BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
PUASA
1.
Pengertian Puasa
Secara etimologi, puasa (as-shaum)
berarti menahan diri. Puasa berarti meninggalkan dan menahan, yaitu
meninggalkan dan menahan sesuatu yang mubah (halal), seperti nafsu perut dan
nafsu seks dengan niat mendekatkan diri pada Allah SWT. Selain itu menurut Imam
Al Ghazali puasa dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu: Pertama, puasa biasa
adalah menahan diri dari makan, minum dan hubungan biologis antara suami isteri
dalam jangka waktu tertentu. Kedua, puasa khusus yaitu menjaga telinga, mata,
lidah serta kaki dan juga anggota badan lainnya dari berbuat dosa. Ketiga,
puasa sangat khusus yaitu menjaga hati dengan mencegah memikirkan
perkara-perkara yang hina dan duniawi, yang ada hanya mengingat Allah dan
akhirat. (Al-Ghazali, 1997:77).
Dalam hal ini secara tegas perintah
puasa berdasarkan Al-Qur'an maupun Hadist Rasulullah Muhammad SAW. Adapun dasar
hukum puasa Ramadhan terdapat dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah 183,
yang artinya sebagai berikut:
“Hai
orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”
Dimana Perintah wajib puasa turun
pada bulan Sya’ban Tahun ke-2 (kedua) Hijrah. Puasa dibulan Ramadhan telah
difardukan oleh Allah SWT di kota madinah Munawwarah. Telah berkata Imam
Az-Zarqani “kewajipan puasa di bulan Ramadhan ini telah turun pada malam ke-2
bulan Sya‟ban iaitu pada tahun yang ke-2 sesudah hijrah Nabi. Walaupun
kita ketahui Rasullulah Muhammad SAW hanya sempat berpuasa penuh di bulan Ramadhan
ini di antara tahun 2 Hijrah–10 Hijrah saja (8 kali), namun Rasullulah Muhammad
SAW telah merubah kehidupan manusia dengan puasa pada waktu ini sebagai ibadah.
Dalam hal ini bulan Ramadan adalah satu-satunya bulan yang di sebut oleh Allah
SWT di dalam Al-Quran. Penyebutan kalimah Ramadhan ini disebut manakala
bulan-bulan yang lain tidak disebutkan dalam Al-Quran walaupun hanya sekali.
Inilah pengikhtirafan Allah SWT terhadap bulan ini.
Puasa meningkatkan kualitas hidup
Muslim, baik secara pribadi maupun bersama: membuahkan ketakwaan kepada Allah
SwT. Keberhasilan puasa tidaklah sempurna dengan genapnya seseorangberpuasa
sebulan lamanya, dan memenuhi kewajiban zakat fitrah di akhir Ramadian. Imam
Al-Ghazali berkata, "Puasa awam bernilai biasa; puasa orang khusus
bernilai bagus; puasa orang khusus dari yang khusus bernilai istimewa,
karenaseluruhjiwa raga: hati, pikiran dan perasaan terkendali.
Puasa menggembleng rohani untuk
tabah dan sabar menghadapi cobaan, mampu menahan amarah, mengendalikan hawa
nafsu dari kesenangan hidup sementara, jujur, berdisiplin waktu dalam kerja dan
setia kepada janji. Puasa dikatakan berhasil dan mencapai sasarannya jika
sesudahnya Muslim mencerminkan sikap dan kelakuan yang terpuji. Dari segi
kejiwaan: patuh dan disiplin terhadap peraturan, dapat menguasai diri, tekun,
sabar dan tahan menghadapi derita. Dari segijasmani: kesehatan terjaga; teratur
dan dalam batas-batas tertentu dalam makan, minum, bekerja dan istirahat. Dari
segi kemasyarakatan: Muslim mengerti penderitaan orang miskin dan rela membagi
kelebihan harta.
Puasa meningkatkan kesetiakawanan
sosial, kerelaan berkorban untuk kepentingan dan kemaslahatan bersama,
mempersatukan potensi untuk menegakkan bangunan sosial atas landasan keimanan
dan ketakwaan kepada Allah SwT. Rasulullah saw bersabda,
"Umatku akan tetap dalam kebalkan sepanjang mereka
menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah perbuatan munkar serta
bertolong-menolong dalam kebajikan. Kalau mereka tidak melaksanakan, maka
dicabutlah berkah dari mereka, lalu sebagian dari mereka akan menindas sebagian
yang lain, tanpa ada seorang penolong pun,
baik dibumi maupun dilangit. "Di dalam surga terdapat bilik-bilik
yang tampak jelas dari luar ke dalam dan dari dalam ke luar." Para sahabat
bertanya, "Untuk siapakah itu ya Rasulullah?" Rasulullah menjawab,
"Kamar-kamar itu buat orang yang berkata-kata baik, memberi makan, selalu
berpuasa dan melakukan shalat malam ketika orang lain nyenyak tidur." (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Al-
Baihagi).
2.
Rukun dan Syarat Puasa
Rukun puasa yaitu
menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dari sejak terbitnya fajar
sampai terbenamnya matahari.
Sedangkan syarat puasa
ada dua, yaitu:
a. Syarat
Wajib puasa
ü Muslim,
orang yang beragama Islam
ü Mummayiz,
orang yang sudah dewasa (baligh) dan berakal (aqil)
ü kuat
berpuasa (qadir)
b. Syarat
sah puasa
ü Bagi
wanita, harus suci dari haid, nifas ataupun walidah
ü Dikerjakan
pada hari yang diperbolehkan untuk puasa
3.
Adab-Adab
dalam Berpuasa
Berikut ini akan di jelaskan
mengenai adab dalam berpuasa, diantaranya sebagai berikut.
a. Niat
karena Allah semata
b. Makan
sahur.
Waktu makan sahur yang
disunahkan dan paling baik menurut nabi Muhammad saw yaitu di akhir malam.
c. Menjauhi
hal-hal yang dapat membatalkan atau mengurangi nilai puasa.
Ada beberapa hal yang
dapat membatalkan puasa kita, diantaranya:
-
Makan dan minum dengan sengaja di waktu
siang Ramadhan
Allah swt berfirman dalam surat Al-Baqarah: 187 sebagai berikut
".....dan makan minumlah
hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar……”
Dan Rasulullah saw bersabda:
“Diriwayatkan
dari Samurah bin Jundub, ia menyatakan bahwa Rasulullah saw bersabda :
“janganlah sekali-kali mencegah kamu dari sahurmu, adzan Bilal dan fajar yang
melintang pada cakrawala.”
(HR. Muslim, Ahmad dan Tirmidzi)
-
Melakukan hubungan seksual
Sebagaimana firman
Allah dalam surat Al-BAqarah ayat 187 yakni:
“Dihalalkan
bagi kamu pada malam hari bulan puasa
bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun
adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu.
Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah
puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka
itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah
kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia,
supaya mereka bertakwa. (QS. Al-Baqarah : 187)
-
Muntah dengan sengaja
-
Keluar darah haid atau nifas sebagai konsekuensi
dari syarat sahnya puasa.
-
Gila saat sedang berpuasa
Hal-hal yang dapat
mengurangi nilai puasa adalah mengerjakan hal-hal yang di benci oleh Allah swt.
seperti bertengkar, berkata jorok, berperilaku curang dan lain-lain.
d. Berbuka
puasa dengan segera
Rasulullah saw bersabda
sebagai berikut:
“
Orang akan tetap baik selagi mereka cepat-cepat berbuka” (HR. Bukhari dan
Muslim)
e. Berbuka
dengan makanan dan minuman yang manis-manis dan jangan berlebihan.
Maksudnya ialah bila
matahari telah tenggelam, maka segeralah berbuka dengan memakan kurma dan bila
tidak ada maka cukup dengan air dan berdoalah sesudah itu: “Dzahabadh dhamau wabtallatil ‘uru-qu wa
tsabatal ajru insya Allah” yang artinya: “semoga haus lenyap, urat-urat segar
dan tetap berpahala, insya Allah!“ (HR. Abu Dawud)
f. Memberikan
makanan berbuka bagi orang yang berpuasa
g. Shalat
berjamaah di masjid. Usahakan shalat
fardu dan shalat tarawih secara berjamaah di masjid.
h. Lakukan
amalan-amalan utama di bulan ramadhan, yaitu:
ü Shalat
tarawih berjamaah
Bagi laki-laki, shalat
tarawih akan lebih utama dilaksanakan di masjid secara berjamaah. Dan wanita
muslimah diperbolehkan untuk melaksanakan shalat tarawih di masjid jika aman
dari fitnah. Rasulullah saw pernah bersabda:
“Janganlah
kalian melarang wanita untuk mengunjungi masjid-masjid Allah”. (HR. Bukhari)
Namun demikian, wanita
di haruskan untuk berhijab ( memakai busana muslimah), tidak mengeraskan
suaranya, tidak menampakkan perhiasan-perhiasannya, tidak memakai wangi-wangian
yang terlalau mencolok, dan keluar dengan izin (ridha) suami atau orang tua. Shaf
wanita berada di belakang shaf pria dan sebaik-baiknya shaf wanita adalah shaf
yang di belakang (HR. Muslim). Tapi jika wanita pergi ke masjid hanya untuk
shalat, tidak untuk yang lainnya, seperti mendengarkan pengajian, mendengarkan
bacaan Al-Qur’an (yng dialunkan dengan baik), maka shalat di rumahnya adalah
lebih afdol.
ü Tadarus
Al-Quran
ü Dzikir/Do’a
ü Perbanyak
shadaqah di bulan Ramadhan
ü Pada
sepuluh malam terakhir hendaknya lebih mengencangkan ibadah kita kepada Allah
SWT dengan cara beri’tikaf (berdiam) di masjid untu berdzikir dan berpikir
(tafakkur) sampai magrib malam ‘Idul Fitri.
4.
Macam-Macam
Puasa
Di tinjau dari segi
hukumnya, puasa dibagi menjadi empat macam, yaitu:
a.
Puasa
Wajib
§ Puasa
Ramadhan yaitu puasa selama satu bulan penuh di bulan ramadhan.
Puasa di bulan Ramadhan adalah
menahan sesuatu dari makan, minum dan bersetubuh di siang hari disertai dengan
niat di bulan Ramadhan. Sedangkan secara istilah puasa berarti menahan diri
dengan sengaja dari makan, minum dan bersetubuh dan segala hal yang membatalkan
puasa sehari penuh dari terbit fajar hingga terbenam matahari untuk menjalankan
perintah Allah SWT dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Sahabat Mu'adz bin Jabal RA berkata, 'Ketika saya menyertai
Rasulullah dalam suatu perjalanan, beliau bersabda, "Wahai Mu'adz, maukah
engkau kutunjuki pintu- pintu kebaikan?" Saya menjawab, 'Mau ya
Rasulullah.'Lalu beliau bersabda,"Puasa itu perisai, yakni dari perbuatan
maksiat dan dari apineraka, dan shadaqah
menghapuskan kesalahan, sebagaimana air
memadamkan api." (HR. Tirmidzi).
Rasulullah pernah bersabda sebagai berikut:
"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian puasa Ramadlan dan disunatkan bagi kalian
melaksanakan shalat tarawih pada malam harinya. Barang siapa berpuasa dan menunaikan shalat tarawih atas dasar iman dan
mengharapkan kebaikan dari Allah, maka ia keluar dari dosa-dosanya seperti pada
hari ketika la dilahirkan oleh ibunya”. (An-Nasa'i dan Ahmad)
Rasulullah saw juga bersabda:
“Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:
Allah telah berfirman Semua amai perbuatan anak Adam untuk dirinya, kecuali
puasa, maka la untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Puasa itu
perisai, make jika seseorang sedang berpuasa, janganlah berkata keji atau ribut-ribut dan kalau seseorang
mencaci maki, atau mengajak berkelahi make hendaknya berkata: Aku berpuasa.
Demi Allah yang jiwaku ada ditangan-Nya, bau mulut orang yang berpuasa begi
Allah lebih harum daripada bau minyak kasturi. Orang yang berpuasa memiliki dua
kegembiraan, yaitu kotika berbuka puasa dan kotika la menghadap kepada
Tuhannya; gembira karena puasanya “( HR. Bukhari & Muslim).
Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda Siapa
yang berpuasa Ramadlan karena iman dan
mengharap pahala dari Allah, maka diampunilah dosa nya yang telah lalu “(HR. Bukhari & Muslim)
Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: Jika
bulan Ramdlan tiba, maka dibukalah pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu
neraka, dan di belenggulah semua setan (Bukhari & Muslim).
§ Puasa Qadla’
yaitu puasa yang dilaksanakan untuk mengganti kewajiban puasa yang di
tinggalkan pada bulan Ramadhan. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al Baqarah
ayat 183-185 sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertaqwa, (yaitu)
dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan
hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu
ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu
dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur.
§ Puasa Kifarat (tebusan)
Allah berfirman :
“Allah
tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah),
tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka
kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin,
yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi
pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak
sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang
demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu
langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu
hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).”
(QS. Al-Maa’idah : 89)
§ Puasa Nadzar
yaitu puasa yang kewajibannya ditimbulkan oleh diri kita sendiri.
Nazar yaitu janji untuk melakukan sesuatu kebaktian
terhadap Allah s.w.t. untuk mendekatkan diri kepada-Nya baik dengan syarat
ataupun tidak, sebagimana firman Allah berikut ini.
“Apa saja yang kamu
nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya. Orang-orang yang berbuat zalim tidak ada seorang penolong pun
baginya.” (QS. Al-Baqarah : 270)
Sebagaimana firman Allah dalam surah Maryam
ayat 26 sebagai berikut:
“Maka
makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia,
maka katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan
Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada
hari ini".
b.
Puasa
Sunnah
§ Puasa enam hari di bulan Syawal
Puasa Syawal sudah disebutkan dalil
dan keutamaannya dalam hadits Abu Ayyub Al Anshori berikut, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa
yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia
berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).
Dalil di atas menjadi pegangan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad
serta Daud bahwa puasa Syawal itu dihukumi sunnah. Sedangkan Imam Malik dan Imam Abu
Hanifah menganggapnya makruh. Bahkan Imam Malik menyebutkan dalam kitabnya Al
Muwatho‘, “Aku tidak pernah melihat seorang ulama pun melakukan puasa
Syawal”. Mereka sampai berpendapat demikian karena khawatir akan wajibnya.
Sedangkan pendapat dalam madzhab Syafi’i bersesuaian dengan
hadits tegas di atas. Sebagaimana kata Imam Nawawi rahimahullah, “Pendapat
dalam madzhab Syafi’i yang menyunnahkan puasa Syawal didukung dengan dalil
tegas ini. Jika telah terbukti adanya dukungan dalil dari hadits, maka pendapat
tersebut tidaklah ditinggalkan hanya karena perkataan sebagian orang. Bahkan
ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah ditinggalkan walau
mayoritas atau seluruh manusia menyelisihinya. Sedangkan ulama yang khawatir
jika puasa Syawal sampai disangka wajib, maka itu sangkaan yang sama saja bisa
membatalkan anjuran puasa ‘Arafah, puasa ‘Asyura’ dan puasa sunnah lainnya.” (Syarh
Shahih Muslim, 8: 51)
Pendapat Imam Nawawi di atas mengajarkan kita untuk
berpegang teguh dengan sabda Rasul dan bila ada perkataan para ulama yang
berseberangan dengan ajaran Rasul, maka perkataannya-lah yang ditinggalkan.
Penjelasan di atas sekaligus menunjukkan bahwa puasa Syawal tidaklah makruh,
namun termasuk sunnah yang dianjurkan yang sudah selayaknya yang menjalani
puasa Ramadhan melakukannya.
§ Puasa senin dan kamis
Keutamaannya bisa menghapus kesalahan dan meninggikan
derajat, serta memang dua hari tersebut adalah saat amalan diangkat di hadapan
Allah sehingga sangat baik untuk berpuasa saat itu.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- كَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menaruh
pilihan berpuasa pada hari Senin dan Kamis.” (HR. An Nasai no. 2362 dan
Ibnu Majah no. 1739. All Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Usamah bin Zaid berkata,
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ
تَصُومُ حَتَّى لاَ تَكَادَ تُفْطِرُ وَتُفْطِرُ حَتَّى لاَ تَكَادَ أَنْ تَصُومَ
إِلاَّ يَوْمَيْنِ إِنْ دَخَلاَ فِى صِيَامِكَ وَإِلاَّ صُمْتَهُمَا. قَالَ « أَىُّ
يَوْمَيْنِ ». قُلْتُ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ. قَالَ « ذَانِكَ
يَوْمَانِ تُعْرَضُ فِيهِمَا الأَعْمَالُ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ
أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِى وَأَنَا صَائِمٌ
“Aku berkata pada Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
“Wahai Rasulullah, engkau terlihat berpuasa sampai-sampai dikira tidak ada
waktu bagimu untuk tidak puasa. Engkau juga terlihat tidak puasa, sampai-sampai
dikira engkau tidak pernah puasa. Kecuali dua hari yang engkau bertemu
dengannya dan berpuasa ketika itu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya, “Apa dua hari tersebut?” Usamah menjawab, “Senin dan Kamis.”
Lalu beliau bersabda, “Dua hari tersebut adalah waktu dihadapkannya amalan
pada Rabb semesta alam (pada Allah). Aku sangat suka ketika amalanku dihadapkan
sedang aku dalam keadaan berpuasa.” (HR. An Nasai no. 2360 dan Ahmad 5:
201. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَوْمَ
الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِى وَأَنَا صَائِمٌ
“Berbagai amalan dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin
dan Kamis, maka aku suka jika amalanku dihadapkan sedangkan aku sedang
berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 747.
At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib.
Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih lighoirihi yaitu shahih
dilihat dari jalur lainnya).
Dari Abu Qotadah Al Anshori radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, lantas beliau
menjawab,
ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ
بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ
“Hari
tersebut adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus atau diturunkannya wahyu
untukku.” (HR. Muslim no. 1162)
Keutamaan hari Senin dan Kamis secara umum dijelaskan dalam
hadits Abu Hurairah berikut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ
الاِثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لاَ يُشْرِكُ
بِاللَّهِ شَيْئًا إِلاَّ رَجُلاً كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ
فَيُقَالُ أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى
يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا
“Pintu
surga dibuka pada hari Senin dan kamis. Setia hamba yang tidak berbuat syirik
pada Allah sedikit pun akan diampuni (pada hari tersebut) kecuali seseorang
yang memiliki percekcokan (permusuhan) antara dirinya dan saudaranya. Nanti
akan dikatakan pada mereka, akhirkan urusan mereka sampai mereka berdua
berdamai, akhirkan urusan mereka sampai mereka berdua berdamai.” (HR.
Muslim no. 2565).
§ Puasa Arafah
yaitu puasa pada hari arafah tanggal 9 dzulhijah.
Puasa ini memiliki keutamaan yang semestinya tidak
ditinggalkan seorang muslim pun. Puasa ini dilaksanakan bagi kaum
muslimin yang tidak melaksanakan ibadah haji.
Dari Abu Qotadah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ
عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى
بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ
السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
“Puasa Arofah (9 Dzulhijjah) dapat menghapuskan dosa
setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan
menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim no. 1162)
Imam Nawawi dalam Al Majmu’ (6: 428) berkata, “Adapun
hukum puasa Arafah menurut Imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyah: disunnahkan
puasa Arafah bagi yang tidak berwukuf di Arafah. Adapun orang yang sedang
berhaji dan saat itu berada di Arafah, menurut Imam Syafi’ secara ringkas dan
ini juga menurut ulama Syafi’iyah bahwa disunnahkan bagi mereka untuk tidak
berpuasa karena adanya hadits dari Ummul Fadhl.”
Ibnu Muflih dalam Al Furu’ -yang merupakan kitab
Hanabilah- (3: 108) mengatakan, “Disunnahkan melaksanakan puasa pada 10 hari
pertama Dzulhijjah, lebih-lebih lagi puasa pada hari kesembilan, yaitu hari
Arafah. Demikian disepakati oleh para ulama.”
Adapun orang yang berhaji tidak disunnahkan untuk
melaksanakan puasa Arafah.
عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ بِنْتِ
الْحَارِثِ أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِي صَوْمِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ
وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ
وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيرِهِ فَشَرِبَهُ
“Dari
Ummul Fadhl binti Al Harits, bahwa orang-orang berbantahan di dekatnya pada
hari Arafah tentang puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian
mereka mengatakan, ‘Beliau berpuasa.’ Sebagian lainnya mengatakan, ‘Beliau
tidak berpuasa.’ Maka Ummul Fadhl mengirimkan semangkok susu kepada beliau,
ketika beliau sedang berhenti di atas unta beliau, maka beliau meminumnya.”
(HR. Bukhari no. 1988 dan Muslim no. 1123).
عَنْ مَيْمُونَةَ – رضى الله عنها –
أَنَّ النَّاسَ شَكُّوا فِى صِيَامِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ
عَرَفَةَ ، فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِحِلاَبٍ وَهْوَ وَاقِفٌ فِى الْمَوْقِفِ ،
فَشَرِبَ مِنْهُ ، وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ
“Dari
Maimunah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa orang-orang saling
berdebat apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari
Arafah. Lalu Maimunah mengirimkan pada beliau satu wadah (berisi susu) dan
beliau dalam keadaan berdiri (wukuf), lantas beliau minum dan orang-orang pun
menyaksikannya.” (HR. Bukhari no. 1989 dan Muslim no. 1124).
Mengenai
pengampunan dosa dari puasa Arafah, para ulama berselisih pendapat.
Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah dosa kecil. Imam Nawawi rahimahullah
mengatakan, “Jika bukan dosa kecil yang diampuni, moga dosa besar yang
diperingan. Jika tidak, moga ditinggikan derajat.” (Syarh Shahih Muslim,
8: 51) Sedangkan jika melihat dari penjelasan Ibnu Taimiyah rahimahullah,
bukan hanya dosa kecil yang diampuni, dosa besar bisa terampuni karena hadits
di atas sifatnya umum. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 7: 498-500).
§ Puasa Asyura
yaitu puasa pada hari ke sepuluh (tanggal 10) bulan Muharam (HR Muslim, dari
Abu Qatadah).
Puasa ‘asyuro adalah puasa sunah yang dilakukan pada tanggal
10 pada bulan Muharram.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ يَرْفَعُهُ قَالَ سُئِلَ أَيُّ الصَّلَاةِ أَفْضَلُ بَعْدَ الْمَكْتُوبَةِ
وَأَيُّ الصِّيَامِ أَفْضَلُ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ فَقَالَ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ
بَعْدَ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ الصَّلَاةُ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ وَأَفْضَلُ
الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ صِيَامُ شَهْرِ اللَّهِ الْمُحَرَّمِ
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw ditanyalah: “Shalat manakah
yang lebih utama setelah shalat fardhu?”, beliau menjawab: “Yaitu shalat di
tengah malam.” Ia menanyakan lagi: “Puasa manakah yang lebih afdhal?”, beliau
menjawab : ” Puasa pada bulan Allah yang kamu namakan bulan Muharram”. (HR Bukhari dan
Muslim dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan)
Puasa ‘asyuro ini memang dijadikan amalan oleh ummat sebelum
Nabi saw. Dalam hadis-hadis lain diterangkan bahwa puasa ‘asyuro adalah puasa
yang biasa dilakukan oleh Bani Israil sebagai rasa syukur kepada Allah
atas pertolonganNya, Nabi Musa dan kaumnya selamat dari ancaman Fir’aun. Ketika
hal itu disampaikan kepada Rasulullah beliau mengatakan:
سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُا حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ
الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ
الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
“Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: ketika
Rasulullah saw berpuasa pada bulan ‘asyuro, para sahabat bertanya “Ya
Rasulullah sesungguhnya hari ini adalah hari dimuliakannya orang-orang Yahudi
dan Nashrani? Lalu beliau bersabda: ”Apabila tahun mendatang tiba, Insya Allah
kita berpuasa pada hari yang kesembilan”. Namun sebelum sampai tahun yang
ditunggu, Rasulullah telah wafat. (HR. Ibnu ‘Abbas)
Oleh karena itu para ulama bersepakat bahwa puasa ‘asyuro
dibagi menjdi tiga tingkatan:
1) Puasa yang dilaksanakan pada tanggal
9,10 dan 11 bulan Muharram.
2) Puasa yang dilaksanakan pada tanggal
9 dan 10 bulan Muharram.
3) Puasa pada tanggal 10 Muharram
seperti termaktub dalam hadis Abu Hurairah maupun Mu’awiyah.
c.
Puasa
Makruh
§ Puasa sepanjang masa/seumur hidup (shaum
al-dahr)
Yang dimaksud puasa
Dahr adalah berpuasa setiap hari selain hari yang tidak sah puasa ketika itu
(yaitu hari ‘ied dan hari tasyriq). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ صَامَ مَنْ صَامَ
الأَبَدَ لاَ صَامَ مَنْ صَامَ الأَبَدَ لاَ صَامَ مَنْ صَامَ الأَبَدَ
“Tidak ada puasa
bagi yang berpuasa setiap hari tanpa henti. Tidak ada puasa bagi yang berpuasa
setiap hari tanpa henti. Tidak ada puasa bagi yang berpuasa setiap hari tanpa
henti.” (HR. Muslim no. 1159, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash)
Hadits di atas
menunjukkan terlarangnya berpuasa setiap hari tanpa henti walaupun tidak ada
kesulitan dan tidak lemas ketika melakukannya. Begitu pula tidak boleh berpuasa
setiap hari sampai-sampai melakukannya pada hari yang terlarang untuk berpuasa.
Yang terakhir ini jelas haramnya. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 144.
Yang paling maksimal
adalah melakukan puasa Daud yaitu sehari berpuasa dan sehari berbuka. Inilah
rukhsoh (keringanan) terakhir bagi yang ingin terus berpuasa. Hadits larangan
puasa Dahr tadi asalnya ditujukan pada Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash. Namun
sebagaimana disebutkan dalam riwayat Muslim bahwa di akhir hidupnya Abdullah
bin ‘Amr menjadi lemas karena kebiasaannya melakukan puasa Dahr. Ia pun
menyesal karena tidak mau mengambil rukhsoh dengan cukup melakukan puasa Daud.
(Syarh Shahih Muslim, 8: 40).
§ Puasa Wishal
yaitu puasa terus-menerus, misalnya puasa selama dua hari berturut-turut tanpa
sahur dan buka.
Untuk melakukan wishal
dengan tidak makan hingga hari berikutya dan melanjutkan puasa, dihukumi
terlarang. Namun masih diberi keringanan hingga waktu sahur.
وَعَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: – نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله
عليه وسلم – عَنِ اَلْوِصَالِ, فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اَلْمُسْلِمِينَ: فَإِنَّكَ
يَا رَسُولَ اَللَّهِ تُوَاصِلُ? قَالَ: ” وَأَيُّكُمْ مِثْلِي? إِنِّي أَبِيتُ
يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِينِي “. فَلَمَّا أَبَوْا أَنْ يَنْتَهُوا عَنِ
اَلْوِصَالِ وَاصَلَ بِهِمْ يَوْمًا, ثُمَّ يَوْمًا, ثُمَّ رَأَوُا اَلْهِلَالَ,
فَقَالَ: ” لَوْ تَأَخَّرَ اَلْهِلَالُ لَزِدْتُكُمْ ” كَالْمُنَكِّلِ لَهُمْ
حِينَ أَبَوْا أَنْ يَنْتَهُوا – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang dari puasa wishal. Ada seorang muslim yang menyanggah Rasul, “Sesungguhnya
engkau sendiri melakukan puasa wishal?” Rasul pun memberikan jawaban, “Siapa
yang semisal denganku? Sesungguhnya aku di malam hari diberi makan dan minum
oleh Rabbku.” Lantaran mereka tidak mau berhenti dari puasa wishal, Nabi
berpuasa wishal bersama mereka kemudian hari berikutnya lagi. Lalu mereka
melihat hilal, beliau pun berkata, “Seandainya hilal itu tertunda, aku akan
menyuruh kalian menambah puasa wishal lagi.” Maksud beliau menyuruh mereka
berpuasa wishal terus sebagai bentuk hukuman bagi mereka karena enggan berhenti
dari puasa wishal. (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 1965 dan Muslim
no. 1103)
§ Puasa pada hari jum’at dan sabtu
saja
Tidak boleh berpuasa
pada Jum’at secara bersendirian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
لاَ يَصُمْ أَحَدُكُمْ
يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلاَّ أَنْ يَصُومَ قَبْلَهُ أَوْ يَصُومَ بَعْدَهُ
“Janganlah salah
seorang di antara kalian berpuasa pada hari Jum’at kecuali jika ia berpuasa
pada hari sebelum atau sesudahnya.” ( HR. Bukhari no. 1985 dan Muslim no.
1144, dari Abu Hurairah). Imam Nawawi rahimahullah membawakan hadits ini di
Shahih Muslim dalam Bab “Terlarang berpuasa pada hari Jum’at secara
bersendirian.”
Dari Juwairiyah binti
Al Harits –radhiyallahu ‘anha-, ia mengatakan,
أَنَّ النَّبِىَّ
– صلى الله عليه وسلم – دَخَلَ عَلَيْهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَهْىَ صَائِمَةٌ فَقَالَ
« أَصُمْتِ أَمْسِ » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « تُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِى غَدًا » . قَالَتْ
لاَ . قَالَ « فَأَفْطِرِى
“Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memasuki rumahnya pada hari Jum’at dan ia sedang berpuasa.
Lalu beliau bertanya, “Apakah engkau berpuasa kemarin?” “Tidak”, jawab
Juwairiyah. Beliau bertanya kembali, “Apakah engkau ingin berpuasa besok?” “Tidak”,
jawabnya seperti itu pula. Beliau kemudian mengatakan, “Hendaknya engkau
membatalkan puasamu.” (HR. Bukhari no. 1986 dan Muslim no. 1143, dari
Juwairiyah binti Al Harits)
CATATAN PENTING:
Puasa pada hari Jum’at
dibolehkan jika:
1) Ingin
menunaikan puasa wajib, mengqodho’ puasa wajib, membayar kafaroh (tebusan) dan
sebagai ganti karena tidak mendapatkan hadyu tamattu’.
2) Jika
berpuasa sehari sebelum atau sesudah hari Juma’t sebagaimana diterangkan dalam
hadits di atas.
3) Jika
bertepatan dengan hari puasa Daud (sehari puasa, sehari berbuka).
4) Berpuasa
pada hari Jum’at bertepatan dengan puasa sunnah lainnya seperti puasa Asyura,
puasa Arofah, dan puasa Syawal. (Lihat pembahasan Shahih Fiqh Sunnah, 2:
142-143)
d.
Puasa
Haram
§ Puasa pada dua hari raya (‘Iedain)
yaitu idul fitri dan idul adha
Dari bekas budak Ibnu
Azhar, dia mengatakan bahwa dia pernah menghadiri shalat ‘ied bersama ‘Umar bin
Al Khottob –radhiyallahu ‘anhu-. ‘Umar pun mengatakan,
هَذَانِ يَوْمَانِ
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنْ صِيَامِهِمَا يَوْمُ فِطْرِكُمْ
مِنْ صِيَامِكُمْ ، وَالْيَوْمُ الآخَرُ تَأْكُلُونَ فِيهِ مِنْ نُسُكِكُمْ
“Dua hari ini
adalah hari yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam larang untuk berpuasa
di dalamnya yaitu Idul Fithri, hari di mana kalian berbuka dari puasa kalian.
Begitu pula beliau melarang berpuasa pada hari lainnya, yaitu Idul Adha di mana
kalian memakan hasil sesembelihan kalian.” (HR. Bukhari no. 1990 dan
Muslim no. 1137)
Dari Abu Sa’id Al
Khudri –radhiyallahu ‘anhu-, beliau mengatakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ يَوْمِ الْفِطْرِ وَيَوْمِ النَّحْرِ.
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada dua hari yaitu Idul Fithri
dan Idul Adha.” (HR. Muslim no. 1138)
Kaum muslimin telah
bersepakat (berijma’) tentang haramnya berpuasa pada dua hari raya, yaitu Idul
Fithri dan Idul Adha. (Lihat Ad Daroril Madhiyah Syarh Ad Durorul Bahiyah,
Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, hal. 220, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, tahun
1425 H)
§ Puasa pada hari Tasyrik
yaitu puasa pada tanggal 11, 12, dan 13 dzulhijah. (HR. Al-Daraqutni).
Tidak boleh berpuasa
pada hari tasyriq menurut kebanyakan pendapat ulama. Alasannya adalah sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ
أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
“Hari-hari tasyriq
adalah hari makan dan minum.” (HR. Muslim no. 1141, dari Nubaisyah Al
Hudzali). Imam Nawawi rahimahullah memasukkan hadits ini di Shahih Muslim dalam
Bab “Haramnya berpuasa pada hari tasyriq”.
Imam Nawawi
rahimahullah dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim mengatakan, “Hari-hari tasyriq
adalah tiga hari setelah Idul Adha. Hari tasyriq tersebut dimasukkan dalam hari
‘ied. Hukum yang berlaku pada hari ‘ied juga berlaku mayoritasnya pada hari
tasyriq, seperti hari tasyriq memiliki kesamaan dalam waktu pelaksanaan
penyembelihan qurban, diharamkannya puasa (sebagaimana pada hari ‘ied, pen) dan
dianjurkan untuk bertakbir ketika itu.”(Syarh Shahih Muslim, 6: 184). Hari
tasyriq disebutkan tasyriq (yang artinya: terbit) karena daging qurban dijemur
dan disebar ketika itu (Syarh Shahih Muslim, 8: 17)
Imam Malik, Al Auza’i,
Ishaq, dan Imam Asy Syafi’i dalam salah satu pendapatnya menyatakan bahwa boleh
berpuasa pada hari tasyriq pada orang yang tamattu’ jika ia tidak memperoleh al
hadyu (sembelihan qurban). Namun untuk selain mereka tetap tidak diperbolehkan
untuk berpuasa ketika itu. (Syarh Shahih Muslim, 8: 17). Dalil dari pendapat
ini adalah sebuah hadits dalam Shahih Al Bukhari dari Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah,
mereka mengatakan,
لَمْ يُرَخَّصْ فِى
أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنْ يُصَمْنَ ، إِلاَّ لِمَنْ لَمْ يَجِدِ الْهَدْىَ
“Pada hari tasyriq
tidak diberi keringanan untuk berpuasa kecuali bagi orang yang tidak mendapat
al hadyu ketika itu.” ( HR. Bukhari no. 1997 dan 1998).
§ Puasa Sunah bagi wanita yang tidak
di izinkan suaminya
Seorang istri harus
mendapatkan izin suami ketika akan mengerjakan puasa sunnah. Alasannya, hak
suami itu wajib di penuhi dan tidak boleh di gugurkan dengan ibadah yang
hukumnya sunnah. selain itu suami juga berhak untuk bercampur, dan itu tidak
bisa terpenuhi jika sang istri tengah
mengerjakan puasa, haji atau beriktikaf. Rasulullah Saw bersabda:
“Seorang
istri tidak boleh berpuasa sementara suaminya berada di rumah, kecuali suaminya
mengizinkan dirinya untuk berpuasa. apabila istri tetap berpuasa tanpa
sepengetahuan suami, maka suami boleh menyuruhnya untuk membatalkan puasa.
Begitu juga ketika istri mengerjakan ibadah-ibadah sunnah lainnya”. (HR. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah)
§ Puasa yang dapat membinasakan Jiwa
Sebagaimna
firman Allah swt berikut ini :
Dan
belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
(QS.
Al-Baqarah: 195)
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu[287];
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
QS.
An-Nisa’ : 29)
5.
Hal-hal
yang membatalkan puasa
Ada beberapa hal yang
dpat membatalkan puasa kita, diantaranya:
a. Makan
dengan sengaja
b. Minum
dengan sengaja
c. Melakukan
hubungan seksual
“Dihalalkan
bagi kamu pada malam hari bulan puasa
bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun
adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu.
Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah
puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka
itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah
kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia,
supaya mereka bertakwa. (QS. Al-Baqarah : 187)
d. Muntah
dengan sengaja
e. Keluar
darah haid atau nifas sebagaikonsekuensi dari syarat sahnya puasa.
f. Gila
saat sedang berpuasa
Hal-hal
yang dapat mengurangi nilai puasa adalah mengerjakan hal-hal yang di benci oleh
Allah swt. seperti bertengkar, berkata jorok, berperilaku curang dan lain-lain.
B.
RUKHIYAT
HISAB
1.
Pengertian
Rukhiyat dan Hisab
Hisab
adalah perhitungan secara matematis
dan astronomis
untuk menentukan posisi bulan
dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender
Hijriyah. Sedangkan Rukyat adalah aktivitas mengamati
visibilitas hilal,
yakni penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak
(konjungsi).
Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik
seperti teleskop.
Rukyat dilakukan setelah Matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah Matahari
terbenam (maghrib),
karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya Matahari,
serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka pada petang
(maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru Hijriyah. Apabila
hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maghrib hari berikutnya.
Perlu diketahui bahwa
dalam kalender Hijriyah, sebuah hari
diawali sejak terbenamnya matahari
waktu setempat, bukan saat tengah malam. Sementara penentuan awal bulan (kalender)
tergantung pada penampakan (visibilitas) bulan.
Karena itu, satu bulan kalender Hijriyah dapat berumur 29 atau 30 hari.
2.
Penetapan
Awal Puasa
Perintah mengawali
puasa ramadhan dan mengakhirinya, nabi menentukan dengan gejala melihat hilal (ru’yah)
di awal bulan ramadhan dan melihat hilal di awal bulan Syawal. Fuqaha telah
sepakat bahwa bulan Arab berisi 29 atau 30 hari, dan bahwa yang dijadikan
pertimbangan dalam penetapan bulan Ramadhan ialah rukyah (melihat bulan)
Sebagaimana sabda Nabi Saw:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِِهِ
وَاَفْطِرُوْالِرُؤْيَنِه
”Berpuasalah karena melihat bulan, dan berbukalah karena melihat
bulan”.
Rukyah yang
dipegang jumhur ulama berpegang pada nash hadits tersebut. Memang yang
diwajibkan adalah berpuasanya, bukan rukyahnya. Namun karena perintah
rukyah itu berkaitan dengan suatu hal yang bersifat wajib, maka perintah itupun
menjadi wajib. Kemudiaan fuqaha berselisih pendapat tentang persoalan,
apabila bulan tertutup oleh awan dan tidak mungkin dilakukan rukyah.
Mengenai
persoalan tertutupnya bulan, maka Jumhur fuqaha berpendapat bahwa dalam
keadaan demikian bilangan bulan harus disempurnakan menjadi 30 hari, dan
permulaan Ramadhan dimulai pada hari ke-31.
Dan para fuqaha
juga sepakat dengan satu kata bahwa seorang yang sendirian melihat hilal
Ramadhan maka dia wajib berpuasa walaupun semua orang tidak berpuasa, sedangkan
jika dia tidak berpuasa maka dia harus mengqadla dan kifarat.
Sedangkan
penentuan awal Ramadhan dengan hisab ulama berbeda pendapat. Sebagian
mereka menyatakan bahwa penentuan awal Ramadhan tidak boleh dengan hisab.
Mereka berpendapat bahwa satu-satunya penentuan awal Ramadhan hanya dengan
rukyah atau menyempurnakan bilangan bulan menjadi 30 hari apabila langit tidak
cerah. Sedang sebagian yang lain menyatakan bahwa penentuan awal Ramadhan
adalah dengan hisab disamping menggunakan rukyah. Diantara alasan mereka
adalah bahwa hisab akan sangat diperlukan pada saat rukyah tidak dapat
mengatasinya seperti keadaan orang yang berada dalam daerah abnormal.
Silang pendapat
ini disebabkan karena adanya ketidakjelasan pada sabda Nabi saw:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِِهِ وَاَفْطِرُوْالِرُؤْيَنِهِ
فَإِنْغُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْالَهُ
”Berpuasalah
kamu karena melihat bulan, dan berbukalah kamu karena melihat bulan, jika
ternyata bulan tertutup atasmu, maka kira-kirakanlah.”
Jumhur fuqaha berpendapat
bahwa kata-kata ”kira-kirakanlah” berarti ”sempurnakanlah bilangan menjadi 30
hari”. Ada pula fuqaha yang berpendapat bahwa penafsirannya adalah ”kirakanlah
dengan memakai hisab (perhitungan)”, dan hadits ini juga yang
digunakan para ahli hisab sebagai dasarnya.
Alasan jumhur
fuqaha memegangi penafsiran tersebut adalah karena adanya hadits shahih
Ibnu Abbas ra., bahwa Nabi Saw bersabda:
فَإِنْغُمَّ عَلَيْكُمْ فَاكْمِلُواالْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
”Jika ternyata
bulan tertutup atasmu, maka sempurnakanlah bilangan menjadi tiga puluh hari.”
Sementara itu
Imam Abu al-Abbas Ibnu Suraij (306 H/918 M), seperti dikutip oleh Ibn
al-’Arabi, mengajukan cara mengompromikan antara hadits-hadits yang menggunakan
frase faqduru lahu (maka kadarkanlah ia) dengan hadits-hadits yang
menggunakan frase fa akmilu al-’iddah (maka sempurnakanlah bilangan
bulan itu) dengan mengatakan:
.....bahwa
sesungguhnya sabda Nabi saw faqduru lahu merupakan khitab yang ditujukan
pada orang-orang yang khusus memiliki kemampuan hisab, sedangkan sabda Nabi saw
fa akmilu al-’iddah adalah yang ditujukan bagi masyarakat umum.
Dalam hal ini,
ahli fiqih menyimpulkan bahwa hadits ini menyiratkan satu tujuan dan
menentukan cara (sarana) untuk mencapainya. Tujuan ini sangat jelas, yaitu
perintah puasa sebulan penuh dan tidak boleh terlewatkan satu hari pun. Puasa
itu dilakukan setelah adanya kepastian masuknya bulan Ramadhan dengan cara yang
memungkinkan dan dapat dilakukan oleh banyak orang, yang tidak membebani dan
memberatkan mereka dalam agama.
Ulama-ulama terdahulu menolak hisab
secara mutlak karena hisab masih tercampur aduk dengan ilmu nujum
(astrologi, meramal nasib dengan bintang) dan juga karena akurasinya yang masih
rendah, sehingga hasil hitungan antara ahli hisab satu dengan yang lain
masih saling bertentangan, padahal fakta benda langitnya adalah satu.
C.
LAILATUL
QADAR
1.
Pengertian
Lailatul Qadar
Lailatul Qadar adalah malam turunnya Al Qur’an dari Lauhul
Mahfudz ke langit bumi dan itu terjadi setiap tahun pada bulan Ramadhan. Dalam
surat Al Qadar ayat 3 dijelaskan bahwa lailatul qadar adalah malam yang lebih
utama daripada melakukan amal sholeh selama seribu bulan atau dengan hitungan
tahun selama 83 tahun lebih. Malam itu Allah memerintah malaikat untuk turun
kelangit bumi dengan membawa kabar gembira bahwa malam itu malam yang penuh
dengan kebaikan dan berkah bagi mereka yang berbuat amal sholeh pada malam
lailatul qadar dari sejak permulaan sampai dengan terbitnya fajar.
Terdapat perbedaan di kalangan para ulama’ tentang waktu
turunnya lailatul qadar. Ada yang berpendapat bahwa turunnya lailatul qadar
adalah diantara tanggal-tanggal bulan Ramadhan dari tanggal satu sampai tanggal
terakhir bulan Ramadhan. Ada yang berpendapat bahwa turunnya lailatul qadar
adalah pada tanggal-tanggal ganjil pada sepuluh yang terakhir bulan Ramadhan
yaitu tanggal 21, 23, 25, 27, dan 29. sebagaimana dalam riwayat disebutkan
bahwa "Nabi saw. pada malam sepuluh terakhir beliau mengencangkan ikat
pinggangnya, melek (tidak tidur) pada malam hari, membangunkan keluarganya
untuk beribadah kepada Allah swt." ( HR. Bukhari dan Muslim).
Adapun pada malam sepuluh yang terakhir bulan Ramadhan
diperintahkan untuk memperbanyak membaca do’a :
اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Artinya: “Ya Allah sesungguhnya
Engkau Maha Pengampun, cinta pada ampunan maka ampunilah aku”. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan
Tirmidzi).
2.
Keistimewaan Malam Lailatul Qadar
Beberapa
keistimewaan Lailatul Qadar yang begitu utama dari malam lainnya, diantaranya:
a. Lailatul Qadar adalah waktu
diturunkannya Al Qur’an
Ibnu
‘Abbas dan selainnya mengatakan, “Allah menurunkan Al Qur’an secara utuh
sekaligus dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah yang ada di langit dunia.
Kemudian Allah menurunkan Al Qur’an kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa
sallam- tersebut secara terpisah sesuai dengan kejadian-kejadian yang terjadi
selama 23 tahun.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 403). Ini sudah
menunjukkan keistimewaan Lailatul Qadar.
b. Lailatul Qadar lebih baik dari 1000
bula
Allah
Ta’ala berfirman,
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ
أَلْفِ شَهْرٍ
“Malam
kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al Qadar: 3). An Nakho’i
mengatakan, “Amalan di lailatul qadar lebih baik dari amalan di 1000 bulan.”
(Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 341). Mujahid, Qotadah dan ulama lainnya
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lebih baik dari seribu bulan adalah
shalat dan amalan pada lailatul qadar lebih baik dari shalat dan puasa di 1000
bulan yang tidak terdapat lailatul qadar. (Zaadul Masiir, 9: 191). Ini sungguh
keutamaan Lailatul Qadar yang luar biasa.
c. Lailatul Qadar adalah malam yang penuh
keberkahan.
Allah
Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ
مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
“Sesungguhnya
Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah
yang memberi peringatan.” (QS. Ad Dukhon: 3). Malam penuh berkah ini adalah
malam ‘lailatul qadar’ dan ini sudah menunjukkan keistimewaan malam tersebut,
apalagi dirinci dengan point-point selanjutnya.
d. Malaikat dan juga Ar Ruuh
-yaitu malaikat Jibril- turun pada Lailatul Qadar.
Keistimewaan
Lailatul Qadar ditandai pula dengan turunnya malaikat. Allah Ta’ala
berfirman,
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ
فِيهَا
“Pada
malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril” (QS.
Al
Qadar: 4)
Banyak
malaikat yang akan turun pada Lailatul Qadar karena banyaknya barokah (berkah)
pada malam tersebut. Karena sekali lagi, turunnya malaikat menandakan turunnya
berkah dan rahmat. Sebagaimana malaikat turun ketika ada yang membacakan Al
Qur’an, mereka akan mengitari orang-orang yang berada dalam majelis dzikir
-yaitu majelis ilmu-. Dan malaikat akan meletakkan sayap-sayap mereka pada
penuntut ilmu karena malaikat sangat mengagungkan mereka. (Lihat Tafsir Al
Qur’an Al ‘Azhim, 14: 407)
Malaikat Jibril disebut “Ar Ruuh” dan dispesialkan dalam ayat karena menunjukkan kemuliaan (keutamaan) malaikat tersebut.
Malaikat Jibril disebut “Ar Ruuh” dan dispesialkan dalam ayat karena menunjukkan kemuliaan (keutamaan) malaikat tersebut.
e. Lailatul Qadar disifati dengan ‘salaam’
Yang
dimaksud ‘salaam’ dalam ayat,
سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ
الْفَجْر
“Malam
itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar” (QS. Al Qadr: 5) yaitu malam
tersebut penuh keselamatan di mana setan tidak dapat berbuat apa-apa di malam
tersebut baik berbuat jelek atau mengganggu yang lain. Demikianlah kata Mujahid
(Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 407). Juga dapat berarti bahwa malam
tersebut, banyak yang selamat dari hukuman dan siksa karena mereka melakukan
ketaatan pada Allah (pada malam tersebut). Sungguh hal ini menunjukkan
keutamaan luar biasa dari Lailatul Qadar.
f. Lailatul Qadar adalah malam
dicatatnya takdir tahunan
Allah
Ta’ala berfirman,
فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
“Pada
malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah” (QS. Ad Dukhan: 4).
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya (12: 334-335) menerangkan bahwa pada Lailatul
Qadar akan dirinci di Lauhul Mahfuzh mengenai penulisan takdir dalam setahun,
juga akan dicatat ajal dan rizki. Dan juga akan dicatat segala sesuatu hingga
akhir dalam setahun. Demikian diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Malik, Mujahid,
Adh Dhohak dan ulama salaf lainnya.
Namun
perlu dicatat -sebagaimana keterangan dari Imam Nawawi rahimahullah dalam
Syarh Muslim (8: 57)- bahwa catatan takdir tahunan tersebut tentu saja
didahului oleh ilmu dan penulisan Allah. Takdir ini nantinya akan ditampakkan
pada malikat dan ia akan mengetahui yang akan terjadi, lalu ia akan melakukan
tugas yang diperintahkan untuknya.
g. Dosa setiap orang yang menghidupkan
malam ‘Lailatul Qadar’ akan diampuni oleh Allah
Dari
Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ
إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa
melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala
dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari
no. 1901)
Ibnu
Hajar Al Asqolani mengatakan bahwa yang dimaksud ‘iimaanan’ (karena iman)
adalah membenarkan janji Allah yaitu pahala yang diberikan (bagi orang yang menghidupkan
malam tersebut). Sedangkan ‘ihtisaaban’ bermakna mengharap pahala (dari sisi
Allah), bukan karena mengharap lainnya yaitu contohnya berbuat riya’. (Lihat
Fathul Bari, 4: 251)
DAFTAR PUSTAKA
Fahrudin, Achmad,
dkk. 2003. Al-Qur’an dan Terjemahnya
versi 1.1 (Al-Qur’an Digital.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis
Tarjih. 2009. Himpunan Putusan Tarjih Pimpinan
Pusat Muhammadiyah Majelis Tarjih. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
Musthofa Al Bugho, dkk . 2010. Al Fiqhu Al Manhaji ‘ala Madzhabil
Imam Asy Syafi’i Cetakan ke sepuluh hal 357. Penerbit : Darul Qolam.
Sa’id bin Wahf bin ‘Ali Al Qohthoni.
2007. Ash Shiyam fil Islam fii
Dhouil Kitab was Sunnah Cetakan pertama hal 367-369. Penerbit:
Maktabah Al Malik Fahd.
Abu
Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi. 2012. Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin
Al Hajjaj Cetakan Pertama. Penerbit
: Dar Ibn Hazm.
Azhari,Susiknan. 2007. Hisab dan Rukyah Wacana untuk
Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Khazin, Muhyidin. 2009. 99 Tanya Jawab Masalah Hisab
dan Rukyah. Yogyakarta: Ramadhan Press.
Muhammad Chirzin, “ Puasa
Dan Perolehannya Dalam Al-Qur’an” dalam internet website http://muhammadiyahku.blogspot.com diakses
tanggal 12 Februari 2014.
Deri Suyatma, ”Cara Penentuan awal dan Akhir Ramadhan”
dalam internet website: http://mtsnurulazhar/wordpress.com/2008/08/29/cara-penentuan-awal-dan-akhir-ramadhan/, diakses
tanggal 12 Februari 2014.
Muhammad
Abduh Tuasikal, “Puasa Senin Kamis” dalam intenet website http://muslim.Or.Id diakses tanggal 14 februari 2014.
Muhammad
Abduh Tuasikal, “Hari-Hari Terlarang
Puasa” dalam intenet
website http://muslim.Or.Id diakses tanggal 14 februari 2014.
Muhammad
Abduh Tuasikal, “Aturan Dalam Puasa
Sunnah” dalam intenet
website http://muslim.Or.Id diakses tanggal 14 februari 2014.
Muhammad
Abduh Tuasikal, “Keutamaan Puasa Arafah” dalam intenet website http://muslim.Or.Id diakses tanggal 14 februari 2014.
Muhammad
Abduh Tuasikal, “Puasa Syawal, Benarkah
Makruh?” dalam intenet
website http://muslim.Or.Id diakses tanggal 14 februari 2014.
No comments :
Post a Comment