A. Tinjauan Pustaka
1.
Pengertian
Kepribadian
Kepribadian adalah
keseluruhan cara seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu
lain. Kepribadian paling sering dideskripsikan dalam istilah sifat yang bisa diukur
yang ditunjukkan oleh seseorang. Disamping itu kepribadian sering diartikan
dengan ciri-ciri yang menonjol pada diri individu, seperti kepada orang yang
pemalu dikenakan atribut “berkepribadian pemalu”. Kepada orang supel diberikan
atribut “berkepribadian supel” dan kepada orang yang plin-plan, pengecut, dan
semacamnya diberikan atribut “tidak punya kepribadian”.
Para ahli tampaknya
masih sangat beragam dalam memberikan rumusan tentang kepribadian. Dalam suatu
penelitian kepustakaan yang dilakukan oleh Gordon
W. Allport (Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005) menemukan hampir 50
definisi tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang
dilakukannya, akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian yang
dianggap lebih lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian adalah
organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang
menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.
Kata kunci dari pengertian kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider (1964) mengartikan
penyesuaian diri sebagai “suatu proses respons individu baik yang bersifat
behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam
diri, ketegangan emosional, frustrasi dan konflik, serta memelihara keseimbangan
antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan.
2.
Struktur
Kepribadian
Ada banyak teori yang
menyatakan tentang struktur kepribadian individu. Carl Gustav Jung (1875-1961)
adalah orang pertama yang merumuskan tipe kepribadian manusia dengan istilah
ekstrovert dan introvert, serta menggambarkan empat fungsi kepribadian manusia
yang disebut dengan fungsi berpikir, pengindera, intuitif, dan perasa.
Menurut Jung
(Suryabrata, 2010: 156-157)., jiwa manusia terdiri dari dua alam, yaitu alam
sadar dan alam tak sadar. Kedua alam tersebut saling mengisi dan berhubungan
secara kompensatoris. Alam sadar berfungsi untuk menyesuaikan terhadap dunia
luar, sedangkan alam tak sadar berfungsi untuk menyesuaikan terhadap dunia
dalam. Batas antara keduanya tidak tetap atau berubah-ubah, artinya wilayah
kesadaran dan ketaksadaran selalu bertambah atau berkurang.
Struktur kesadaran mempunyai dua komponen pokok, yaitu
fungsi jiwa dan sikap jiwa, yang masing-masing mempunyai peranan penting dalam
orientasi manusia dalam dunianya. Sikap jiwa dibedakan menjadi introvert dan
ekstrovert, dan fungsi jiwa dibedakan menjadi pikiran, intuisi, perasaan, dan
pengindraan.
v Sikap Jiwa
Sikap jiwa ialah energi psikis atau libido yang menjelma
dalam bentuk orientasi manusia terhadap dunianya. Arah energi psikis itu dapat
ke luar ataupun ke dalam, dan demikian pula arah orientasi manusia terhadap
dunianya, dapat ke luar ataupun ke dalam. Berdasarkan atas sikap jiwanya
manusia, dapat digolongkan menjadi dua tipe, yaitu tipe ekstrovert dan
introvert (Suryabrata, 2002: 161-162).
Menurut Jung, arti dari sifat ekstrovert dan introvrt
bukanlah karena orang introvert lebih pemalu atau orang ekstrovert lebih mudah
bergaul. Akan tetapi, perbedaan itu didasarkan pada kecenderungan kepribadian
yang mengarah pada diri sendiri atau orang lain. Kedua sikap yang belawanan itu
ada dalam kepribadian, tetapi biasanya salah satunya bersifat dominan dan
sadar, sedangkan yang lainnya kurang dominan dan tak sadar (melalui Alwisol,
2011: 46).
v Fungsi
Jiwa
Menurut Jung, fungsi
jiwa merupakan suatu bentuk aktivitas kejiwaan yang secara teori tidak berubah
dalam lingkungan yang berbeda-beda. Jung membedakan empat pokok fungsi jiwa,
yaitu pikiran dan perasaan yang merupakan fungsi rasional, serta pengindraan
dan intuisi yang merupakan fungsi irrasional. Fungsi rasional bekerja dengan
penilaian melalui pikiran, menilai atas dasar benar dan salah, sedangkan
perasaan menilai atas dasar menyenangkan dan tak menyenangkan. Fungsi
irrasional tidak memberikan penilaian, melainkan hanya semata-mata mendapat
pengamatan sadar-indriah melalui pengindraan, sedangkan intuisi mendapat
pengamatan secara tak sadar-naluriah (Suryabrata, 2010: 158).
Pada
dasarnya, setiap individu memiliki empat fungsi. Akan tetapi umumnya hanya
salah satu fungsi saja yang lebih dominan dibandingkan fungsi yang lain. Fungsi
yang dominan tersebut merupakan fungsi superior dan menentukan tipe orangnya.
Keempat fungsi tersebut saling berpasangan sesuai dengan fungsi rasional maupun
irrasionalnya, pemikir berpasangan dengan perasa, pengindraan berpasangan
dengan intuitif. Pasangan dari fungsi superior adalah fungsi inferior yang di
repres pada taraf tak sadar (ketaksadaran) (Suryabrata, 2010: 160-161).
Menurut
Jung, struktur ketaksadaran manusia mempunyai dua komponen, yaitu ketaksadaran
pribadi dan ketaksadaran kolektif.
v Ketaksadaran
Pribadi
Ketaksadaran pribadi berisikan hal-hal yang diperoleh
individu selama hidupnya. Ini meliput hal-hal yang terdesak atau tertekan dan
hal-hal yang terlupakan. Ketaksadaran pribadi terdiri dari pengalaman-pengalaman
pribadi, harapan-harapan, dan dorongan-dorongan yang pernah disadari tetapi
tidak dikehendaki oleh ego sehingga terpaksa didorong masuk ke ketaksadaran
(Sarwono, 1987: 170).
Pada saat-saat tertentu, ketaksadaran pribadi ini bisa
muncul kembali ke kesadaran dan mempengaruhi tingkah laku. Ketaksadaran pribadi
ini juga meliputi alam prasadar dan bawah sadar. Prasadar adalah perbatasan
antara ketaksadaran pribadi dan kesadaran, berisi hal-hal yang siap masuk ke
kesadaran. Sedangkan bawah sadar berisi kejadian-kejadian psikis yang terletak
pada daerah perbatasan antara ketaksadaran pribadi dan ketaksadaran kolektif
(Suryabrata, 2002: 166).
v Ketaksadaran
Kolektif
Ketaksadaran kolektif adalah sistem yang paling berpengaruh
terhadap kepribadian dan bekerja sepenuhnya di luar kesadaran orang yang
bersangkutan. Sistem ini merupakan pembawaan rasial yang mendasari kepribadian
dan merupakan kumpulan pengalaman-pengalaman dari generasi-generasi terdahulu
(Sarwono, 1987: 170).
Isi dari taraf tak
sadar adalah arketip (archetype). Arketip dianggap sebagai tema
universal yang mempengaruhi tingkah laku manusia. Arketip adalah bentuk
pemikiran atau ide yang menjadi dasar pandangan manusia, yang diproyeksikan
pada pengalaman yang sedang dialami. Tetapi, semua pengaruh itu berlangsung
pada alam tak sadar. Jung mengatakan terdapat empat arketipe terpenting, yaitu:
topeng (persona); anima dan animus; bayangan (shadow); dan diri (self)
(Sebatu, 1994: 6).
3.
Faktor
yang Mempengaruhi Kepribadian
Kepribadian sangat
dipengaruhi oleh beberapa factor baik itu factor yang berasal dari luar
(ekstern) maupun factor yang berasal dari dalam (intern) individuitu sendiri.
Berikut ini akan dijelaskan mengenai factor-faktor yang dapat mempengaruhi
kepribadian seseorang, diantaranya:
a) Keluarga
Kepribadian seseorang bergantung pada keadaan rumah tangga
tempat mereka dibesarkan. Di tengah lingkaran keluarga ini seorang anak dapat
belajar, menyimak, memperhatikan, merekam makna kehidupan dari hari ke hari.
Pengalaman pencarian makna hidup ini sekaligus membangun citra dirinya sesuai
dengan teladan orang tua, sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, tanpa
disadari. Karena itu, orang tua harus berusaha menjadikan diri sebagai model
peran yang baik bagi anak. Sebagian besar orang tua ingin kepribadian anaknya
serupa dengan kepribadian mereka sendiri. Dengan begitu, orang tua menganggap
akan lebih mudah mengarahkan kehidupan anak sesuai keinginan orang tua itu
sendiri.
Selain itu, sangat penting bagi orang tua untuk melakukan
tindakan preventif, dengan cara memberi anak model peran yang baik dalam
keluarga. Riwayat pendidikan orang tua sangat berpengaruh dalam hal ini.
Pendidikan orang tua yang hanya sampai pada tingkat sekolah dasar tentu berbeda
dengan pendidikan orang tua yang sampai pada tingkat sarjana atau bahkan lebih,
karena pola pikir mereka sangat jauh berbeda. Orang tua lulusan sekolah dasar
cenderung lebih tertutup kepada anak remajanya. Seringkali mereka mengacuhkan
pertanyaan-pertanyaan sang anak dan masih menganggap tabu jika anak remaja mereka
bertanya tentang seks. Hal ini dikarenakan orang tua tidak mempunyai cukup
pengetahuan untuk menjawabnya. Sedangkan para orang tua lulusan sarjana
cenderung lebih terbuka dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan anaknya. Hal ini
dikarenakan orang tua lulusan sarjana mempunyai cukup pengetahuan untuk
menjawabnya.
Selain
faktor pendidikan orang tua, faktor kesibukan orang tua dalam bekerja juga
berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian seseorang. Jika orang tua terlalu
sibuk bekerja untuk mencari uang dan mengabaikan kebutuhan jiwa anak, maka anak
cenderung akan tumbuh dan berkembang sebagai remaja yang kurang atau bahkan
tidak mengerti sopan santun.
b) Sekolah
Para
orang tua tentu tidak mampu mendidik para anaknya sendiri. Oleh karena itu,
selain mendapat pendidikan di rumah, remaja juga memperoleh pendidikan di
sekolah. Peran yang paling berpengaruh dalam pendidikan di sekolah
adalah guru. Guru yang pandai, bijaksana dan mempunyai keikhlasan dan sikap
positif terhadap pekerjaannya akan dapat membimbing para remaja kearah sikap
yang positif terhadap pelajaran yang diberikan kepadanya dan dapat menumbuhkan
sikap positif yang diperlukan dalam hidupnya di kemudian hari. Sebaliknya guru
yang tidak bijaksana dan menunaikan pekerjaannya tidak ikhlas atau didasarkan
atas pertimbangan-pertimbangan bukan kepentingan pendidikan, misalnya hanya
sekedar untuk mencari rezeki, atau hanya karena merasa terhormat menjadi guru
itu dan sebagainya, akan mengakibatkan arti atau manfaat pendidikan yang
diberikannya kepada anak didik menjadi kecil atau mungkin tidak ada, bahkan
mungkin menjadi negatif.
c) Teman
Sebaya
Bagi anak, teman sebaya lebih
berpengaruh daripada orang tua. Mereka merasa lebih nyaman bercerita kepada
teman sebaya mereka, atau yang sering mereka sebut sebagai sahabat, daripada
bercerita kepada orang tua. Melalui teman sebaya mereka juga dapat mengetahui
macam-macam kepribadian orang lain di luar diri mereka.
Dengan siapa anak berteman, juga
turut mempengaruhi bagaimana kepribadian seseorang tersebut. Apabila seorang
remaja berteman dengan orang yang mempunyai pribadi yang buruk, maka hampir
dapat dipastikan ia pun memiliki kepribadian yang tidak jauh berbeda. Jika
remaja berteman dengan orang yang pribadinya baik, maka ia pun akan
berkepribadian baik pula. Bahkan ada sebuah peribahasa yang berbunyi “Jika kau
ingin mengetahui bagaimana kepribadian seseorang, maka lihatlah dengan siapa ia
berteman. Jika temannya baik niscaya baik pula dirinya namun jika temannya
buruk, maka ia pun tak jauh berbeda.”
d) Masyarakat
Masyarakat yang dimaksudkan adalah
masyarakat dimana anak tersebut tinggal dan mempraktekkan sosialisasi yang
sebenarnya. Misalkan seorang anak yang tinggal di pemukiman kumuh, mereka akan
memiliki kepribadian layaknya preman. Berbicara kasar, bertingkah laku seperti
laki-laki bagi remaja perempuan dan kurang memiliki sopan santun.
Seorang anak yang tinggal di
lingkungan yang agamis maka cenderung akan menciptakan kepribadian menarik.
Mereka memiliki sopan santun yang tinggi, tutur kata yang lemah lembut dan
perilaku mereka pun sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Kepribadian remaja yang tinggal di kota
metropolitan tentu tentu berbeda dengan kepribadian remaja yang tinggal di kota
kecil. Remaja metropolitan cenderung bersikap glamour dalam hidupnya, juga
mereka memiliki jiwa sosial yang rendah dan sikap egois yang tinggi. Berbeda
dengan remaja yang tinggal di kota kecil, mereka cenderung bersikap sederhana,
berjiwa sosial tinggi dan tidak egois.
4.
Macam-Macam
Tipe Kepribadian
Secara umum tipe
kepribadian manusia
dibagi menjadi empat, yaitu : Sanguinis,
Melankolis, Koleris, dan Phlegmatis. Berikut ini penjelasannya.
a) Sanguinicus
(sanguinisi), yakni orang-orang yang banyak darahnya,
sehingga orang-orang tipe ini selalu menunjukkan wajah berseri-seri, periang
atau selalu gembira, dan bersikap optimistis.
b) Melancholicus
(melankolisi), yaitu orang-orang yang banyak empedu
hitamnya, sehingga orang-orang dengan tipe ini selalu bersikap murung atau
muram, pesimistis dan selalu menaruh rasa curiga.
c) Cholericus
(kolerisi), yakni yang banyak empedu kuningnya.
Orang bertipe ini bertubuh besar dan kuat, namun penaik darah dan sukar
mengendalikan diri, sifatnya garang dan agresif.
d) Flegmaticus
(flegmatisi), yaitu orang-orang yang banyak
lendirnya. Orang-orang seperti ini sifatnya lamban dan pemalas, wajahnya selalu
pucat, pesimis, pembawaannya tenang, pendiriannya tidak mudah berubah.
5.
Pengertian
Perilaku Menyimpang
Perilaku menyimpang
adalah setiap perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma dalam masyarakat.
Sedangkan pelaku yang melakukan penyimpangan itu disebut devian (deviant).
Adapun perilaku yang sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku dalam
masyarakat disebut konformitas. Perilaku menyimpang ini tidak mengenal pangkat atau jabatan
dan tidak juga tidak mengenal waktu dan tempat. Penyimpangan bisa terjadi dalam
skala kecil maupun skala besar.
Ada beberapa definisi
perilaku menyimpang menurut pakar sosiologi, antara lain sebagai berikut:
a) James Vender Zender
Perilaku menyimpang
adalah perilaku yang dianggap sebagai hal tercela dan di luar batas-batas
toleransi oleh sejumlah besar orang.
b) Robert M.Z. Lawang
Perilaku menyimpang
adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam suatu
sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu
untuk memperbaiki perilaku tersebut.
Dari
kedua definisi kedua pakar sosiologi di atas, maka dapat di tarik kesimpulan
bahwa pengertian daripada perilaku menyimpang ialah segala sesuatu yang
dianggap menyimpang dari system nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat
tertentu.
6.
Faktor
yang Menyebabkan Perilaku Menyimpang
a)
Faktor subjektif adalah faktor yang
berasal dari seseorang itu sendiri (sifat pembawaan yang dibawa sejak lahir).
b)
Faktor objektif adalah faktor yang
berasal dari luar (lingkungan). Misalnya keadaan rumah tangga, seperti hubungan
antara orang tua dan anak yang tidak serasi.
Berikut
ini akan diuraikan beberapa penyebab terjadinya penyimpangan seorang individu
(faktor objektif), yaitu
-
Ketidaksanggupan menyerap norma-norma
kebudayaan
Seseorang yang tidak
sanggup menyerap norma-norma kebudayaan ke dalam kepribadiannya, ia tidak dapat
membedakan hal yang pantas dan tidak pantas. Keadaan itu terjadi akibat dari
proses sosialisasi yang tidak sempurna, misalnya karena seseorang tumbuh dalam
keluarga yang retak (broken home). Apabila kedua orang tuanya tidak bisa
mendidik anaknya dengan sempurna maka anak itu tidak akan mengetahui hak dan
kewajibannya sebagai anggota keluarga.
-
Proses belajar yang menyimpang
Seseorang yang melakukan
tindakan menyimpang karena seringnya membaca atau melihat tayangan tentang
perilaku menyimpang. Hal itu merupakan bentuk perilaku menyimpang yang
disebabkan karena proses belajar yang menyimpang. Karier penjahat kelas kakap
yang diawali dari kejahatan kecil-kecilan yang terus meningkat dan makin
berani/nekad merupakan bentuk proses belajar menyimpang.
-
Ketegangan antara kebudayaan dan
struktur social
Terjadinya ketegangan
antara kebudayaan dan struktur sosial dapat mengakibatkan perilaku yang
menyimpang. Hal itu terjadi jika dalam upaya mencapai suatu tujuan seseorang
tidak memperoleh peluang, sehingga ia mengupayakan peluang itu sendiri, maka
terjadilah perilaku menyimpang.
-
Ikatan sosial yang berlainan
Setiap orang umumnya berhubungan
dengan beberapa kelompok. Jika pergaulan itu mempunyai pola-pola perilaku yang
menyimpang, maka kemungkinan ia juga akan mencontoh pola-pola perilaku
menyimpang.
Akibat proses sosialisasi nilai-nilai sub-kebudayaan yang menyimpang. Seringnya media massa menampilkan berita atau tayangan tentang tindak kejahatan (perilaku menyimpang)Hal inilah yang dikatakan sebagai proses belajar dari sub-kebudayaan yang menyimpang
Akibat proses sosialisasi nilai-nilai sub-kebudayaan yang menyimpang. Seringnya media massa menampilkan berita atau tayangan tentang tindak kejahatan (perilaku menyimpang)Hal inilah yang dikatakan sebagai proses belajar dari sub-kebudayaan yang menyimpang
5. Karakteristik Perilaku Menyimpang
Menurut
Paul B Horton penyimpangan memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
a) Penyimpangan
harus dapat didefinisikan, artinya penilaian menyimpang tidaknya suatu perilaku
harus berdasar kriteria tertentu dan diketahui penyebabnya.
b) Penyimpangan
bisa diterima bisa juga ditolak.
c) Penyimpangan
relatif dan penyimpangan mutlak, artinya perbedaannya ditentukan oleh frekuensi
dan kadar penyimpangan.
d) Penyimpangan
terhadap budaya nyata ataukah budaya ideal, artinya budaya ideal adalah segenap
peraturan hukum yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat. Antara budaya
nyata dengan budaya ideal selalu terjadi kesenjangan.
e) Terdapat
norma-norma penghindaran dalam penyimpangan. Norma penghindaran adalah pola
perbuatan yang dilakukan orang untuk memenuhi keinginan mereka, tanpa harus
menentang nilai-nilai tata kelakuan secara terbuka.
f) Penyimpangan
sosial bersifat adaptif, artinya perilaku menyimpang merupakan salah satu cara
untuk menyesuaikan kebudayaan dengan perubahan sosial.
B.
Pembahasan
Perilaku menyimpang
merupakan perilaku yang maladaptive atau bisa juga dikatakan perilaku abnormal,
namun tergantung pada situasi dan juga kesepakatan yang berlaku di masyarakat.
Seseorang yang tidak sanggup menyerap norma-norma dan nilai-nilai kebudayaan ke
dalam kepribadiannya, ia tidak dapat membedakan hal yang pantas dan tidak
pantas maka dari itulah timbul perilaku menyimpang atau maladaptive. Keadaan
itu bisa terjadi akibat dari proses sosialisasi yang tidak sempurna, misalnya
karena seseorang tumbuh dalam keluarga yang retak (broken home). Apabila kedua
orang tuanya tidak bisa mendidik anaknya dengan sempurna maka anak itu tidak
akan mengetahui hak dan kewajibannya sebagai anggota keluarga. Tentulah hal ini
akan berpengaruh pada kepribadian si anak. Hal yang mungkin dilakukan oleh si
anak adalah melakukan perlawanan/ membangkang pada apa yang orang tua katakan.
Kepribadian anak cenderung keras kepala, susah di atur, merasa dirinya tak di
cintai lagi karna orang tuanya yang cerai (broken home) hingga menjadi pribadi
yang sangat tertutup dari dunianya.
Pelaku-pelaku
sosialisasi seperti keluarga, sekolah, teman sepermainan, dan media massa (
media cetak dan elektronik ) mempunyai fungsi masing-masing yang seharusnya
saling melengkapi. Akan tetapi, pada kenyataannya sering terjadi
ketidaksepadanan antara pesan yang disampaikan pelaku sosialisasi yang satu
dengan yang lain. Hal ini dapat menyebabkan sosialisasi berjalan tidak sempurna
sehingga menimblkan perilaku yang menyimpang.
Ketidaksepadanan pesan-pesan yang disampaikan oleh pelaku-pelaku
sosialisasi juga bisa dilihat dari maraknya perkelahian antarpelajar yang
menjurus pada tindakan kriminal. Mereka akan selalu menganggap bahwa kekerasan
adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah. Norma-norma dan nilai
sosial keagamaan yang ditawarkan sejak mereka bayi tidak cukup berjalan dan
sinkron untuk bisa dihadapkan dengan kenyataan dalam masyarakat.
Perilaku menyimpang
juga bisa terjadi ketika dalam proses sosialisasi, seseorang mengambil peran
yang salah dari generalized others atau meniru perilaku yang salah. Perilaku
menyimpang juga terjadi pada masyarakat yang memiliki nilai-nilai subkebudayaan
yang menyimpang, yaitu kebudayaan khusus yang normanya bertentangan dengan
norma budaya yang dominan seperti nilai-nilai yang berlaku di daerah kumuh, di
lokalisasi pelacuran, dan lingkungan perjudian.
DAFTAR PUSTAKA
Fauzi, Ahmad. 1997. Psikologi Umum. Bandung : CV Pustaka Setia.
Hartati, Netty Dra. M.Si dkk. 2004. Islam
dan Psikologi. Jakarta: Rajawali Press.
Jung,
C.G. 1923. Psychological Types. New
York: Pantheon Books.
Rokhmansyah,
Alfian.2013. Teori Kepribadian Carl
Gustav Jung dalam http://phianz1989.blogspot.com diakses tanggal 23 Mei 2014
Suryabrata,
Sumadi. 2010. Psikologi Kepribadian.
Jakarta: Rajawali Press.
Yusuf, Syamsu.2007. Teori Kepribadian. Bandung : PT
Remaja Rosdakarya.
No comments :
Post a Comment