BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Budaya
dan Kepribadian
Kebudayaan berasal dari
kata budh- budhi- budhaya dalam bahasa sansekerta yang berarti akal, sehingga
kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Ada yang
mengatakan bahwa kebudayaan yang berasal dari kata budi dan daya. Budi adalah akal
yang merupakan unsure rohani dalam kebudayaan, sedangkan daya berarti perbuatan
atau ikhtiar sebagai unsure jasmani, sehingga kebudayaan diartikan sebagai
hasil dari akal dan ikhtiar manusia
Berikut ini
definisi-definisi kebudayaan yang dikemukakan beberapa ahli :\
1. Edward
B. Taylor
Kebudayaan merupakan
keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan
lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.
2. M.
Jacobs dan B.J. Stern
Kebudayaan mencakup
keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi social, Ideologi, religi, dan
kesenian serta benda, yang kesemuanya merupakan warisan sosial.
3. Koentjaraningrat
Kebudayaan adalah
keseluruhan system gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
4. Dr.
K. Kupper
Kebudayaan merupakan
system gagasan yang menjadi pedoman dan pengarah bagi manusia dalam bersikap
dan berperilaku, baik secara individu maupun kelompok.
5. William
H. Havilan
Kebudayaan adalah
seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota
masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan
perilaku yang dipandang layak dan dapat di terima oleh semua masyarakat.
6. Ki
Hajar Dewantara
Kebudayaan
berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh
kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk
mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan penghidupan nya
guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan.
Dari
berbagai definisi di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan segala sesuatu yang meliputi sistem ide/
gagasan dan perilaku yang menjadi pedoman atau acuan seseorang dalam
bertingkahlaku di masyarakat dalam kehidupan sehai-hari. Dan perwujudan
kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang
berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya
pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi social, religi seni dan
lain-lain, yang ke semuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam
melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan tidak bisa dilihat atau
dipegang karena berada di dalam pikiran atau kepala manusia. Oleh karena itu,
kebudayaan bersifat abstrak. Akan tetapi, hasil kebudayaan dapat dilihat dan
dideteksi (dipantau) dengan panca indra manusia.
Sedangkan
yang dimaksud dengan kepribadian adalah semua corak perilaku dan kebiasaan
individu yang terhimpun dalam dirinya dan digunakan untuk bereaksi serta
menyesuaikan diri terhadap segala rangsangan baik dari luar maupun dalam.
Perilaku dan kebiasaan ini merupakan kesatuan fungsional yang khas pada
seseorang. Perkembangan kepribadian tersebut bersifat dinamis, artinya selama
individu masih bertambah pengetahuannya dan mau belajar serta menambah
pengalaman dan keterampilan, mereka akan semakin matang dan mantap
kepribadiannya. Adapula yang mengartikan kepribadian sebagai susunan unsur-unsur akal dan jiwa
yang menentukan tingkah laku atau tindakan seorang individu. Dalam bahasa
populer istilah kepribadian juga berarti ciri-ciri watak yang konsisten,
sehingga seorang individu memiliki suatu identitas yang khas berbeda dengan
individu yang lain. Konsep kepribadian yang lebih spesifik belum bisa di
definisikan sampai sekarang karena luasnya cakupan dan sulit untuk dirumuskan
dalam satu definisi sehingga cukup kiranya untuk kita memakai arti yang lebih
kasar sampai didapatkan definisi yang sebenarnya dari para ahli psikologi.
Menurut Roucek dan Warren,
kepribadian adalah organisasi yang terdiri atas faktor-faktor biologis,
psikologis dan sosiologis. Faktor biologis misalnya, sistem syaraf, proses
pendewasaan, dan kelainan biologis lainnya, sedangkan faktor psikologis adalah
seperti unsur temperamen, kemampuan belajar, perasaan, keterampilan, keinginan
dan lain-lain. Dan yang terakhir, adalah faktor sosiologis. Kepribadian dapat
mencakup kebiasaan-kebiasaan, sikap dan lain-lain yang khas dimiliki oleh
seseorang yang berkembang apabila orang tadi berhubungan dengan orang lain.
Ketiga faktor di atas yakni faktor biologis, psikologis dan sosiologis adalah
factor-faktor yang dapat mempengaruhi kepribadian.
Seseorang yang sejak kecil
dilahirkan sampai dewasa selalu belajar dari orang-orang disekitarnya. Secara
bertahap dia akan mempunyai konsep kesadaran tentang dirinya sendiri.
Lama-kelamaan perilaku-perilaku si anak akan menjadi sifat yang nantinya
menghasilkan suatu kepribadian. Berikut ini adalah beberapa kebudayaan khusus
yang nyata mempengaruhi bentuk kepribadian yakni:
1. Kebudayaan-kebudayaan khusus atas
dasar faktor kedaerahan
Contoh: Adat-istiadat melamar di Lampung dan Minangkabau. Di
Minangkabau biasanya pihak permpuan yang melamar sedangkan di Lampung, pihak
laki-laki yang melamar.
2. Cara hidup di kota dan di desa yang
berbeda ( urban dan rural ways of life )
Contoh: Perbedaan anak yang dibesarkan di kota dengan seorang
anak yang dibesarkan di desa. Anak kota bersikap lebih terbuka dan berani untuk
menonjolkan diri di antara teman-temannya sedangkan seorang anak desa lebih
mempunyai sikap percaya pada diri sendiri dan sikap menilai ( sense of value )
3. Kebudayaan-kebudayaan khusus kelas
social
Di masyarakat dapat dijumpai lapisan sosial yang kita kenal,
ada lapisan sosial tinggi, rendah dan menengah. Misalnya cara berpakaian,
etiket, pergaulan, bahasa sehari-hari dan cara mengisi waktu senggang.
Masing-masing kelas mempunyai kebudayaan yang tidak sama, menghasilkan
kepribadian yang tersendiri pula pada setiap individu.
4. Kebudayaan khusus atas dasar agama
Adanya berbagai masalah di dalam satu agama pun melahirkan
kepribadian yang berbeda-beda di kalangan umatnya.
5. Kebudayaan berdasarkan profesi
Misalnya: kepribadian seorang dokter berbeda dengan
kepribadian seorang pengacara dan itu semua berpengaruh pada suasana
kekeluargaan dan cara mereka bergaul. Contoh lain seorang militer mempunyai
kepribadian yang sangat erat hubungan dengan tugas-tugasnya. Keluarganya juga
sudah biasa berpindah tempat tinggal.
B.
Kepribadian
dalam Lintas Budaya
Kepribadian merupakan konsep dasar
psikologi yang berusaha menjelaskan keunikan manusia. Kepribadian mempengaruhi dan
menjadi acuan dari pola pikir, perasaan dan perilaku individu manusia, serta
bertindak sebagai aspek fundamental dari setiap individu tersebut. Dimana
merupakan aspek inti keberadaan manusia yang karena tak lepas dari konsep
kemanusiaan yang lebih besar, yaitu budaya sebagai konstruk sosial. Kepribadian
bersifat lentur yang menyesuaikan dengan budaya dimana individu berada.
Kepribadian cenderung berubah, menyesuaikan dengan konteks dan situasi.
Hal pertama yang menjadi perhatian dalam studi lintas budaya
dan kepribadian adalah perbedaan diantara beragam budaya dalam memberi definisi
kepribadian. Dalam literature-literatur psikologi Amerika umumnya kepribadian
dipertimbangkan sebagai karakter perilaku, karakter kognitif dan predisposisi
yang relative abadi (Matsumoto, 1996). Definisi lain menyatakan bahwa
kepribadian adalah serangkaian karakteristik pemikiran, perasaan, dan perilaku
yang berbeda antara tiap individu dan cenderung konsisten dalam setiap waktu
dan kondisi. Ada dua aspek dalam definisi ini yaitu : kekhususan
(distinctiveness), dan stabilitas serta konsistensi (stability and consistency)
(Phares, 1991). Semua definisi di atas menggambarkan bagaimana mereka
mempercayai bahwa kepribadian didasarkan pada stabilitas dan konsistensi di
setiap konteks, situasi dan iteraksi (Matsumoto, 1996).
Tokoh Humanistic salah satunya Maslow, dalam teorinya
meyakini bahwa kepribadian diarahkan oleh pemenuhan level-level kebutuhan
dengan puncaknya adalah keberhasilan dalam aktualisasi diri. Tahapan-tahapan
kebutuhan Maslow tersebut diyakini para pengagumnya adalah berlaku universal,
begitupun dengan apa yang dimaksud aktualisasi diri. berikut ini level-level
kebutuhan menurut Maslow, yaitu:
a) Level
1 – Kebutuhan akan Fisiologis
Kebutuhan fisiologis
adalah kebutuhan dasar untuk bertahan hidup. Kebutuhan ini mencakup hal-hal
untuk memenuhi kebutuhan fisik seperti bernafas, makan, minum, tidur, seks dan sebagainya. Orang yang masih berada di level
ini, kecenderungannya hanya berfokus mengenai kebutuhan dasar.
b) Level
2 – Kebutuhan Akan Rasa Aman
Kebutuhan akan rasa
aman mencakup banyak hal seperti rasa aman terhadap diri sendiri dan
keluarganya dari serangan kejahatan, kondisi keamanan finansial dari
pekerjaan/krisis ekonomi dan sebagainya. Orang
yang masih berada pada level ini akan dipenuhi rasa khawatir hidupnya terancam.
c) Level
3 – Kebutuhan Akan Rasa Cinta dan memiliki
Kebutuhan akan rasa cinta dan memiliki menjadi kebutuhan sesorang untuk
memuaskan batin melalui kasih sayang dari orang
lain, seperti keluarga, pasangan maupun keinginan untuk diterima oleh kelompok.
Orang yang ada pada level kebutuhan ini sangat berkeinginan untuk eksis dan
bersosialisasi.
d) Level
4 – Kebutuhan Akan Penghargaan
Kebutuhan akan
penghargaan ada karena seseorang sangat ingin dianggap penting, kebutuhan ini
mencakup kriteria kebutuhan akan pengakuan, kepercayaan diri, prestasi,
penghargaan dan penghormatan terhadap diri sendiri dan orang lain. Dengan
adanya kebutuhan ini akan membuat seseorang lebih terdorong untuk mencapai
hal-hal yang lebih tinggi lagi dalam hidup yang belum dapat dicapainya hingga
saat ini.
e) Level
5 – Kebutuhan Akan Aktualisasi diri
Kebutuhan akan aktualisasi
diri adalah mengenai kebutuhan mendapatkan kepuasan diri yang mencakup
pemenuhan akan moralitas, kreativitas, spontanitas, penyelesaian masalah, dan
penerimaan kenyataan yang terjadi. Di tahap aktualisasi diri seseorang akan
lebih terfokus pada mendorong dirinya mencapai prestasi-prestasi tertinggi,
bukan dengan tujuan utama hanya semata-mata untuk mendapatkan penghargaan saja
tapi lebih kepada untuk upaya memaksimalkan agar hidupnya lebih bermanfaat baik
bagi diri sendiri maupun orang lain.
Locus
of Control
Hal paling menarik dari hubungan kepribadian
dengan konteks lintas budaya adalah masalah locus of control. Sebuah konsep
yang dibangun oleh Rotter (1966) yang menyatakan bahwa setiap orang berbeda
dalam bagaimana dan seberapa besar kontrol diri mereka terhadap perilaku dan
hubungan mereka dengan orang lain serta lingkungan.
Locus of control kepribadian umumnya dibedakan
menjadi dua berdasarkan arahnya, yaitu internal dan eksternal. Individu dengan
locus of control eksternal melihat diri mereka sangat ditentukan oleh bagaimana
lingkungan dan orang lain melihat mereka. Sedangkan locus of control internal
melihat independency yang besar dalam kehidupan dimana hidupnya sangat
ditentukan oleh dirinya sendiri.
Sebagai contoh adalah penelitian perbandingan
antara masyarakat Barat (Eropa-Amerika) dan masyarakat Timur (Asia). Orang-orang Barat cenderung melihat diri mereka dalam kaca mata
personal individual sehingga seberapa besar prestasi yang mereka raih
ditentukan oleh seberapa keras mereka bekerja dan seberapa tinggi tingkat
kapasitas mereka. Sebaliknya, orang Asia yang locus of control kepribadiannya
cenderung eksternal melihat keberhasilan mereka dipengaruhi oleh dukungan orang
lain ataupun lingkungan.
Penelitian yang mengkaji locus of control menemukan banyak
hal menarik mengenai kesamaan ataupun perbedaan dalam konteks lintas budaya.
Dyal (1984, dalam Berry, 1999) melakukan kajian besar yang menggali deskripsi
locus of control antara kulit hitam Amerika dengan kulit putih Amerika.
Penemuan mengemukakan bahwa orang kulit hitam lebih eksternal dibanditngkan
dengan orang kulit putih. Yang disebabkan oleh perbedaan status
sosiolekonomi,status sosialekonomi yang rendah cenderung sejalan dengan letak
kendali eksternal, dibandingkan sebabfaktor-faktor genetik.
Locus of control seringkali dihubungkan dengan
karakter-karakter kepribadian. Pada 1974, McGinnes dan Ward (dalam Berry, 1999)
menguji ulang temuan ini dan menemukan ketidakhadiran hubungan yang diharap
terjadi pada responden Selandia Baru, bahkan ditemukan hubungan yang berlawanan
di Australia.
Sejumlah penelitian mengenai profil kepribadian antar budaya
juga banyak dilakukan yang dalam pengukurannya menggunakan alat-alat tes
semacam Minnesota Multhiphasic Personality Inventory (MMPI) dan Eysenck Personality
Questionnaire (EPQ).
EPQ membedakan faktor kepribadian dalam empat area, yaitu
pschoticism, extroversion, neuroticism dan social desirability. Skor pada empat
faktor telah dihubungkan dengan berbagai antesedent sosial dan politik sampai
faktor iklim. Meskipun demikian tampaknya penelitian-penelitian serupa yang
menggunakan alat-alat psikotes konvensional dianggap tidak memberikan gambaran
yang memuaskan mengenai kepribadian dalam lintas budaya (Matsumoto, 1996).
Selain itu penggunaan alat tes yang tidak melalui penelitian
adaptasi, sebagaimana didiskusikan di kolom contoh, sangat mungkin memberikan
hasil yang bias. Interpretasi standar yang dibangun yang dibangun dalam
nilai-nilai masyarakat Eropa perlu dipertanyakan apakah dapatditerapkan untuk interpretasi
masyarakat budaya lain.
C.
Budaya
dan Perkembangan Kepribadian
Kepribadian manusia selalu berubah sepanjang hidupnya dalam
arah-arah karakter yang lebih jelas dan matang. Perubahan-perubahan tersebut
sangat dipengaruhi lingkungan dengan fungsi–fungsi bawaan sebagai dasarnya.
Stern menyebutnya sebagai Rubber Band Hypothesis (Hipotesa Ban Karet).
Seseorang diumpamakan sebagai ban karet dimana faktor-faktor genetik menentukan
sampai mana ban karet tersebut dapat ditarik (direntangkan) dan faktor
lingkungan menentukan sampai seberapa panjang ban karet tersebut akan ditarik
atau direntangkan. Dari hipotesa di atas dapat disimpulkan bahwa budaya memberi
pengaruh pada perkembangan kepribadian seseorang. Perubahan-perubahan yang
terjadi pada seorang anak yang tinggal bersama orangtua ketika beranjak dewasa
tentunya sangat berbeda dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada anak yang
tinggal di panti asuhan.
Kepribadian manusia selalu berubah sepanjang hidupnya dalam
arah-arah karakteryang lebih jelas dan matang. Hasil penelitian ternyata
menunjukkan temuan yang berbeda. Perdebatan diawali oleh Gautman (1976, dalam
Price, 2002) yang menyatakan bahwa sesungguhnya ada sebuah keurutan (sequence)
yang universal dalam perkembangan kepribadian manusia.
Untuk membuktikan keyakinannya, Gutman melakukan
perbandingan study pada orang-orang dewasa dari Indian Maya Meksiko. Ia
mengambil subjek paralelaki dewasa dari suku ini, yang usianya berkisar antara
30 hingga 90 tahun. Gutman memfokuskan penelitiannya pada pandangan para
responden mengenai masa depan dan bagaimana peran seharusnya dari seorang tua.
Pertanyaan yang diajukan adalah apakah yang membuat mereka
bahagia. Kesimpulan umum ditarik Gutman dari serangkain penelitiannya adalah
adanya perubahan-perubahan kepribadian ditinjua dari semakin bertambahnya usia
dimana perubahan-perubahan tersebut ditemukan sama antara responden Amerika
dengan responden Indian Maya. Semakin bertambahnya tua seseorang tampak semakin
pasif, motivasi berprestasi dan kebutuhan otonomi semakin turun, dan locus of
control dirinya semakin mengara ke luar (eksternal).
Selain itu, perkembangan kepribadian seseorang dipengaruhi
pula oleh semakin bertambahnya usia seseorang. Semakin bertambah tua seseorang,
tampak semakin pasif, motivasi berprestasi dan kebutuhan otonomi semakin turun,
dan locus of control dirinya semakin mengarah ke luar (eksternal).
D.
Budaya
dan Indigenous Personality
Kebanyakan teori
kepribadian merupakan hasil dari tradisi keilmuan yang ‘pribumi’ untuk budaya
urban-industrial Barat, sehingga dapat menjadi
pondasi psikolog bukan-Barat dalam membuat kajian-kajian. Namun ada juga teori
kepribadian yang bukan berdasar pada tradisi, melainkan merefleksikan
keberadaan manusianya. Beberapa kepribadian merupakan hasil rekonstruksi berdasarkan
budaya-budaya. Meski demikian, kepribadian tersebut masih diwarnai oleh
pengaruh-pengaruh Barat disamping wawasan-wawasan otentik penulisnya. Beberapa
kepribadian tersebut antara lain: Kepribadian Afrika, Amae di Jepang dan
Konsepsi India.
Berbagai persoalan mendasar yang muncul dalam kajian
kepribadian dapat ditinjau melalui lintas budaya, menggambarkan sebuah
pernyataan bahwa antar budaya yang berbeda sangat mungkin secara mendasar
memiliki pandangan yang berbeda mengenai apa tepatnya kepribadian itu. Suatu
kajian kepribadian yang bersifat lokal atau indigenous personality.
Konseptualisasi mengenai kepribadian yang dikembangkan dalam sebuah budaya
tertentu dan relevan hanya pada budaya tertentu tersebut.
Di Indonesia sendiri kajian mengenai indigenous personality
(kepribadian pribumi) telah diawali oleh Darmanto Jatman (1997).
Dalam bukunya Psikologi Jawa, Jatman menemukan adanya profil
kepribadian manusia Jawa yang memandang jiwanya adalah sebagai rasa. Rasa ini
terbagi atas tiga, yaitu: rasa subjek, rasa objek, dan rasa pertemuan
subjek-objek. Ketiganya dilahirkan oleh rasa yaitu rasa hidup.
Penguasaan dan pengendalian terhadap pikiran untuk
membuatnya tertuju pada satu obyek, dengan mengalihkan indera dari obyek-obyek
kenikmatan (badaniah) dan bertahan dalam penderitaan merupakan satu-satunya
jalan mencapai diri terdalam. Sebaliknya, dalam budaya timur, kebertalian,
kesaling terhubungan dan saling ketergantungan merupakan landasan konsep diri
yang tak terpisah dan selalu terkait dengan orang lain dan lingkungan luar.
Pribadi dilihat sebagai sebuah “keseliruhan” dari individu dengan unit
sosialnya.
E.
Budaya
dan Konsep Diri
Diri merupakan sosok
pribadi yang berasal dari hasil konstruksi budaya. Penelitian pada orang India
di negara bagian Orissa menyatakan bahwa pribadi merupakan hal yang terjelma
karena relasi sosial dan dilukiskan menurut relasi sosial pula.
Konsepsi Barat
menyebutkan bahwa diri adalah individu yang terpisah, otonom, dan atomis
(terbentuk dari seperangkat sifat, kemampuan, nilai dan motif yang pilah),
dengan mencari keterpisahan dan ketaktergantungan dari orang lain. Sementara
dari Budaya Timur menggambarkan bahwa diri merupakan konsep yang selalu terkait
dengan orang lain (merujuk pada konsep relasi, koneksi, dan ketergantungan).
Triandis (1989, dalam
Psikologi Lintas Budaya, hlm. 189) menguji tiga aspek diri, yakni privat,
publik dan kolektif yang ditampilkan dalam tiga mantra variasi budaya
(individualisme-kolektivisme, keketatan-kelonggaran, dan kompleksitas budaya).
Ia menarik kesimpulan bahwa makin individualistik suatu budaya, makin sering
terjadi sampling (ketertujuan informasi yang relevan bagi diri) terhadap diri
privat dan kurangnya sampling pada diri kolektif. Ia menambahkan bahwa makin
kompleks suatu budaya, makin sering terjadi sampling terhadap diri privat
maupun publik. Alasannya adalah pengasuhan anak, faktor ekologis, dan budaya
lain.
Yang dimaksud konsep diri pada kajian lintas budaya ini adalah oganisasi
dari persepsi-persepsi diri (Burns, 1979). Organisasi dari bagaimana kita
mengenal, menerima dan menilai diri kita sendiri. Suatu deskripsi mengenai
siapa kita, mulai dari identitas fisik, sifat, hingga prinsip.
Berfikir mengenai bagaimana mempersepsi diri, dalam
percakapan awam, adalah bagaimana seseorang memberi gambaran mengenai sesuatu
(hubungan dengan orang lain, etos kerja, atau sifat kepribadiannya misalnya)
pada dirinya. Selanjutnya label akan sesuatu dalam diri tersebut digunakan
sekaligus untuk mendeskripsikan karakter dirinya.
Dalam masyarakat barat, diri dilihat sebagai sejumlah
atributinternal meliputi: kebutuhan, kemampuan, motif dan prinsip-prinsip.
Setiap individu membawa atribut-atributtersebut dan menggunakannya sebagai
pemandu dalam setiap tindakan dan pikirannya didalam setiap situasi sosial yang
berbeda.
Dua kontinum yang sering dilakukan untuk mempermudah studi
mengenai konsep diri dalam lintas budaya adalah konstruk diri individual dengan
diri kolektif atau dalam bahasa Matsumoto disebut Independent Construal of Self
dan Interdependent Construal of Self.
1. Diri
Individual
/Independent Construal of Self
Diri individual adalah diri yang fokus pada atribut internal
yang sifatnya personal-kemampuan individual, inteligensi, sifat kepribadian,dan
pilihan-pilihan individual. Diri adalah terpisah dari orang lain dan
lingkungan. Dalam istilah Matsumoto (1996) disebut konstruk diri yang
tergantung (Independent Construal of Self).
Dalam kerangka budaya ini, nilai akan kesuksesan
dan perasaan akan harga diri mengambil bentuk khas individualisme. Ketika
individu sukses untuk melaksanakan tugas budaya, tidak tergantung pada orang
lain, maka mereka lebih puas akan diri mereka dan harga diri mereka meningkat
seiringnya. Keberhasilan individu adalah berkata usaha keras dari indiidu
tersebut, dan diri serta masyarakatnya sangat menghargai keberhasilannya karena
individu tersebut mampu menggapainya tanpa bantuan orang lain.
2. Diri
Kolektif/
Interdependent Construal of Self.
Budaya yang menekankan nilai diri kolektif sangat khas
dengan ciri perasaan akan keterkaitan antar manusia satu sama lain, bahkan
antar dirinya sebagai mikro kosmos dengan lingkungan di luar dirinya sebagai
makro kosmos. Tugas normatif utama pada budaya ini adalah bagaimana individu
memenuhi dan memelihara katerikatannya dengan individu lain.Tugas normatif
depanjang sejarah adalah mendorong saling ketergantungan satu sama lain.
Individu fokus pada status keterakitan mereka dan
penghargaan serta tanggung jawab sosialnya. Aspek terpenting dalam pengalaman
kesadaran adalah intersubjective, saling terhubung antar personal.
Antar
satu individu dengan individu lain dalam budaya dengan diri kolektif, misalnya
memiliki derajat kekolektifitasan yang tidak sama. Bagaimana individu melihat
keberhasilannya, siapa yang menentukan, dan bagi siapa keberhasilannya
tersebut, apakah oleh dan untuk individu, ataukah oleh dan untuk kolektif,
derajatnya antar individu adalah tidak sama.
DAFTAR
PUSTAKA
Matsumoto, David. 2008. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta : Pustaka Belajar.
Dayakisni, Tri & Salis Yuniardi.
2008. Edisi Revisi Psikologi Lintas
Budaya. Malang: UMM Press.
Berry, Jhon., W. at all. 1999. Psikologi
Budaya Riset Dan Aplikasi (Alih Bahasa Edi Suhadono ). Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama
Segall, M.H., Dasen, P.R., Berry, J.W., &
Portinga, Y.H. 1990. Human Behavior in
Global Perspective: An Introduction to Cross-Cultural Psychology. NY:
Pergamon Series.
SITUS
WEB:
No comments :
Post a Comment