial, bahasa merupakan suatu bentuk
perilaku sosial yang digunakan sebagai sarana komunikasi dengan melibatkan
sekurang-kurangnya dua orang peserta. Oleh karena itu, berbagai faktor sosial
yang berlaku dalam komunikasi, seperti hubungan peran di antara peserta
komunikasi, tempat komunikasi berlangsung, tujuan komunikasi, situasi
komunikasi, status sosial, pendidikan, usia, dan jenis kelamin peserta
komunikasi, juga berpengaruh dalam penggunaan bahasa.
Sementara
itu, sebagai fenomena budaya, komunikasi selain merupakan salah satu unsur
budaya, juga merupakan sarana untuk mengekspresikan nilai-nilai budaya
masyarakat penuturnya. Atas dasar itu, pemahaman terhadap unsur-unsur budaya
suatu masyarakat–di samping terhadap berbagai unsur sosial yang telah
disebutkan di atas–merupakan hal yang sangat penting dalam mempelajari suatu
komunikasi. Hal yang sama berlaku pula bagi komunikasin di Indonesia. Oleh
karena itu, mempelajari bahasa Indonesia–lebih-lebih lagi bagi para penutur
asing–berarti pula mempelajari dan menghayati perilaku dan tata nilai sosial
budaya yang berlaku dalam masyarakat Indonesia.
Kenyataan
tersebut mengisyaratkan bahwa dalam pengajaran komunikasi, sudah semestinya
pengajar tidak terjebak pada pengutamaan materi yang berkenaan dengan
aspek-aspek kebahasaan semata, tanpa melibatkan berbagai aspek sosial budaya
yang melatari penggunaan bahasa. Dalam hal ini, jika pengajaran bahasa itu
hanya dititikberatkan pada penguasaan aspek-aspek kebahasaan semata, hasilnya
tentu hanya akan melahirkan siswa yang mampu menguasai materi, tetapi tidak
mampu berkomunikasi dalam situasi yang sebenarnya. Pengajaran bahasa yang
demikian tentu tidak dapat dikatakan berhasil, lebih-lebih jika diukur dengan
pendekatan komunikatif. Dengan perkataan lain, kemampuan berkomunikasi secara
baik dan benar itu mensyaratkan adanya penguasaan terhadap aspek-aspek kebahasaan
dan juga pengetahuan terhadap aspek-aspek sosial budaya yang menjadi konteks
penggunaan komunikasi.
3.
Pengaruh
Budaya pada Gender
Gender adalah peran dan tanggung jawab perempuan dan
laki-laki yang ditentukan secara social. Gender berhubungan dengan persepsi dan
pemikiran serta tindakan yang diharapkan sebagai perempuan dan laki-laki yang
dibentuk masyarakat, bukan karena perbedaan biologis (WHO, 1998).
Berikut ini ada bebrapa pengaruh gender pada budaya,
diantaranya:
a)
Setiap masyarakat mengharapkan wanita
dan pria untuk berpikir, berperasaan dan bertindak dengan pola-pola tertentu
dengan alas an hanya karena mereka dilahirkan sebagai wanita/pria. Contohnya
wanita diharapkan untuk menyiapkan masakan, membawa air dan kayu bakar, merawat
anak-anak dan suami. Sedangkan pria bertugas memberikan kesejahteraan bagi
keluarga di masa tua serta melindungi keluarga dari ancaman.
b) Gender dan
kegiatan yang dihubungkan dengan jenis kelamin, semuanya adalah hasil rekayasa
masyarakat. Beberapa kegiatan seperti menyiapkan makanan dan merawat anak
adalah dianggap sebagai “kegiatan wanita”. Kegiatan lain terkait dengan gender
seseorang tidak sama dari satu daerah ke daerah lain diseluruh dunia,
tergantung pada kebiasaan, hukum dan agama yang dianut oleh masyarakat tertentu.
c) Peran jenis
kelamin bahkan bisa tidak sama didalam suatu masyarakat, tergantung pada
tingkat pendidikan, suku dan umurnya, contohnya : di dalam suatu masyarakat,
wanita dari suku tertentu biasanya bekerja menjadi pembantu rumah tangga,
sedang wanita lain mempunyai pilihan yang lebih luas tentang pekerjaan yang
bisa mereka pegang.
d) Peran gender
diajarkan secara turun temurun dari orang tua ke anaknya. Sejak anak berusia
muda, orang tua telah memberlakukan anak perempuan dan laki-laki berbeda,
meskipun kadang tanpa mereka sadari
J.
Budaya
dan Perilaku Sosial
1.
Budaya
dan Strukur Organiasasi
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak terlepas dari
ikatan budaya yang diciptakan. Ikatan budaya tercipta oleh masyarakat yang
bersangkutan, baik dalam keluarga, organisasi, bisnis maupun bangsa. Budaya
membedakan masyarakat satu dengan yang lain dalam cara berinteraksi dan
bertindak menyelesaikan suatu pekerjaan. Budaya mengikat anggota kelompok
masyarakat menjadi satu kesatuan pandangan yang menciptakan keseragaman
berperilaku atau bertindak. Seiring dengan bergulirnya waktu, budaya pasti
terbentuk dalam organisasi dan dapat pula dirasakan manfaatnya dalam memberi
kontribusi bagi efektivitas organisasi secara keseluruhan.
Menurut Robbins (1996:289), budaya organisasi adalah suatu
persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu. Sedangkan menurut
Schein (1992:12), budaya organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh
organisasi untuk bertindak dan memecahkan masalah, membentuk karyawan yang
mampu beradaptasi dengan lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota
organisasi. Untuk itu harus diajarkan kepada anggota termasuk anggota yang baru
sebagai suatu cara yang benar dalam mengkaji, berpikir dan merasakan masalah
yang dihadapi.
Menurut Tosi, Rizzo, Carrol seperti yang dikutip oleh
Munandar (2001:264), budaya organisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
a) Pengaruh umum dari luar yang luas
Mencakup faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan atau
hanya sedikit dapat dikendalikan oleh organisasi.
b) Pengaruh dari nilai-nilai yang ada
di masyarakat
Keyakinan-keyakinan dn nilai-nilai yang dominan dari
masyarakat luas misalnya kesopansantunan dan kebersihan.
c) Faktor-faktor yang spesifik dari
organisasi
Organisasi selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam
mengatasi baik masalah eksternal maupun internal organisasi akan mendapatkan
penyelesaian-penyelesaian yang berhasil. Keberhasilan mengatasi berbagai
masalah tersebut merupakan dasar bagi tumbuhnya budaya organisasi.
Robbins (Torang, 2009: 101) berpendapat bahwa struktur
organisasi menetapkan bagaimana tugas dalam organisasi akan dibagi, siapa
melapor kepada siapa, dan mekanisme koordinasi yang formal serta pola interaksi
yang akan diikuti. Adapun menurut Robbins (1996 : 294), budaya organisasi berfungsi
antara lainsebagai berikut :
a) Budaya menciptakan pembedaan yang
jelas antara satu organisasi dan yang lain.
b) Daya membawa suatu rasa identitas
bagi anggota-anggota organisasi.
c) Budaya mempermudah timbulnya
komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual
seseorang.
d) Budaya merupakan perekat sosial yang
membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang
tepat untuk dilakukan oleh karyawan.
e) Budaya sebagai mekanisme pembuat
makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.
2. Konflik Antar Budaya dalam Bisnis
dan Kerja
John Kello mencoba menggali
bagaimana konflik yang terjadi di antar budaya yang ada, konflik pribadi dan
benturan budaya antar perusahaan (organisasi) berpengaruh terhadap upaya
penggabungan dua perusahaan atau organisasi. Kello, menyatakan bahwa banyak
merger dan akuisisi yang dilakukan oleh sebuah perusahaan gagal dikarenakan
faktor benturan (konflik) antar budaya organisasi yang ada dalam masing-masing
perusahaan yang akan dimerger atau diakuisisi.
Masalah konflik antar budaya juga
diperhatikan oleh Kreitner (2008) yang menyatakan bahwa melakukan bisnis dengan
orang yang mempunyai budaya berbeda sudah menjadi biasa dalam ekonomi global
dimana merger lintas batas, joint ventura dan aliansi sudah dilakukan.
Perbedaan asumsi bagaimana berpikir dan bertindak berpotensi menyebabkan adanya
konflik lintas budaya baik secara perlahan maupun cepat.
Kello melihat bahwa setiap
organisasi memiliki kepribadian yang khas, yang biasa disebut budaya
perusahaan. Sama seperti kepribadian seorang individu, yang menetapkan atribut
membuat perbedaan besar dalam bagaimana fungsi perusahaan Ini mempengaruhi
jenis perusahaan itu bisa bermitra dengannya dan tidak mudah untuk melakukan perubahan
didalamnya.
Kello mencoba meneliti alasan
mengapa begitu banyak merger dan akuisisi gagal atau setidaknya terlihat underperformed.
Dan dalam banyak kasus, akar penyebab itu hanyalah benturan budaya – konflik
kepribadian perusahaan. Benturan budaya ini telah menimbulkan adanyanya
ketakutan, kecemasan dan ketidakpastian pada karyawan. Ada permasalahan “Budaya
Lama Versus Budaya Baru” pada saat perusahaan sepakat melakukan merger atau
akuisisi atau kerjasama. Perbedaan budaya yang mencolok dan berbeda inilah yang
mengancam bagi kelangsungan hubungan atau keberhasilan dalam melakukan sebuah
akuisisi atau kerjasama dalam perusahaan.
Kasus yang diangkat oleh Kello juga
menyoroti bagaimana perusahaan besar yang mencaplok perusahaan kecil. Benturan
budaya terjadi ketika budaya perusahaan besar sangat terstruktur dan formal,
dengan banyak aturan dan prosedur yang didokumentasikan, sedangkan budaya
perusahaan kecil sangat fleksibel, kemudahan beradaptasi dan sangat
informal. Tentu hal ini akan menjadi masalah, sekalipun pekerjaannya serupa
namun kepribadian keduanya sangat berbeda. Kello juga menemukan bagaimana
ketika anggota organisasi atau perusahaan tidak dapat menyesuiakan dengan
perusahaan besar yang mengakuisisi dan tidak dapat belajar, maka kerjasama atau
akuisisi yang seharusnya menghasilkan profit lebih menjadi gagal dan tidak
tercapai.
Budaya perusahaan harus diubah,
terutama apabila tidak dapat memenuhi tuntutan pasar, dimana hal itu juga akan
berpengaruh negative kepada karyawan. Misal ketika sebuah perusahaan terlalu
berhati-hati dan lambat mengambil keputusan, tidak menghargai inovasi untuk
mengambil resiko, sementara pasar bergerak cepat dan membutuhkan kelincahan
untuk bergerak, tentu hal ini akan sangat beresiko pada perusahaan. Pilihannya
adalah, apabila budaya perusahaan tidak dirubah maka tamatlah bisnis perusahaan
tersebut.
Hal ini mengisyaratkan bahwa
konflik yang terjadi akibat merger atau akuisisi seperti konflik antar
individu, konflik antar kelompok maupun benturan budaya harus dapat diselesaikan.
Dan budaya negative atau yang tidak cocok dengan perubahan jaman atau kebutuhan
global maka harus dapat dirubah.
No comments :
Post a Comment