http://i560.photobucket.com/albums/ss44/erge32/EkaSidebar.gif

Semoga bermanfaat untuk kawan-kawanku n juga bagi publik,, :)

Guidance and Counseling Riska Ratna

Tuesday 20 May 2014

PUASA, ADAB BERPUASA, RUKHIYAT HISAB DAN MALAM LAILATUL QADAR



BAB II
PEMBAHASAN

A.      PUASA
1.      Pengertian Puasa
Secara etimologi, puasa (as-shaum) berarti menahan diri. Puasa berarti meninggalkan dan menahan, yaitu meninggalkan dan menahan sesuatu yang mubah (halal), seperti nafsu perut dan nafsu seks dengan niat mendekatkan diri pada Allah SWT. Selain itu menurut Imam Al Ghazali puasa dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu: Pertama, puasa biasa adalah menahan diri dari makan, minum dan hubungan biologis antara suami isteri dalam jangka waktu tertentu. Kedua, puasa khusus yaitu menjaga telinga, mata, lidah serta kaki dan juga anggota badan lainnya dari berbuat dosa. Ketiga, puasa sangat khusus yaitu menjaga hati dengan mencegah memikirkan perkara-perkara yang hina dan duniawi, yang ada hanya mengingat Allah dan akhirat. (Al-Ghazali, 1997:77).
Dalam hal ini secara tegas perintah puasa berdasarkan Al-Qur'an maupun Hadist Rasulullah Muhammad SAW. Adapun dasar hukum puasa Ramadhan terdapat dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah 183, yang artinya sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”
Dimana Perintah wajib puasa turun pada bulan Sya’ban Tahun ke-2 (kedua) Hijrah. Puasa dibulan Ramadhan telah difardukan oleh Allah SWT di kota madinah Munawwarah. Telah berkata Imam Az-Zarqani “kewajipan puasa di bulan Ramadhan ini telah turun pada malam ke-2 bulan Sya‟ban iaitu pada tahun yang ke-2 sesudah hijrah Nabi.  Walaupun kita ketahui Rasullulah Muhammad SAW hanya sempat berpuasa penuh di bulan Ramadhan ini di antara tahun 2 Hijrah–10 Hijrah saja (8 kali), namun Rasullulah Muhammad SAW telah merubah kehidupan manusia dengan puasa pada waktu ini sebagai ibadah. Dalam hal ini bulan Ramadan adalah satu-satunya bulan yang di sebut oleh Allah SWT di dalam Al-Quran. Penyebutan kalimah Ramadhan ini disebut manakala bulan-bulan yang lain tidak disebutkan dalam Al-Quran walaupun hanya sekali. Inilah pengikhtirafan Allah SWT terhadap bulan ini.
Puasa meningkatkan kualitas hidup Muslim, baik secara pribadi maupun bersama: membuahkan ketakwaan kepada Allah SwT. Keberhasilan puasa tidaklah sempurna dengan genapnya seseorangberpuasa sebulan lamanya, dan memenuhi kewajiban zakat fitrah di akhir Ramadian. Imam Al-Ghazali berkata, "Puasa awam bernilai biasa; puasa orang khusus bernilai bagus; puasa orang khusus dari yang khusus bernilai istimewa, karenaseluruhjiwa raga: hati, pikiran dan perasaan terkendali.
Puasa menggembleng rohani untuk tabah dan sabar menghadapi cobaan, mampu menahan amarah, mengendalikan hawa nafsu dari kesenangan hidup sementara, jujur, berdisiplin waktu dalam kerja dan setia kepada janji. Puasa dikatakan berhasil dan mencapai sasarannya jika sesudahnya Muslim mencerminkan sikap dan kelakuan yang terpuji. Dari segi kejiwaan: patuh dan disiplin terhadap peraturan, dapat menguasai diri, tekun, sabar dan tahan menghadapi derita. Dari segijasmani: kesehatan terjaga; teratur dan dalam batas-batas tertentu dalam makan, minum, bekerja dan istirahat. Dari segi kemasyarakatan: Muslim mengerti penderitaan orang miskin dan rela membagi kelebihan harta.
Puasa meningkatkan kesetiakawanan sosial, kerelaan berkorban untuk kepentingan dan kemaslahatan bersama, mempersatukan potensi untuk menegakkan bangunan sosial atas landasan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SwT. Rasulullah saw bersabda,

"Umatku akan tetap dalam kebalkan sepanjang mereka menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah perbuatan munkar serta bertolong-menolong dalam kebajikan. Kalau mereka tidak melaksanakan, maka dicabutlah berkah dari mereka, lalu sebagian dari mereka akan menindas sebagian yang lain, tanpa ada seorang penolong pun,  baik dibumi maupun dilangit. "Di dalam surga terdapat bilik-bilik yang tampak jelas dari luar ke dalam dan dari dalam ke luar." Para sahabat bertanya, "Untuk siapakah itu ya Rasulullah?" Rasulullah menjawab, "Kamar-kamar itu buat orang yang berkata-kata baik, memberi makan, selalu berpuasa dan melakukan shalat malam ketika orang lain nyenyak tidur." (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Al- Baihagi).

2.      Rukun  dan Syarat Puasa
Rukun puasa yaitu menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dari sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.
Sedangkan syarat puasa ada dua, yaitu:
a.  Syarat Wajib puasa
ü  Muslim, orang yang beragama Islam
ü  Mummayiz, orang yang sudah dewasa (baligh) dan berakal (aqil)
ü  kuat berpuasa (qadir)
b.  Syarat sah puasa
ü  Bagi wanita, harus suci dari haid, nifas ataupun walidah
ü  Dikerjakan pada hari yang diperbolehkan untuk puasa

3.      Adab-Adab dalam Berpuasa
Berikut ini akan di jelaskan mengenai adab dalam berpuasa, diantaranya sebagai berikut.
a.       Niat karena Allah semata
b.      Makan sahur.
Waktu makan sahur yang disunahkan dan paling baik menurut nabi Muhammad saw yaitu di akhir malam.
c.       Menjauhi hal-hal yang dapat membatalkan atau mengurangi nilai puasa.
Ada beberapa hal yang dapat membatalkan puasa kita, diantaranya:
-          Makan dan minum dengan sengaja di waktu siang Ramadhan
Allah swt berfirman dalam surat Al-Baqarah: 187 sebagai berikut
".....dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar……”
Dan Rasulullah saw bersabda:
“Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub, ia menyatakan bahwa Rasulullah saw bersabda : “janganlah sekali-kali mencegah kamu dari sahurmu, adzan Bilal dan fajar yang melintang pada cakrawala.” (HR. Muslim, Ahmad dan Tirmidzi)
-          Melakukan hubungan seksual
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-BAqarah ayat 187 yakni:
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan  puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah  puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (QS. Al-Baqarah : 187)
-          Muntah dengan sengaja
-          Keluar darah haid atau nifas sebagai konsekuensi dari syarat sahnya puasa.
-          Gila saat sedang berpuasa
Hal-hal yang dapat mengurangi nilai puasa adalah mengerjakan hal-hal yang di benci oleh Allah swt. seperti bertengkar, berkata jorok, berperilaku curang dan lain-lain.
d.      Berbuka puasa dengan segera
Rasulullah saw bersabda sebagai berikut:
“ Orang akan tetap baik selagi mereka cepat-cepat berbuka” (HR. Bukhari dan Muslim)
e.       Berbuka dengan makanan dan minuman yang manis-manis dan jangan berlebihan.
Maksudnya ialah bila matahari telah tenggelam, maka segeralah berbuka dengan memakan kurma dan bila tidak ada maka cukup dengan air dan berdoalah sesudah itu: “Dzahabadh dhamau wabtallatil ‘uru-qu wa tsabatal ajru insya Allah” yang artinya: “semoga haus lenyap, urat-urat segar dan tetap berpahala, insya Allah!“ (HR. Abu Dawud)
f.       Memberikan makanan berbuka bagi orang yang berpuasa
g.      Shalat berjamaah di masjid.  Usahakan shalat fardu dan shalat tarawih secara berjamaah di masjid.
h.      Lakukan amalan-amalan utama di bulan ramadhan, yaitu:
ü Shalat tarawih berjamaah
Bagi laki-laki, shalat tarawih akan lebih utama dilaksanakan di masjid secara berjamaah. Dan wanita muslimah diperbolehkan untuk melaksanakan shalat tarawih di masjid jika aman dari fitnah. Rasulullah saw pernah bersabda:
“Janganlah kalian melarang wanita untuk mengunjungi masjid-masjid Allah”. (HR. Bukhari)
Namun demikian, wanita di haruskan untuk berhijab ( memakai busana muslimah), tidak mengeraskan suaranya, tidak menampakkan perhiasan-perhiasannya, tidak memakai wangi-wangian yang terlalau mencolok, dan keluar dengan izin (ridha) suami atau orang tua. Shaf wanita berada di belakang shaf pria dan sebaik-baiknya shaf wanita adalah shaf yang di belakang (HR. Muslim). Tapi jika wanita pergi ke masjid hanya untuk shalat, tidak untuk yang lainnya, seperti mendengarkan pengajian, mendengarkan bacaan Al-Qur’an (yng dialunkan dengan baik), maka shalat di rumahnya adalah lebih afdol.
ü Tadarus Al-Quran
ü Dzikir/Do’a
ü Perbanyak shadaqah di bulan Ramadhan
ü Pada sepuluh malam terakhir hendaknya lebih mengencangkan ibadah kita kepada Allah SWT dengan cara beri’tikaf (berdiam) di masjid untu berdzikir dan berpikir (tafakkur) sampai magrib malam ‘Idul Fitri.

4.      Macam-Macam Puasa
Di tinjau dari segi hukumnya, puasa dibagi menjadi empat macam, yaitu:
a.    Puasa Wajib
§   Puasa Ramadhan yaitu puasa selama satu bulan penuh di bulan ramadhan.
Puasa di bulan Ramadhan adalah menahan sesuatu dari makan, minum dan bersetubuh di siang hari disertai dengan niat di bulan Ramadhan. Sedangkan secara istilah puasa berarti menahan diri dengan sengaja dari makan, minum dan bersetubuh dan segala hal yang membatalkan puasa sehari penuh dari terbit fajar hingga terbenam matahari untuk menjalankan perintah Allah SWT dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Sahabat Mu'adz bin Jabal RA berkata, 'Ketika saya menyertai Rasulullah dalam suatu perjalanan, beliau bersabda, "Wahai Mu'adz, maukah engkau kutunjuki pintu- pintu kebaikan?" Saya menjawab, 'Mau ya Rasulullah.'Lalu beliau bersabda,"Puasa itu perisai, yakni dari perbuatan maksiat  dan dari apineraka, dan shadaqah menghapuskan kesalahan, sebagaimana air  memadamkan api." (HR. Tirmidzi).
Rasulullah pernah bersabda sebagai berikut:
"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian  puasa Ramadlan dan disunatkan bagi kalian melaksanakan shalat tarawih pada malam harinya. Barang siapa berpuasa dan  menunaikan shalat tarawih atas dasar iman dan mengharapkan kebaikan dari Allah, maka ia keluar dari dosa-dosanya seperti pada hari ketika la dilahirkan oleh ibunya”. (An-Nasa'i dan Ahmad)
Rasulullah saw juga bersabda:
Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: Allah telah berfirman Semua amai perbuatan anak Adam untuk dirinya, kecuali puasa, maka la untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Puasa itu perisai, make jika seseorang sedang berpuasa, janganlah berkata  keji atau ribut-ribut dan kalau seseorang mencaci maki, atau mengajak berkelahi make hendaknya berkata: Aku berpuasa. Demi Allah yang jiwaku ada ditangan-Nya, bau mulut orang yang berpuasa begi Allah lebih harum daripada bau minyak kasturi. Orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan, yaitu kotika berbuka puasa dan kotika la menghadap kepada Tuhannya; gembira karena puasanya “( HR. Bukhari & Muslim).

Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda Siapa yang berpuasa  Ramadlan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka diampunilah dosa nya yang telah lalu “(HR. Bukhari & Muslim)

Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: Jika bulan Ramdlan tiba, maka dibukalah pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka, dan di belenggulah semua setan (Bukhari & Muslim).

§   Puasa Qadla’ yaitu puasa yang dilaksanakan untuk mengganti kewajiban puasa yang di tinggalkan pada bulan Ramadhan. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al Baqarah ayat 183-185 sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

§   Puasa Kifarat (tebusan)
Allah berfirman :
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” (QS. Al-Maa’idah : 89)

§   Puasa Nadzar yaitu puasa yang kewajibannya ditimbulkan oleh diri kita sendiri.
Nazar  yaitu janji untuk melakukan sesuatu kebaktian terhadap Allah s.w.t. untuk mendekatkan diri kepada-Nya baik dengan syarat ataupun tidak, sebagimana firman Allah berikut ini.
Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Orang-orang yang berbuat zalim tidak ada seorang penolong pun baginya.” (QS. Al-Baqarah : 270)
 Sebagaimana firman Allah dalam surah Maryam ayat 26 sebagai berikut:
“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini".

b.   Puasa Sunnah
§   Puasa enam hari di bulan Syawal
Puasa Syawal sudah disebutkan dalil dan keutamaannya dalam hadits Abu Ayyub Al Anshori berikut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).
Dalil di atas menjadi pegangan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad serta Daud bahwa puasa Syawal itu dihukumi sunnah. Sedangkan Imam Malik dan Imam Abu Hanifah menganggapnya makruh. Bahkan Imam Malik menyebutkan dalam kitabnya Al Muwatho‘, “Aku tidak pernah melihat seorang ulama pun melakukan puasa Syawal”. Mereka sampai berpendapat demikian karena khawatir akan wajibnya.
Sedangkan pendapat dalam madzhab Syafi’i bersesuaian dengan hadits tegas di atas. Sebagaimana kata Imam Nawawi rahimahullah, “Pendapat dalam madzhab Syafi’i yang menyunnahkan puasa Syawal didukung dengan dalil tegas ini. Jika telah terbukti adanya dukungan dalil dari hadits, maka pendapat tersebut tidaklah ditinggalkan hanya karena perkataan sebagian orang. Bahkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah ditinggalkan walau mayoritas atau seluruh manusia menyelisihinya. Sedangkan ulama yang khawatir jika puasa Syawal sampai disangka wajib, maka itu sangkaan yang sama saja bisa membatalkan anjuran puasa ‘Arafah, puasa ‘Asyura’ dan puasa sunnah lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 51)
Pendapat Imam Nawawi di atas mengajarkan kita untuk berpegang teguh dengan sabda Rasul dan bila ada perkataan para ulama yang berseberangan dengan ajaran Rasul, maka perkataannya-lah yang ditinggalkan. Penjelasan di atas sekaligus menunjukkan bahwa puasa Syawal tidaklah makruh, namun termasuk sunnah yang dianjurkan yang sudah selayaknya yang menjalani puasa Ramadhan melakukannya.

§   Puasa senin dan kamis
Keutamaannya bisa menghapus kesalahan dan meninggikan derajat, serta memang dua hari tersebut adalah saat amalan diangkat di hadapan Allah sehingga sangat baik untuk berpuasa saat itu.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari Senin dan Kamis.” (HR. An Nasai no. 2362 dan Ibnu Majah no. 1739. All Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Usamah bin Zaid berkata,
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ تَصُومُ حَتَّى لاَ تَكَادَ تُفْطِرُ وَتُفْطِرُ حَتَّى لاَ تَكَادَ أَنْ تَصُومَ إِلاَّ يَوْمَيْنِ إِنْ دَخَلاَ فِى صِيَامِكَ وَإِلاَّ صُمْتَهُمَا. قَالَ « أَىُّ يَوْمَيْنِ ». قُلْتُ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ. قَالَ « ذَانِكَ يَوْمَانِ تُعْرَضُ فِيهِمَا الأَعْمَالُ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِى وَأَنَا صَائِمٌ

“Aku berkata pada Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Wahai Rasulullah, engkau terlihat berpuasa sampai-sampai dikira tidak ada waktu bagimu untuk tidak puasa. Engkau juga terlihat tidak puasa, sampai-sampai dikira engkau tidak pernah puasa. Kecuali dua hari yang engkau bertemu dengannya dan berpuasa ketika itu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa dua hari tersebut?” Usamah menjawab, “Senin dan Kamis.” Lalu beliau bersabda, “Dua hari tersebut adalah waktu dihadapkannya amalan pada Rabb semesta alam (pada Allah). Aku sangat suka ketika amalanku dihadapkan sedang aku dalam keadaan berpuasa.” (HR. An Nasai no. 2360 dan Ahmad 5: 201. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِى وَأَنَا صَائِمٌ

Berbagai amalan dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku dihadapkan sedangkan aku sedang berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 747.
At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih lighoirihi yaitu shahih dilihat dari jalur lainnya).
Dari Abu Qotadah Al Anshori radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, lantas beliau menjawab,
ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ
Hari tersebut adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus atau diturunkannya wahyu untukku.” (HR. Muslim no. 1162)
Keutamaan hari Senin dan Kamis secara umum dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah berikut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلاَّ رَجُلاً كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ فَيُقَالُ أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا
Pintu surga dibuka pada hari Senin dan kamis. Setia hamba yang tidak berbuat syirik pada Allah sedikit pun akan diampuni (pada hari tersebut) kecuali seseorang yang memiliki percekcokan (permusuhan) antara dirinya dan saudaranya. Nanti akan dikatakan pada mereka, akhirkan urusan mereka sampai mereka berdua berdamai, akhirkan urusan mereka sampai mereka berdua berdamai.” (HR. Muslim no. 2565).

§   Puasa Arafah yaitu puasa pada hari arafah tanggal 9 dzulhijah.
Puasa ini memiliki  keutamaan yang semestinya tidak ditinggalkan seorang muslim pun. Puasa ini dilaksanakan bagi kaum muslimin yang tidak melaksanakan ibadah haji.
Dari Abu Qotadah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ

Puasa Arofah (9 Dzulhijjah) dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim no. 1162)

Imam Nawawi dalam Al Majmu’ (6: 428) berkata, “Adapun hukum puasa Arafah menurut Imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyah: disunnahkan puasa Arafah bagi yang tidak berwukuf di Arafah. Adapun orang yang sedang berhaji dan saat itu berada di Arafah, menurut Imam Syafi’ secara ringkas dan ini juga menurut ulama Syafi’iyah bahwa disunnahkan bagi mereka untuk tidak berpuasa karena adanya hadits dari Ummul Fadhl.”
Ibnu Muflih dalam Al Furu’ -yang merupakan kitab Hanabilah- (3: 108) mengatakan, “Disunnahkan melaksanakan puasa pada 10 hari pertama Dzulhijjah, lebih-lebih lagi puasa pada hari kesembilan, yaitu hari Arafah. Demikian disepakati oleh para ulama.”
Adapun orang yang berhaji tidak disunnahkan untuk melaksanakan puasa Arafah.
عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ بِنْتِ الْحَارِثِ أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيرِهِ فَشَرِبَهُ
“Dari Ummul Fadhl binti Al Harits, bahwa orang-orang berbantahan di dekatnya pada hari Arafah tentang puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian mereka mengatakan, ‘Beliau berpuasa.’ Sebagian lainnya mengatakan, ‘Beliau tidak berpuasa.’ Maka Ummul Fadhl mengirimkan semangkok susu kepada beliau, ketika beliau sedang berhenti di atas unta beliau, maka beliau meminumnya.” (HR. Bukhari no. 1988 dan Muslim no. 1123).
عَنْ مَيْمُونَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّاسَ شَكُّوا فِى صِيَامِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ عَرَفَةَ ، فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِحِلاَبٍ وَهْوَ وَاقِفٌ فِى الْمَوْقِفِ ، فَشَرِبَ مِنْهُ ، وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ

“Dari Maimunah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa orang-orang saling berdebat apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Arafah. Lalu Maimunah mengirimkan pada beliau satu wadah (berisi susu) dan beliau dalam keadaan berdiri (wukuf), lantas beliau minum dan orang-orang pun menyaksikannya.” (HR. Bukhari no. 1989 dan Muslim no. 1124).
Mengenai pengampunan dosa dari puasa Arafah, para ulama berselisih pendapat. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah dosa kecil. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Jika bukan dosa kecil yang diampuni, moga dosa besar yang diperingan. Jika tidak, moga ditinggikan derajat.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 51) Sedangkan jika melihat dari penjelasan Ibnu Taimiyah rahimahullah, bukan hanya dosa kecil yang diampuni, dosa besar bisa terampuni karena hadits di atas sifatnya umum. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 7: 498-500).

§   Puasa Asyura yaitu puasa pada hari ke sepuluh (tanggal 10) bulan Muharam (HR Muslim, dari Abu Qatadah).
Puasa ‘asyuro adalah puasa sunah yang dilakukan pada tanggal 10 pada bulan Muharram.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَرْفَعُهُ قَالَ سُئِلَ أَيُّ الصَّلَاةِ أَفْضَلُ بَعْدَ الْمَكْتُوبَةِ وَأَيُّ الصِّيَامِ أَفْضَلُ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ فَقَالَ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ الصَّلَاةُ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ وَأَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ صِيَامُ شَهْرِ اللَّهِ الْمُحَرَّمِ

“Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw ditanyalah: “Shalat manakah yang lebih utama setelah shalat fardhu?”, beliau menjawab: “Yaitu shalat di tengah malam.” Ia menanyakan lagi: “Puasa manakah yang lebih afdhal?”, beliau menjawab : ” Puasa pada bulan Allah yang kamu namakan bulan Muharram”. (HR Bukhari dan Muslim dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan)
Puasa ‘asyuro ini memang dijadikan amalan oleh ummat sebelum Nabi saw. Dalam hadis-hadis lain diterangkan bahwa puasa ‘asyuro adalah puasa yang biasa dilakukan oleh Bani Israil  sebagai rasa syukur kepada Allah atas pertolonganNya, Nabi Musa dan kaumnya selamat dari ancaman Fir’aun. Ketika hal itu disampaikan kepada Rasulullah beliau mengatakan:
سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُا حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: ketika Rasulullah saw berpuasa pada bulan ‘asyuro, para sahabat bertanya “Ya Rasulullah sesungguhnya hari ini adalah hari dimuliakannya orang-orang Yahudi dan Nashrani? Lalu beliau bersabda: ”Apabila tahun mendatang tiba, Insya Allah kita berpuasa pada hari yang kesembilan”. Namun sebelum sampai tahun yang ditunggu, Rasulullah telah wafat. (HR. Ibnu ‘Abbas)
Oleh karena itu para ulama bersepakat bahwa puasa ‘asyuro dibagi menjdi tiga tingkatan:
1)    Puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9,10 dan 11 bulan Muharram.
2)    Puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 dan 10 bulan Muharram.
3)    Puasa pada tanggal 10 Muharram seperti termaktub dalam hadis Abu Hurairah maupun Mu’awiyah.

c.    Puasa Makruh
§   Puasa sepanjang masa/seumur hidup (shaum al-dahr)
Yang dimaksud puasa Dahr adalah berpuasa setiap hari selain hari yang tidak sah puasa ketika itu (yaitu hari ‘ied dan hari tasyriq). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ صَامَ مَنْ صَامَ الأَبَدَ لاَ صَامَ مَنْ صَامَ الأَبَدَ لاَ صَامَ مَنْ صَامَ الأَبَدَ

Tidak ada puasa bagi yang berpuasa setiap hari tanpa henti. Tidak ada puasa bagi yang berpuasa setiap hari tanpa henti. Tidak ada puasa bagi yang berpuasa setiap hari tanpa henti.” (HR. Muslim no. 1159, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash)
Hadits di atas menunjukkan terlarangnya berpuasa setiap hari tanpa henti walaupun tidak ada kesulitan dan tidak lemas ketika melakukannya. Begitu pula tidak boleh berpuasa setiap hari sampai-sampai melakukannya pada hari yang terlarang untuk berpuasa. Yang terakhir ini jelas haramnya. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 144.
Yang paling maksimal adalah melakukan puasa Daud yaitu sehari berpuasa dan sehari berbuka. Inilah rukhsoh (keringanan) terakhir bagi yang ingin terus berpuasa. Hadits larangan puasa Dahr tadi asalnya ditujukan pada Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash. Namun sebagaimana disebutkan dalam riwayat Muslim bahwa di akhir hidupnya Abdullah bin ‘Amr menjadi lemas karena kebiasaannya melakukan puasa Dahr. Ia pun menyesal karena tidak mau mengambil rukhsoh dengan cukup melakukan puasa Daud. (Syarh Shahih Muslim, 8: 40).

§   Puasa Wishal yaitu puasa terus-menerus, misalnya puasa selama dua hari berturut-turut tanpa sahur dan buka.
Untuk melakukan wishal dengan tidak makan hingga hari berikutya dan melanjutkan puasa, dihukumi terlarang. Namun masih diberi keringanan hingga waktu sahur.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: – نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنِ اَلْوِصَالِ, فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اَلْمُسْلِمِينَ: فَإِنَّكَ يَا رَسُولَ اَللَّهِ تُوَاصِلُ? قَالَ: ” وَأَيُّكُمْ مِثْلِي? إِنِّي أَبِيتُ يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِينِي “. فَلَمَّا أَبَوْا أَنْ يَنْتَهُوا عَنِ اَلْوِصَالِ وَاصَلَ بِهِمْ يَوْمًا, ثُمَّ يَوْمًا, ثُمَّ رَأَوُا اَلْهِلَالَ, فَقَالَ: ” لَوْ تَأَخَّرَ اَلْهِلَالُ لَزِدْتُكُمْ ” كَالْمُنَكِّلِ لَهُمْ حِينَ أَبَوْا أَنْ يَنْتَهُوا – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari puasa wishal. Ada seorang muslim yang menyanggah Rasul, “Sesungguhnya engkau sendiri melakukan puasa wishal?” Rasul pun memberikan jawaban, “Siapa yang semisal denganku? Sesungguhnya aku di malam hari diberi makan dan minum oleh Rabbku.” Lantaran mereka tidak mau berhenti dari puasa wishal, Nabi berpuasa wishal bersama mereka kemudian hari berikutnya lagi. Lalu mereka melihat hilal, beliau pun berkata, “Seandainya hilal itu tertunda, aku akan menyuruh kalian menambah puasa wishal lagi.” Maksud beliau menyuruh mereka berpuasa wishal terus sebagai bentuk hukuman bagi mereka karena enggan berhenti dari puasa wishal. (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 1965 dan Muslim no. 1103)

§   Puasa pada hari jum’at dan sabtu saja
Tidak boleh berpuasa pada Jum’at secara bersendirian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَصُمْ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلاَّ أَنْ يَصُومَ قَبْلَهُ أَوْ يَصُومَ بَعْدَهُ
Janganlah salah seorang di antara kalian berpuasa pada hari Jum’at kecuali jika ia berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya.” ( HR. Bukhari no. 1985 dan Muslim no. 1144, dari Abu Hurairah). Imam Nawawi rahimahullah membawakan hadits ini di Shahih Muslim dalam Bab “Terlarang berpuasa pada hari Jum’at secara bersendirian.”

Dari Juwairiyah binti Al Harits –radhiyallahu ‘anha-, ia mengatakan,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – دَخَلَ عَلَيْهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَهْىَ صَائِمَةٌ فَقَالَ « أَصُمْتِ أَمْسِ » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « تُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِى غَدًا » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « فَأَفْطِرِى
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki rumahnya pada hari Jum’at dan ia sedang berpuasa. Lalu beliau bertanya, “Apakah engkau berpuasa kemarin?” “Tidak”, jawab Juwairiyah. Beliau bertanya kembali, “Apakah engkau ingin berpuasa besok?” “Tidak”, jawabnya seperti itu pula. Beliau kemudian mengatakan, “Hendaknya engkau membatalkan puasamu.” (HR. Bukhari no. 1986 dan Muslim no. 1143, dari Juwairiyah binti Al Harits)

CATATAN PENTING:
Puasa pada hari Jum’at dibolehkan jika:
1)      Ingin menunaikan puasa wajib, mengqodho’ puasa wajib, membayar kafaroh (tebusan) dan sebagai ganti karena tidak mendapatkan hadyu tamattu’.
2)      Jika berpuasa sehari sebelum atau sesudah hari Juma’t sebagaimana diterangkan dalam hadits di atas.
3)      Jika bertepatan dengan hari puasa Daud (sehari puasa, sehari berbuka).
4)      Berpuasa pada hari Jum’at bertepatan dengan puasa sunnah lainnya seperti puasa Asyura, puasa Arofah, dan puasa Syawal. (Lihat pembahasan Shahih Fiqh Sunnah, 2: 142-143)

d.   Puasa Haram
§   Puasa pada dua hari raya (‘Iedain) yaitu idul fitri dan idul adha
Dari bekas budak Ibnu Azhar, dia mengatakan bahwa dia pernah menghadiri shalat ‘ied bersama ‘Umar bin Al Khottob –radhiyallahu ‘anhu-. ‘Umar pun mengatakan,
هَذَانِ يَوْمَانِ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنْ صِيَامِهِمَا يَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ ، وَالْيَوْمُ الآخَرُ تَأْكُلُونَ فِيهِ مِنْ نُسُكِكُمْ

Dua hari ini adalah hari yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam larang untuk berpuasa di dalamnya yaitu Idul Fithri, hari di mana kalian berbuka dari puasa kalian. Begitu pula beliau melarang berpuasa pada hari lainnya, yaitu Idul Adha di mana kalian memakan hasil sesembelihan kalian.” (HR. Bukhari no. 1990 dan Muslim no. 1137)
Dari Abu Sa’id Al Khudri –radhiyallahu ‘anhu-, beliau mengatakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ يَوْمِ الْفِطْرِ وَيَوْمِ النَّحْرِ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada dua hari yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.” (HR. Muslim no. 1138)
Kaum muslimin telah bersepakat (berijma’) tentang haramnya berpuasa pada dua hari raya, yaitu Idul Fithri dan Idul Adha. (Lihat Ad Daroril Madhiyah Syarh Ad Durorul Bahiyah, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, hal. 220, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, tahun 1425 H)
§   Puasa pada hari Tasyrik yaitu puasa pada tanggal 11, 12, dan 13 dzulhijah. (HR. Al-Daraqutni).
Tidak boleh berpuasa pada hari tasyriq menurut kebanyakan pendapat ulama. Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
Hari-hari tasyriq adalah hari makan dan minum.” (HR. Muslim no. 1141, dari Nubaisyah Al Hudzali). Imam Nawawi rahimahullah memasukkan hadits ini di Shahih Muslim dalam Bab “Haramnya berpuasa pada hari tasyriq”.
Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim mengatakan, “Hari-hari tasyriq adalah tiga hari setelah Idul Adha. Hari tasyriq tersebut dimasukkan dalam hari ‘ied. Hukum yang berlaku pada hari ‘ied juga berlaku mayoritasnya pada hari tasyriq, seperti hari tasyriq memiliki kesamaan dalam waktu pelaksanaan penyembelihan qurban, diharamkannya puasa (sebagaimana pada hari ‘ied, pen) dan dianjurkan untuk bertakbir ketika itu.”(Syarh Shahih Muslim, 6: 184). Hari tasyriq disebutkan tasyriq (yang artinya: terbit) karena daging qurban dijemur dan disebar ketika itu (Syarh Shahih Muslim, 8: 17)
Imam Malik, Al Auza’i, Ishaq, dan Imam Asy Syafi’i dalam salah satu pendapatnya menyatakan bahwa boleh berpuasa pada hari tasyriq pada orang yang tamattu’ jika ia tidak memperoleh al hadyu (sembelihan qurban). Namun untuk selain mereka tetap tidak diperbolehkan untuk berpuasa ketika itu. (Syarh Shahih Muslim, 8: 17). Dalil dari pendapat ini adalah sebuah hadits dalam Shahih Al Bukhari dari Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah, mereka mengatakan,
لَمْ يُرَخَّصْ فِى أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنْ يُصَمْنَ ، إِلاَّ لِمَنْ لَمْ يَجِدِ الْهَدْىَ
Pada hari tasyriq tidak diberi keringanan untuk berpuasa kecuali bagi orang yang tidak mendapat al hadyu ketika itu.” ( HR. Bukhari no. 1997 dan 1998).

§   Puasa Sunah bagi wanita yang tidak di izinkan suaminya
Seorang istri harus mendapatkan izin suami ketika akan mengerjakan puasa sunnah. Alasannya, hak suami itu wajib di penuhi dan tidak boleh di gugurkan dengan ibadah yang hukumnya sunnah. selain itu suami juga berhak untuk bercampur, dan itu tidak bisa terpenuhi jika sang istri tengah  mengerjakan puasa, haji atau beriktikaf. Rasulullah Saw bersabda:
“Seorang istri tidak boleh berpuasa sementara suaminya berada di rumah, kecuali suaminya mengizinkan dirinya untuk berpuasa. apabila istri tetap berpuasa tanpa sepengetahuan suami, maka suami boleh menyuruhnya untuk membatalkan puasa. Begitu juga ketika istri mengerjakan ibadah-ibadah sunnah lainnya”.  (HR. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah)

§   Puasa yang dapat membinasakan Jiwa
Sebagaimna firman Allah swt berikut ini :
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Baqarah: 195)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. QS. An-Nisa’ : 29)

5.      Hal-hal yang membatalkan puasa
Ada beberapa hal yang dpat membatalkan puasa kita, diantaranya:
a.       Makan dengan sengaja
b.      Minum dengan sengaja
c.       Melakukan hubungan seksual
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan  puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah  puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (QS. Al-Baqarah : 187)
d.      Muntah dengan sengaja
e.       Keluar darah haid atau nifas sebagaikonsekuensi dari syarat sahnya puasa.
f.       Gila saat sedang berpuasa
Hal-hal yang dapat mengurangi nilai puasa adalah mengerjakan hal-hal yang di benci oleh Allah swt. seperti bertengkar, berkata jorok, berperilaku curang dan lain-lain.

B.       RUKHIYAT HISAB
1.      Pengertian Rukhiyat dan Hisab
Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah. Sedangkan Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak (konjungsi). Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop. Rukyat dilakukan setelah Matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah Matahari terbenam (maghrib), karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya Matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka pada petang (maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru Hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maghrib hari berikutnya.
Perlu diketahui bahwa dalam kalender Hijriyah, sebuah hari diawali sejak terbenamnya matahari waktu setempat, bukan saat tengah malam. Sementara penentuan awal bulan (kalender) tergantung pada penampakan (visibilitas) bulan. Karena itu, satu bulan kalender Hijriyah dapat berumur 29 atau 30 hari.

2.      Penetapan Awal Puasa
Perintah mengawali puasa ramadhan dan mengakhirinya, nabi menentukan dengan gejala melihat hilal (ru’yah) di awal bulan ramadhan dan melihat hilal di awal bulan Syawal. Fuqaha telah sepakat bahwa bulan Arab berisi 29 atau 30 hari, dan bahwa yang dijadikan pertimbangan dalam penetapan bulan Ramadhan ialah rukyah (melihat bulan) Sebagaimana sabda Nabi Saw:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِِهِ وَاَفْطِرُوْالِرُؤْيَنِه
”Berpuasalah karena melihat bulan, dan berbukalah karena melihat bulan”.
Rukyah yang dipegang jumhur ulama berpegang pada nash hadits tersebut. Memang yang diwajibkan adalah berpuasanya, bukan rukyahnya. Namun karena perintah rukyah itu berkaitan dengan suatu hal yang bersifat wajib, maka perintah itupun menjadi wajib. Kemudiaan fuqaha berselisih pendapat tentang persoalan, apabila bulan tertutup oleh awan dan tidak mungkin dilakukan rukyah.
Mengenai persoalan tertutupnya bulan, maka Jumhur fuqaha berpendapat bahwa dalam keadaan demikian bilangan bulan harus disempurnakan menjadi 30 hari, dan permulaan Ramadhan dimulai pada hari ke-31.
Dan para fuqaha juga sepakat dengan satu kata bahwa seorang yang sendirian melihat hilal Ramadhan maka dia wajib berpuasa walaupun semua orang tidak berpuasa, sedangkan jika dia tidak berpuasa maka dia harus mengqadla dan kifarat.
Sedangkan penentuan awal Ramadhan dengan hisab ulama berbeda pendapat. Sebagian mereka menyatakan bahwa penentuan awal Ramadhan tidak boleh dengan hisab. Mereka berpendapat bahwa satu-satunya penentuan awal Ramadhan hanya dengan rukyah atau menyempurnakan bilangan bulan menjadi 30 hari apabila langit tidak cerah. Sedang sebagian yang lain menyatakan bahwa penentuan awal Ramadhan adalah dengan hisab disamping menggunakan rukyah. Diantara alasan mereka adalah bahwa hisab akan sangat diperlukan pada saat rukyah tidak dapat mengatasinya seperti keadaan orang yang berada dalam daerah abnormal.
Silang pendapat ini disebabkan karena adanya ketidakjelasan pada sabda Nabi saw:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِِهِ وَاَفْطِرُوْالِرُؤْيَنِهِ فَإِنْغُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْالَهُ
”Berpuasalah kamu karena melihat bulan, dan berbukalah kamu karena melihat bulan, jika ternyata bulan tertutup atasmu, maka kira-kirakanlah.”
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa kata-kata ”kira-kirakanlah” berarti ”sempurnakanlah bilangan menjadi 30 hari”. Ada pula fuqaha yang berpendapat bahwa penafsirannya adalah ”kirakanlah dengan memakai hisab (perhitungan)”, dan hadits ini juga yang digunakan para ahli hisab sebagai dasarnya.
Alasan jumhur fuqaha memegangi penafsiran tersebut adalah karena adanya hadits shahih Ibnu Abbas ra., bahwa Nabi Saw bersabda:
فَإِنْغُمَّ عَلَيْكُمْ فَاكْمِلُواالْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
”Jika ternyata bulan tertutup atasmu, maka sempurnakanlah bilangan menjadi tiga puluh hari.”
Sementara itu Imam Abu al-Abbas Ibnu Suraij (306 H/918 M), seperti dikutip oleh Ibn al-’Arabi, mengajukan cara mengompromikan antara hadits-hadits yang menggunakan frase faqduru lahu (maka kadarkanlah ia) dengan hadits-hadits yang menggunakan frase fa akmilu al-’iddah (maka sempurnakanlah bilangan bulan itu) dengan mengatakan:
.....bahwa sesungguhnya sabda Nabi saw faqduru lahu merupakan khitab yang ditujukan pada orang-orang yang khusus memiliki kemampuan hisab, sedangkan sabda Nabi saw fa akmilu al-’iddah adalah yang ditujukan bagi masyarakat umum.
Dalam hal ini, ahli fiqih menyimpulkan bahwa hadits ini menyiratkan satu tujuan dan menentukan cara (sarana) untuk mencapainya. Tujuan ini sangat jelas, yaitu perintah puasa sebulan penuh dan tidak boleh terlewatkan satu hari pun. Puasa itu dilakukan setelah adanya kepastian masuknya bulan Ramadhan dengan cara yang memungkinkan dan dapat dilakukan oleh banyak orang, yang tidak membebani dan memberatkan mereka dalam agama.
Ulama-ulama terdahulu menolak hisab secara mutlak karena hisab masih tercampur aduk dengan ilmu nujum (astrologi, meramal nasib dengan bintang) dan juga karena akurasinya yang masih rendah, sehingga hasil hitungan antara ahli hisab satu dengan yang lain masih saling bertentangan, padahal fakta benda langitnya adalah satu.

C.      LAILATUL QADAR
1.      Pengertian Lailatul Qadar
Lailatul Qadar adalah malam turunnya Al Qur’an dari Lauhul Mahfudz ke langit bumi dan itu terjadi setiap tahun pada bulan Ramadhan. Dalam surat Al Qadar ayat 3 dijelaskan bahwa lailatul qadar adalah malam yang lebih utama daripada melakukan amal sholeh selama seribu bulan atau dengan hitungan tahun selama 83 tahun lebih. Malam itu Allah memerintah malaikat untuk turun kelangit bumi dengan membawa kabar gembira bahwa malam itu malam yang penuh dengan kebaikan dan berkah bagi mereka yang berbuat amal sholeh pada malam lailatul qadar dari sejak permulaan sampai dengan terbitnya fajar.
Terdapat perbedaan di kalangan para ulama’ tentang waktu turunnya lailatul qadar. Ada yang berpendapat bahwa turunnya lailatul qadar adalah diantara tanggal-tanggal bulan Ramadhan dari tanggal satu sampai tanggal terakhir bulan Ramadhan. Ada yang berpendapat bahwa turunnya lailatul qadar adalah pada tanggal-tanggal ganjil pada sepuluh yang terakhir bulan Ramadhan yaitu tanggal 21, 23, 25, 27, dan 29. sebagaimana dalam riwayat disebutkan bahwa "Nabi saw. pada malam sepuluh terakhir beliau mengencangkan ikat pinggangnya, melek (tidak tidur) pada malam hari, membangunkan keluarganya untuk beribadah kepada Allah swt." ( HR. Bukhari dan Muslim).
Adapun pada malam sepuluh yang terakhir bulan Ramadhan diperintahkan untuk memperbanyak membaca do’a :
اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Artinya: “Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, cinta pada ampunan maka ampunilah aku”. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Tirmidzi).

2.      Keistimewaan Malam Lailatul Qadar
Beberapa keistimewaan Lailatul Qadar yang begitu utama dari malam lainnya, diantaranya:
a.       Lailatul Qadar adalah waktu diturunkannya Al Qur’an
Ibnu ‘Abbas dan selainnya mengatakan, “Allah menurunkan Al Qur’an secara utuh sekaligus dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah yang ada di langit dunia. Kemudian Allah menurunkan Al Qur’an kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tersebut secara terpisah sesuai dengan kejadian-kejadian yang terjadi selama 23 tahun.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 403). Ini sudah menunjukkan keistimewaan Lailatul Qadar.
b.      Lailatul Qadar lebih baik dari 1000 bula
Allah Ta’ala berfirman,
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al Qadar: 3). An Nakho’i mengatakan, “Amalan di lailatul qadar lebih baik dari amalan di 1000 bulan.” (Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 341). Mujahid, Qotadah dan ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lebih baik dari seribu bulan adalah shalat dan amalan pada lailatul qadar lebih baik dari shalat dan puasa di 1000 bulan yang tidak terdapat lailatul qadar. (Zaadul Masiir, 9: 191). Ini sungguh keutamaan Lailatul Qadar yang luar biasa.
c.        Lailatul Qadar adalah malam yang penuh keberkahan.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. Ad Dukhon: 3). Malam penuh berkah ini adalah malam ‘lailatul qadar’ dan ini sudah menunjukkan keistimewaan malam tersebut, apalagi dirinci dengan point-point selanjutnya.
d.      Malaikat dan juga Ar Ruuh -yaitu malaikat Jibril- turun pada Lailatul Qadar.
Keistimewaan Lailatul Qadar ditandai pula dengan turunnya malaikat. Allah Ta’ala berfirman,
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا
Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril” (QS.
Al Qadar: 4)
Banyak malaikat yang akan turun pada Lailatul Qadar karena banyaknya barokah (berkah) pada malam tersebut. Karena sekali lagi, turunnya malaikat menandakan turunnya berkah dan rahmat. Sebagaimana malaikat turun ketika ada yang membacakan Al Qur’an, mereka akan mengitari orang-orang yang berada dalam majelis dzikir -yaitu majelis ilmu-. Dan malaikat akan meletakkan sayap-sayap mereka pada penuntut ilmu karena malaikat sangat mengagungkan mereka. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 407)
Malaikat Jibril disebut “Ar Ruuh” dan dispesialkan dalam ayat karena menunjukkan kemuliaan (keutamaan) malaikat tersebut.
e.       Lailatul Qadar disifati dengan ‘salaam’
Yang dimaksud ‘salaam’ dalam ayat,
سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْر
Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar” (QS. Al Qadr: 5) yaitu malam tersebut penuh keselamatan di mana setan tidak dapat berbuat apa-apa di malam tersebut baik berbuat jelek atau mengganggu yang lain. Demikianlah kata Mujahid (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 407). Juga dapat berarti bahwa malam tersebut, banyak yang selamat dari hukuman dan siksa karena mereka melakukan ketaatan pada Allah (pada malam tersebut). Sungguh hal ini menunjukkan keutamaan luar biasa dari Lailatul Qadar.
f.       Lailatul Qadar adalah malam dicatatnya takdir tahunan
Allah Ta’ala berfirman,
فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah” (QS. Ad Dukhan: 4). Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya (12: 334-335) menerangkan bahwa pada Lailatul Qadar akan dirinci di Lauhul Mahfuzh mengenai penulisan takdir dalam setahun, juga akan dicatat ajal dan rizki. Dan juga akan dicatat segala sesuatu hingga akhir dalam setahun. Demikian diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Malik, Mujahid, Adh Dhohak dan ulama salaf lainnya.
Namun perlu dicatat -sebagaimana keterangan dari Imam Nawawi rahimahullah­ dalam Syarh Muslim (8: 57)- bahwa catatan takdir tahunan tersebut tentu saja didahului oleh ilmu dan penulisan Allah. Takdir ini nantinya akan ditampakkan pada malikat dan ia akan mengetahui yang akan terjadi, lalu ia akan melakukan tugas yang diperintahkan untuknya.
g.      Dosa setiap orang yang menghidupkan malam ‘Lailatul Qadar’ akan diampuni oleh Allah
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901)
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan bahwa yang dimaksud ‘iimaanan’ (karena iman) adalah membenarkan janji Allah yaitu pahala yang diberikan (bagi orang yang menghidupkan malam tersebut). Sedangkan ‘ihtisaaban’ bermakna mengharap pahala (dari sisi Allah), bukan karena mengharap lainnya yaitu contohnya berbuat riya’. (Lihat Fathul Bari, 4: 251)


DAFTAR PUSTAKA

Fahrudin, Achmad, dkk. 2003. Al-Qur’an dan Terjemahnya versi 1.1 (Al-Qur’an Digital.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Tarjih. 2009. Himpunan Putusan Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Tarjih. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
Musthofa Al Bugho, dkk . 2010. Al Fiqhu Al Manhaji ‘ala Madzhabil Imam Asy Syafi’i Cetakan ke sepuluh hal 357. Penerbit : Darul Qolam.
Sa’id bin Wahf bin ‘Ali Al Qohthoni. 2007. Ash Shiyam fil Islam fii Dhouil Kitab was Sunnah Cetakan pertama hal 367-369. Penerbit: Maktabah Al Malik Fahd.
Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi. 2012. Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj Cetakan Pertama. Penerbit : Dar Ibn Hazm.
Azhari,Susiknan. 2007. Hisab dan Rukyah Wacana untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Khazin, Muhyidin. 2009. 99 Tanya Jawab Masalah Hisab dan Rukyah. Yogyakarta: Ramadhan Press.
Muhammad Chirzin, “ Puasa Dan Perolehannya Dalam Al-Qur’an”   dalam internet website http://muhammadiyahku.blogspot.com diakses tanggal 12 Februari 2014.
Deri Suyatma, ”Cara Penentuan awal dan Akhir Ramadhan” dalam internet website: http://mtsnurulazhar/wordpress.com/2008/08/29/cara-penentuan-awal-dan-akhir-ramadhan/, diakses tanggal 12 Februari 2014.
Muhammad Abduh Tuasikal, “Puasa Senin Kamis” dalam  intenet website http://muslim.Or.Id  diakses tanggal 14 februari 2014.
Muhammad Abduh Tuasikal, “Hari-Hari Terlarang Puasa” dalam  intenet website http://muslim.Or.Id  diakses tanggal 14 februari 2014.
Muhammad Abduh Tuasikal, “Aturan Dalam Puasa Sunnah” dalam  intenet website http://muslim.Or.Id  diakses tanggal 14 februari 2014.
Muhammad Abduh Tuasikal, “Keutamaan Puasa Arafah” dalam  intenet website http://muslim.Or.Id  diakses tanggal 14 februari 2014.
Muhammad Abduh Tuasikal, “Puasa Syawal, Benarkah Makruh?” dalam  intenet website http://muslim.Or.Id  diakses tanggal 14 februari 2014.
 



No comments :

Post a Comment